Al-Ya‘qubi adalah seorang pengembara, sejarawan, dan ahli geografi Arab terkenal yang hidup di Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Abbasiyah, al-Mu‘tamid (257 H/870 M–279 H/892 M).
Tanggal lahir al-Ya‘qubi tidak diketahui. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Abi Ya‘qub Ishaq bin Ja‘far bin Wahab bin Waddih. Kakeknya adalah seorang maula (budak) khalifah Abbasiyah, al-Mansur dan ia sendiri pernah menjadi sekretaris khilafah (negara) Abbasiyah.
Al-Ya‘qubi pernah melakukan pengembaraan panjang di wilayah Armenia, Transoksania (Asia Tengah), Iran, India, Mesir, Hijaz, dan Afrika Utara. Dalam penjelajahannya ini ia berhasil mengumpulkan banyak informasi sejarah dan geografi.
Ia mengarang buku Kitab al-Buldan (Buku Negeri-Negeri) pada 891 di Mesir. Buku ini termasuk yang tertua dalam jenis geografi sejarah. Kitab ini diterbitkan kembali pada 1883 oleh sebuah penerbit di Leiden, Belanda, dengan judul Ibn Waddih qui Dicitur al-Ya‘qubi Historiae, dan diedarkan setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis serta dilengkapi dengan keterangan dan catatan kaki.
Buku ini termasuk salah satu yang terpenting tentang geografi lokal karena menghimpun informasi penting berkenaan dengan negeri yang pernah dikunjunginya. Di awal bukunya, ia menerangkan secara terperinci kota Baghdad dan Samarra (utara Baghdad); setelah itu, ia melukiskan keadaan negeri Iran, Semenanjung Arabia, Suriah, Mesir, Nubia (utara Sudan), Afrika Utara, dan sebagainya.
Di dalam buku tersebut ia juga menerangkan keadaan sosial dan sejarah dinasti yang berkuasa di negeri itu, seperti Dinasti Tahiriyah di Khurasan dan Dinasti Tulun di Mesir.
Al-Ya‘qubi juga menulis buku sejarah lain yang dikenal dengan nama Tarikh al-Ya‘qubi, juga diterbitkan di Leiden dalam dua jilid. Masalah kronologi tampak dominan di dalam kitab ini. Jilid pertama berisi sejarah dunia kuno, yakni peristiwa yang berhubungan dengan penciptaan alam, Nabi Adam AS dan putranya, Nabi Nuh AS dan peristiwa banjir besar, kemudian sejarah para nabi sampai dengan Nabi Isa AS.
Dalam hal ini ia banyak sekali mengutip cerita rakyat dan sumber Nasrani, dan sedikit sekali menggunakan sumber Al-Qur’an dan hadis yang seharusnya menjadi sandaran utama bagi penulis Islam.
Setelah itu, ia melukiskan sejarah kerajaan kuno, seperti Assyria, Babilonia, Abbesinia, India, Yunani, Romawi, Persia, Cina, Armenia, Qibti di Mesir, Turki, Berber, Sudan, kerajaan Arab di Yaman, Suriah, dan Hirah di Irak. Dalam melukiskan kerajaan tersebut, ia mengikutsertakan keterangan geografis, iklim, agama serta kepercayaan, dan perkembangan ilmu pengetahuan mereka, termasuk filsafat dan kebudayaan mereka.
Jilid kedua berisi sejarah Islam, yang disusun berdasarkan urutan para khalifah, sampai 259 H, pada masa pemerintahan al-Mu‘tamid. Ia mengawalinya dari kelahiran, riwayat hidup (as-sirah), serta perang (al-magazi dan as-saraya) Nabi Muhammad SAW, dan baru kemudian para khalifah.
Berkenaan dengan metode penulisan jilid dua ini, ia berkata, “Saya menulis kitab ini berdasarkan riwayat para ilmuwan dan ahli hadis yang lalu, termasuk tulisan para sejarawan yang berkaitan dengan as-siyar (riwayat hidup Nabi SAW), al-akhbar wa at-tarikh (berita dan sejarah).
