Al-Muwahhidun, Dinasti

Al-Muwahhidun adalah sebuah dinasti Islam yang pernah berjaya di kawasan Afrika Utara dan Spanyol selama lebih dari satu abad, yaitu sejak 515 H/1121 M hingga 667 H/1269 M. Dinasti ini didirikan pada 1114 berdasarkan ajaran pendirinya, yakni Muhammad bin Tumart (1080–1130), yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Tumart.

Penamaan dinasti dengan al-Muwahhidun, yang berarti “golongan berpaham tauhid,” didasarkan atas prinsip dakwah Ibnu Tumart yang memerangi paham at-tajsim yang meng­ anggap bahwa Tuhan mempunyai bentuk (antropo­morfisme).

Paham ini berkembang di Afrika Utara pada­ masa itu di bawah kekuasaan Dinasti al-Mura­bitun (448 H/1056 M–541 H/1147 M) atas dasar bahwa ayat yang berkaitan dengan sifat Tuhan yang tersebut dalam Al-Qur’an, seperti “tangan Tuhan”, tidak dapat ditakwilkan (dijelaskan) dan harus dipahami­ seperti apa adanya. Menurut Ibnu Tumart, paham at-tajsim identik dengan syirik (menyekutukan­ Allah) dan orang yang berpaham at-tajsim adalah musyrik.

Ibnu Tu­mart menganggap bahwa menegakkan ke­benaran dan memberantas kemungkaran harus dilakukan­ dengan kekerasan. Oleh karena itu, dalam mendakwahkan prinsipnya Ibnu Tumart tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Sikap keras Ibnu Tumart ini tentu saja tidak disenangi sebagian besar masyarakat, terutama kalangan ulama dan penguasa.

Oleh sebab itu, tidak heran apabila Ibnu Tumart mendapat tantangan di mana-mana. Ia di­lindungi Sultan Ali bin Yusuf bin Tasyfin (507 H/1113 M–537 H/1142 M) yang hanya mengusirnya dari Marrakech (ibukota Kerajaan al-Murabitun). Namun dakwah Ibnu Tumart ini mendapat dukungan dari berbagai suku Barbar, seperti suku Haragah, Hantanah, Jadmiwah, dan Janfisah.

Pada mulanya dakwah Ibnu Tumart bersifat murni,­ artinya tidak didasari kepentingan politik tertentu, semata-mata hanya ingin menegakkan tauhid yang murni. Akan tetapi, setelah merasa bahwa dakwahnya mendapat sam­butan yang cukup berarti dan pengikutnya sudah mulai banyak, sementara itu Dinasti al-Murabitun mulai melemah, Ibnu Tumart berambisi untuk menjatuhkan kekuasaan kaum Murabitun.

Maka pada 514 H/1120 M ia menobatkan dirinya sebagai al-Mahdi dan dibaiat pengikutnya­ untuk melaksanakan maksudnya itu. Ia menamakan­ pengikutnya al-Muwahhidun dan wilayah kekuasaannya, yaitu Tinmallal dan sekitarnya, sebagai ad-Daulah al-Muwahhidiyyah.

Ibnu Tumart menyusun struktur negara al-Muwahhidun­ atas dasar struktur militer, dengan perincian­ sebagai berikut:

(1) al-‘Asyrah (Dewan Se­puluh), semacam Dewan Menteri; disebut juga Ahl-al-Jama‘ah;

(2) Ahl al-Khamsin (Dewan Lima Puluh), semacam senat;

(3) Ahl as-Sab‘in (Dewan Tujuh Puluh), semacam dewan rakyat;

(4) at-Talabah,­ Dewan Ahli yang terdiri dari ulama senior;

(5) al-Huffaz, Dewan Ahli yang terdiri dari ulama yunior;

(6) Ahl ad-Dar (Keluarga Istana);

(7) Kabilah Haragah, yaitu kabilah Ibnu Tumart sendiri;

(8) Ahl Tainmul (pasukan inti), mewakili beberapa kabilah;

(9) Kabilah Jadmiwah; (10) Kabilah­ Janfisah;

(11) Kabilah Hantanah;

(12) kabilah Muwahhidun;

(13) prajurit; dan

(14) al-Girrat atau rakyat biasa.

