Al-Qastallani adalah seorang ahli hadis kenamaan, pemberi komentar kitab hadis sahih al-Bukhari. Sejak mulai belajar, ia telah memperlihatkan kecerdasannya. Dalam waktu singkat ia telah menghafal kitab-kitab standar dan sejumlah kitab hadis.
Nama asli atau nama panjang al-Qastallani adalah Ahmad bin Muhammad al-Khatib bin Abi Bakar bin Abdul Malik bin Ahmad bin Muhammad bin Husain bin Ali; terkenal dengan sebutan Syihabuddin al-Qastallani.
Ia mulai belajar pengetahuan dasar keagamaan dalam lingkungan keluarganya sendiri. Setelah usianya matang untuk menerima pengetahuan lanjutan, ia mulai keluar untuk mendapatkan guru yang bisa membimbingnya dalam menyelami bermacam-macam ilmu pengetahuan keagamaan tersebut.
Di antara gurunya yang dijadikannya pembimbing itu ialah Burhan al-Ajaluni, Jalal al-Kabir, Khalid al-Azhari (seorang ahli ilmu nahu yang masyhur pada masa itu), Hafiz as-Sakhawi (seorang ahli dan penghafal hadis) dan Syekh Zakaria al-Ansari (seorang pemuka fikih Syafi‘i dan ahli tasawuf).
Pelajaran yang diterimanya dari para gurunya itu antara lain pengetahuan bahasa Arab, ilmu tafsir, hadis, fikih, ilmu kalam, tasawuf, tarikh, dan qiraat.
Ketika mulai menerima pengetahuan dasar keagamaan, telah kelihatan kecerdasan otaknya yang luar biasa dan melebihi teman-teman sebayanya, terutama sekali dalam mengingat sesuatu.
Kecemerlangan otaknya itu lebih jelas kelihatan ketika ia menjejakkan kakinya di tingkat pengetahuan lanjutan. Dengan modal inilah al-Qastallani dapat menyelesaikan pelajaran dalam waktu relatif singkat.
Setelah menyelesaikan masa belajarnya secara formal pada guru-gurunya, al-Qastallani berusaha belajar secara mandiri sambil mengembangkan pengetahuan yang telah dimilikinya itu dengan jalan lebih banyak menulis buku.
Dalam waktu singkat ia telah dapat menulis sejumlah besar kitab; ada yang ditulisnya secara ringkas dan ada pula yang ditulis berjilid-jilid tebal. Buku-buku tersebut mencakup berbagai disiplin ilmu, tetapi yang terbanyak adalah dalam bidang hadis.
Di antara karyanya yang masyhur dan masih beredar di tengah masyarakat sampai dewasa ini ialah Irsyad as-Sari ila sahih al-Bukhari (Petunjuk bagi Orang yang Menuju sahih al-Bukhari) sebanyak 10 jilid tebal. Kitab tersebut merupakan komentar terhadap sahih al-Bukhari (himpunan hadis sahih Imam Bukhari) yang cukup tinggi nilainya dalam pandangan ulama hadis.
Untuk memudahkan mengambil kandungan pokok dari karyanya itu ia menulis sebuah kitab ringkasannya, yang diberinya nama Mukhtasar al-Irsyad (Ringkasan Petunjuk), tetapi sayang kitab ringkasan tersebut tidak sampai selesai dikerjakannya.
Selain buku tersebut, Mustafa Muhammad Ammarah menulis pula intisari kitab Irsyad as-Sari yang memuat hadis-hadis pilihan menyangkut ajaran pokok agama Islam. Kitab tersebut ialah Jawahir al-Bukhari wa Syarh al-Qasthallani (Intisari Sahih Imam Bukhari dan Penjelasan yang Diberikan oleh Imam al-Qastallani).
Di samping memberi komentar terhadap sahih al-Bukhari dengan penulisan kitab di atas, ia juga sempat menulis komentar terhadap sahih Muslim (Syarh sahih Muslim = Penjelasan terhadap sahih Muslim), tetapi hanya selesai sampai pertengahan kitab al-hajj (buku mengenai haji).
Kitab-kitab karangannya yang lain di antaranya Syarh asy-Syathibiyyah (Penjelasan tentang asy-Syatibiyah), Syarh al-Burdah (Penjelasan mengenai Burdah), Masalik al-hunafa’ fi as-salat ‘ala al-Musthafa (Cara yang Ditempuh Orang Suci Berselawat kepada Nabi),
al-Mawahib al-Laduniyyah bi al-Minah al-Muhammadiyyah (Pemberian Allah dengan Pemberian Muhammad), dan Kitab Latha’if al-Isyarat fi al-Qira’at al-Arba‘ ‘Asyarah (Petunjuk Sederhana dalam Bacaan Empat Belas). Umumnya kitab yang ditulis itu mempunyai gaya bahasa yang mudah dipahami.
Selain menulis kitab, ia juga sibuk menuangkan ilmunya melalui ceramah dan pengajian yang diberikannya secara rutin di Masjid Jami al-Atiq di Cairo. Dengan demikian ada keseimbangan antara apa yang digali, dianalisis, dan ditulis dalam bentuk buku dengan yang diberikannya secara lisan.
Selain sebagai seorang alim yang menjadi gudang ilmu, ia juga mempunyai sikap hidup yang penuh optimis, istikamah, tawaduk, zuhud, tidak silau oleh pangkat dan harta. Ia senantiasa menjauhkan diri dari pemerintah yang zalim.
Ketika menjelang ajalnya, Sultan Salim I dari Kerajaan Usmani (Ottoman) datang mengunjungi Mesir. Mendengar berita kedatangan Sultan, al-Qastallani mengungsi ke padang pasir karena tidak sudi berdekatan dengan penguasa yang dipandangnya penganiaya itu.
Akhirnya, dalam pengungsiannya itu ia jatuh sakit dan meninggal di desa Ainiyah pada hari Kamis pertengahan Muharam 923/1517 M dalam usia 72 tahun. Jenazahnya dimakamkan bersebelahan dengan makam Imam Badruddin al-Aini (komentator sahih al-Bukhari yang lain) di dekat Masjid Jami al-Azhar, Cairo.