Saya tidak berpretensi bahwa buku ini merupakan karya yang orisinal. Saya berusaha mengumpulkan makalah dan riwayat itu, meskipun sebenarnya karya itu berbeda dalam menyebutkan tahun dan peristiwanya.”
Riwayat itu disusun setelah melalui seleksi, namun metode kritik yang dilakukan al-Ya‘qubi tidak begitu jelas. Ia tidak begitu mengikuti metode isnad (keterangan mengenai jalan sandaran suatu hadis) sebagaimana yang dipergunakan ahli hadis dan sejarawan yang mendahuluinya. Sumber kutipan yang disebutkannya ada sebelas buku, namun sebagian besar dinilai lemah oleh para sejarawan berikutnya.
Di samping dua buku di atas, al-Ya‘qubi juga meninggalkan sebuah makalah yang merupakan penggalan lain dari Tarikh al-Ya‘qubi yang diterbitkan Matba‘ah an-Najaf al-Asyraf di Irak, dan sebuah karya singkat berjudul Musyakalah an-Nass li Zamanihim (Kesamaan Manusia pada Masa Mereka).
Buku terakhir ini sudah diterbitkan kembali di Beirut. Buku Musyakalah an-Nass li Zamanihim membahas bagaimana masyarakat berusaha mengikuti dan mencontoh kehidupan para penguasa, terutama tentang para khalifah Umayah dan Abbasiyah.
Kitab al-Buldan dapat dikatakan sebagai kitab yang paling berharga dalam bentuk karya rihlah (pengembaraan) dan geografi. Di dalamnya dijelaskan pengembaraan yang dilakukannya dan tugas negara yang diembannya, yaitu pada Dinasti Tahiriyah di Khurasan dan Dinasti Tulun di Mesir serta Suriah, di samping beberapa informasi yang dikutipnya dari yang lain.
Al-Ya‘qubi menggunakan langgam sejarah sendiri tanpa mengikuti langgam sejarah sebelumnya. Ia berusaha mengembangkan pendekatan eksperimental dalam menulis. Hal itu dijelaskannya dalam kata pengantar bukunya itu dengan mengatakan, “Saya sejak muda yaitu ketika usiaku sudah memungkinkanku berpikir telah bercita-cita untuk mendalami sejarah negeri tertentu dan mengetahui jarak antara satu negeri dan negeri lain karena saya sudah mengembara dan melakukan banyak perjalanan sejak usia muda. Perantauanku sudah berlangsung lama.”
Pemikiran al-Ya‘qubi terkenal condong pada Alawiyah (keturunan Ali bin Abi Thalib) dan Muktazilah. Hal itu tampak jelas dalam sikapnya yang menentang musuh Alawiyah, khususnya Bani Umayah. Ketika membicarakan kepemilikan harta benda kaum muslimin pada masa kekhalifahan Usman bin Affan serta keberpihakan Usman terhadap keluarga dan kerabatnya, al-Ya‘qubi berkata, “Mereka (maksudnya anggota keluarga Usman) mendekatinya karena Usman tidak tegas sebagaimana pendahulunya, Umar.
Akibatnya, orang dari Bani Umayah menjadi kuat dan berusaha mengembalikan kekuasaan ke tangan keluarga mereka seperti pada masa Jahiliah, sebelum diambil alih Bani Hasyim pada masa Islam karena Nabi SAW berasal dari keluarga ini. Dengan demikian, Usman mendudukkan anggota keluarganya pada jabatan kenegaraan.”
Ia melanjutkan, “Banyak terjadi ekspansi pada masanya dan terkumpul banyak harta rampasan, dia kemudian membagibagikannya untuk anggota keluarga lebih banyak daripada bagian para sahabat.”