Urutan dalam kelompok tersebut di atas menunjuk kepada peranan dan fungsi masing-masing. Yang paling tinggi adalah al-‘Asyrah. Me­reka mempunyai hak memilih, mengangkat, dan membaiat imam atau kepala negara (dalam tradisi al-Muwahhidun selanjutnya kepala negara disebut khalifah).

Penentuan Dewan Menteri berjumlah sepuluh orang mungkin disebabkan bahwa yang pertama kali membaiat Ibnu Tumart berjumlah se­puluh orang. Dewan inilah yang nantinya mengangkat­ Abdul Mu’min bin Ali sebagai pengganti Ibnu Tumart. Akan tetapi, semua kelompok tersebut di atas mempunyai kewajiban yang sama, yaitu menyukseskan dakwah Muwahhidiyyah.

Langkah pertama yang diambil Ibnu Tumart dalam­ meraih ambisinya adalah mengajak kabilah Barbar ikut bergabung bersamanya. Kabilah yang menolak bergabung diperanginya sehingga­ dalam waktu yang relatif singkat banyak kabilah Barbar yang tunduk di bawah perintahnya.

Pada 524 H/1129 M dengan jumlah pasukan sebanyak 40.000 orang, di bawah komando Abu Muhammad al-Basyir al-Wansyarisi, kaum al-Muwahhidun­ menyerang ibukota Dinasti al-Murabitun, Marrakech.

Peristiwa itu terkenal dengan nama Perang Bu-hairah. Dalam perang itu, kaum al-Muwahhidun menderita kekalahan besar. Banyak prajurit mereka terbunuh, termasuk komandan perang al-Wansyarisi dan beberapa anggota al-‘Asyrah. Kekalahan­ ini mengakibatkan meninggalnya Ibnu Tumart pada tahun itu juga.

Setelah Ibnu Tumart wafat, Abdul Mu’min bin Ali (487 H/1094 M–558 H/1163 M) dibaiat sebagai pemimpin al-Muwahhidun menggantikan Ibnu Tumart. Ia dipilih­ padahal tidak ada hubungan kekerabatan dengan Ibnu Tumart karena ia dianggap sebagai­ orang yang paling dekat dengan Ibnu Tumart.

Selain itu, ia dikenal sebagai orang yang berpe­­ngetahuan luas, pintar, dan pemberani. Pilihan itu ternyata tepat. Di bawah kepemimpinannya kaum al-Muwahhidun meraih kemenangan demi keme­nangan. Pada 526 H/1131 M kaum al-Muwahhidun­ menguasai Nadla, kemudian Dir’ah, Taigar,­ Fazar, dan Giyasah.

Pada 534 H/1139 M kaum al-Muwahhidun melancarkan serangan ke kubu-kubu pertahanan al-Murabitun sehingga satu demi satu wilayah kekuasaan al-Murabitun jatuh ke tangan kaum al-Muwahhidun. Fez, kota terbesar kedua setelah Marrakech, direbut kaum al-Muwahhidun 540 H/1145 M. Setahun kemudian kaum Muwahhidun berhasil menguasai ibukota Marrakech dan menjatuhkan Dinasti al-Murabitun.

Setelah berhasil menjatuhkan Dinasti al-Mura­bitun dan menguasai seluruh wilayah Magribi, Abdul Mu’min bin Ali berambisi memperluas wilayah kekuasannya­. Untuk itu ia memindahkan pusat pemerintahan al-Muwahhidun dari Tinmallal ke Marra­kech. Dari situ Abdul Mu’min melancarkan eks­pansi jauh ke wilayah timur. Pada 1152 ia merebut Aljazair. Enam tahun berikutnya seluruh wilayah Tunisia dikuasai kaum al-Muwahhidun dan hanya 2 tahun setelah itu, yaitu 1160, Tripoli­ (Libya) jatuh ke tangannya.

Sementara itu di Andalusia (Spanyol) kaum al-Muwah­hidun mere­but kembali wilayah kaum al-Murabitun yang dikuasai kaum Nasrani. Pada masa Abdul Mu’min wilayah Dinasti al-Muwahhidun membentang dari Tripoli hingga ke Samudera Atlantik sebelah­ barat, suatu prestasi gemilang yang belum pernah dicapai dinasti atau kerajaan mana pun di Afrika utara.