Al-Ya‘qubi juga mengungkapkan tindakan korupsi dalam pengumpulan pajak yang dilakukan para pegawai Usman yang berasal dari Bani Umayah. Ia berkata, “Dalam rangka memperbanyak harta benda (memperkaya diri), mereka mewajibkan pajak atas bumi tandus (al-ard al-kharab).
Mereka juga mewajibkan rakyat untuk memberi hadiah pada ‘Id al-Fairuz (Hari Raya Fairuz, suatu hari besar pra-Islam yang masih dirayakan masyarakat pada masa pemerintahan Bani Umayah di Damascus), yang pada masa Khalifah Mu‘awiyah bin Abu Sufyan mencapai 10.000.000 dirham, sebagaimana mereka mewajibkan pungutan tertentu atas orang yang kawin dan orang yang menulis (mencatat) jumlah harta benda.”
Lebih lanjut ia mengatakan, “Sering kali apa yang mereka lakukan itu bukan atas inisiatif sendiri, tetapi atas perintah para khalifah, sebagaimana yang aku saksikan apa yang ditulis Mu‘awiyah kepada Wardan (seorang pejabat ketika itu). Demikianlah apa yang mereka lakukan untuk memperkaya diri. Banyak cara yang mereka lakukan untuk itu.”
Al-Ya‘qubi juga menceritakan praktek penyitaan kekayaan pegawai pada masa Umayah. Ia berkata, “Para khalifah tidak akan memecat seorang pegawai, kecuali setelah memeriksa kekayaannya. Setelah itu, pegawai bersangkutan diadili dan kekayaannya, sejauh yang diketahui, disita.
Demikianlah yang mereka lakukan terhadap Khalid al-Qisri, seorang pegawai pemerintahan Bani Umayah pada masa Khalifah Hisyam (106 H/724 M–126 H/743 M), misalnya, ketika sekretaris mengetahui bahwa ia memiliki uang sebanyak 36.000.000 dirham. Hisyam kemudian mengutus orang yang akan menyita sebagian kekayaannya dan kekayaan para bawahannya.
Mereka menamakan tindakan ini dengan penyitaan. Mereka dalam hal ini menggunakan kekerasan. Oleh karena itu, terjadi kerenggangan antara penguasa dan rakyat yang justru mendatangkan bahaya atas kekuasaan Bani Umayah.”
Pengembaraan al-Ya‘qubi ke Transoksania memberikan manfaat besar bagi generasi berikutnya. Ia menyaksikan bagaimana para khalifah Abbasiyah mengambil anak-anak berkebangsaan Turki dan Fergana di Turkistan, dan menuangkannya di dalam bukunya al-Buldan.
Ia berkata, “Ekspansi Islam sudah sampai ke negeri Transoksania. Para pegawai di sana mengirimkan hadiah kepada para khalifah, antara lain dalam bentuk anak-anak berkebangsaan Turki dan Fergana. Pengambilan seperti itu semakin mudah pada masa al-Mu‘tasim (218 H/833 M–228 H/842 M) karena ibunya berasal dari sana.
Anak-anak itu mencapai jumlah ribuan, sebagian dibeli dan sebagian lagi dalam bentuk hadiah. Jumlah mereka terus bertambah hingga mencapai 18.000, semuanya menetap di Baghdad. Penduduk Baghdad menjadi resah karena tingkah laku mereka yang buruk. Sehubungan dengan itu, al-Mu‘tasim kemudian mendirikan sebuah kota di sebelah utara Baghdad untuk mereka, yaitu kota Samarra. Sebagian besar dari mereka dijadikan tentara.”
Al-Ya‘qubi secara mendetail menerangkan negeri yang pernah dikunjunginya. Ia menggambarkan jalan dengan sangat terperinci, demikian juga ladang kurma, taman, dan sungai serta sumber air, sebagaimana ia menggambarkan masyarakatnya yang majemuk.