Pada 558 H/1162 M Abdul Mu’min bermaksud memper­luas wilayah kekuasaannya jauh ke wilayah Spanyol yang dikuasai orang Kristen. Untuk itu ia menyiapkan pasukan yang cukup besar, akan tetapi nasib menentukan lain. Sebelum niatnya tercapai, pada tahun itu juga Abdul Mu’min bin Ali mengembuskan napas yang tera­khir.

Ia digantikan putranya, Abu Ya’kub Yusuf bin Abdul Mu’min (w. 580 H/1184 M), seo-rang khalifah­ yang cakap, gemar ilmu, dan senang berjihad. Sama seperti ayahnya, ia berambisi memperluas wilayah kekuasaan al-Muwahhidun jauh ke sebelah utara dan timur. Untuk itu ia tidak segan-segan memimpin langsung pasukan al-Muwahhidun dan meninggalkan ibukota untuk jangka waktu yang lama.

Pada masanya paling sedikit dua kali kaum al-Muwah­hidun menyerang wilayah Andalusia. Pertama­ pada 565 H/1169 M di bawah komando saudaranya, Abu Hafs, kaum al-Muwahhidun berhasil merebut kota Toledo.

Kemudian pada 580 H/1184 M di bawah komandonya sendiri kaum al-Muwahhidun berhasil menguasai wilayah Syantarin di sebelah barat Andalusia dan menghancurkan­ tentara­ Kristen di daerah Lissabon (ibukota Portugal dewasa ini). Akan tetapi, dalam pertempuran memperebutkan­ Lissabon itu, Abu Ya’kub Yusuf terluka berat, yang mengakibatkan­ kematiannya.

Di antara penguasa al-Muwahhidun, Abu Ya’kub Yusuf ada-lah yang paling dekat dengan­ kaum ulama dan cendekiawan. Pada masanya hidup orang besar seperti Ibnu Rusyd (filsuf besar Islam yang mengilhami kebangkitan­ intelektualitas di Barat), Ibnu Tufail (filsuf terkenal Islam yang mengarang buku hayy Ibn Yaqzan), Ibnu Mulkun Abu Ishaq Ibrahim bin Abdul Malik (ahli bahasa yang terkenal), Abu Bakar bin Zuhr (ahli kesehatan yang merangkap menteri), dan sebagainya,­ sehingga Marrakech merupakan pusat peradaban Islam terbesar dewasa itu.

Pengganti Abu Ya’kub adalah putranya, Abu Yusuf Ya’kub al-Mansur. Pada tahun awal kekuasaannya terjadi dua pemberontakan di Spanyol:

(1) cucu Ibnu Ganiyah, Ali bin Ishaq bin Muhammad, penguasa Kepulauan Miurqah, Manurqah,­ dan Yabisah; dan

(2) orang Kristen yang berusaha merebut wilayah Islam di Spanyol. Kedua pemberontakan­ ini dapat dipatahkan,­ bahkan pasukan al-Muwahhidun berhasil menawan sekitar 13.000 orang Kristen dan memaksa Raja Alfonso bertekuk lutut dengan menerima konsesi terhadap Dinasti al-Muwahhidun.

Akan tetapi, setelah beberapa tahun, tepatnya pada 591 H/1194 M, Alfonso kembali memberontak dengan keyakinan bahwa ia akan membebaskan wilayah Spanyol dari penguasaan orang Islam. Untuk itu ia mengerahkan pasukan­ yang sangat besar, namun pemberontakan itu dapat dipatahkan tentara Muwahhidun yang langsung dipimpin oleh khalifah sendiri dengan du­kungan kabilah Arab, Zanatah, Masmudah, Gamarah, Agraz, dan kaum budak.

Benteng Ark yang meru-pakan pusat pertahanan orang Kristen dapat dihancurkan dan kaum al-Muwahhidun menawan setidak-tidaknya 20.000 tentara Kristen. Keme­nangan besar kaum al-Muwahhidun ini rupanya­ merupakan kemenangan terakhir kaum muslim terhadap orang Kristen di Spanyol. Setelah itu dalam pertem-puran selanjutnya antara kaum muslim dan orang Kristen, kaum muslim tidak pernah menang.

Dalam pada itu, di wilayah Magribi sendiri terjadi beberapa pemberontakan yang ingin melepas­kan diri dari kekuasaan kaum al-Muwahhidun. Pemberontakan yang terbesar dilakukan Ali bin Ishaq selagi pasukan al-Muwahhidun berperang­ melawan pasukan Kristen di Spanyol, tetapi pemberontakan itu dapat dipatahkan.

Sementara itu, akibat Perang Salib yang berlangsung di Timur antara kaum muslimin di bawah pimpinan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi dan orang Kristen, telah terjalin hubungan yang erat antara Khalifah Abu Yusuf Ya’kub al-Mansur dan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi. Disebut­kan bahwa Abu Yusuf membantu pasukan Salahuddin dengan me­ngirimkan 180 unit kapal perang untuk melawan tentara Kristen.

Namun demikian, hubungan baik antara Abu Yusuf dan Salahuddin itu tidak lantas melupakan ambisi sang khalifah untuk menguasai Mesir. Hal itu masih belum dapat dilaksanakannya karena terhalang oleh pemberontakan dalam negeri, baik oleh orang Islam itu sendiri maupun oleh orang Kristen di Spanyol.

Pada 595 H/1198 M Abu Yusuf Ya’kub al-Mansur meninggal dunia dan dikuburkan di Tinmalla di samping kuburan ayah dan kakeknya, Abdul Mu’min bin Ali. Ia digantikan anaknya, Muhammad an-Nasir, yang pada saat itu belum mencapai usia 17 tahun.

Akibatnya, kendali negara lebih banyak dipegang oleh para menterinya yang saling berebut mengambil simpati khalifah yang masih muda. Keadaan seperti ini dimanfaatkan benar­ oleh lawan al-Muwahhidun.

Sekalipun pernah dikalahkan penguasa sebelumnya, ya­itu Abu Yusuf Ya’kub, dalam pemberontakan yang dilakukannya,­ Ibnu Ganiyah kembali mencoba mengdongkel­ kekuasaan kaum al-Muwahhidun. Wilayah al-Muwahhidun di Tunisia dapat direbutnya, malah ia memerintah­ wilayah itu atas nama Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Baru pada 602 H/1205 M kaum al-Muwahhidun berhasil me­rebut kembali wilayah Tunisia dari tangan Ibnu Ganiyah.

Sementara itu orang Kristen di Spanyol juga mem­berontak. Satu per satu wilayah kekuasaan­ al-Muwahhidun dapat ditaklukkan. Muhammad an-Nasir menyiapkan bala­ tentaranya untuk menghalau­ tentara Kristen itu, tetapi ia tidak mendapat dukungan dari gubernur terkemukanya, Abu Muhammad Abdul Wahid bin Hafs, yang menguasai­ wilayah Tunisia.

Pada mulanya pasukan al-Muwahhidun dapat menekan tentara Kristen, namun­ karena terjadi perpecahan di kalangan pimpinan al-Muwahhidun, akhirnya pasukan al-Muwahhidun­ dihancurkan tentara Kristen. Kekalahan ini berakibat dikua-sainya kembali Spanyol oleh orang Kristen dan pengusiran besar-besaran orang Islam dari Spanyol.

Selain itu, kekalahan ini juga telah melemahkan kekuasaan kaum al-Muwahhidun secara keseluruhan. Abu Ya’kub II yang menggantikan ayahnya tidak dapat berbuat banyak menghadapi kaum pemberontak yang kian meluas ke seluruh negeri. Akhirnya pada 667 H/1269 M Dinasti al-Muwahhidun lenyap dari bumi Afrika utara dan digantikan­ oleh Dinasti al-Mariniyyah.

Daftar Pustaka

Brockelmann, Carl. Tarikh asy-Syu‘ub al-Islamiyyah, terj. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1974.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam: as-Siyasi wa ad-Dini wa ats-Saqafi wa al-Ijtima‘i. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1967.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan, 1974.
Holt, P.M. The Cambridge History of Islam. Cambridge: Cambridge University Press, 1970.
Ibnu al-Asir. al-Kamil fi at-Tarikh. Beirut: Dar al-Ma‘arif, 1966.
asy-Syantani, Ahmad, et al. Da’irah al-Ma‘arif al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

UMAR SHAHAB

__