Al-Muhtasib adalah sebutan bagi orang yang bertugas sebagai pelaksana lembaga al-hisbah, yakni menyelesaikan kasus pelanggaran terhadap prinsip dasar amar makruf nahi mungkar, yang tidak termasuk wewenang wilayah al-qadha’ (peradilan biasa) dan wilayah al-mazalim (peradilan kasus tindak pidana para pejabat dan keluarganya).
Makruf (ma‘ruf), yang secara harfiah berarti (sesuatu) yang dikenal, adalah setiap ucapan, tindakan atau tekad yang dianggap baik dan diperintahkan syarak untuk dilakukan.
Adapun mungkar (munkar) adalah segala ucapan, tindakan, atau tekad yang dianggap tidak baik atau buruk dan dilarang syarak untuk dilakukan.
Mahmud Hilmi (pakar hukum Mesir modern) dalam kitab-nya Nizam al-hukm al-Islami (Sistem Hukum Islam) dan Imam al-Mawardi (ulama fikih; w. 975 H/1059 M) dalam kitabnya al-Ahkam as-Sultaniyyah (Hukum Ketatanegaraan) mendefinisikan al-hisbah sebagai lembaga yang bertugas melakukan amar makruf apabila tidak ada orang yang melakukannya, dan mencegah perbuatan mungkar apabila nyata-nyata ada pelanggaran.
Ibnu Taimiyah (pemikir Islam terkemuka) dalam kitabnya al-Hisbah fi al-Islam (Lembaga Hisbah dalam Islam) mengatakan, seluruh wilayah teritorial Islam harus bertujuan dan menegakkan amar makruf nahi mungkar.
Pada prinsipnya al-muhtasib bisa berbentuk perseorangan dan bersifat sukarela (al-mutatawwi‘), dan dapat juga merupakan lembaga yang ditunjuk pemerintah. Al-muhtasib mutatawwi‘ lebih mirip dengan juru dakwah, yang ajakannya tidak mengikat.
Ia tidak berwenang menjatuhkan sanksi, jadi hanya bersifat preventif. Adapun al-muhtasib adalah petugas pemerintah yang berwenang menjatuhkan sanksi.
Menurut Imam al-Mawardi, perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut:
(1) dalam hal kewajiban, hukum al-mutatawwi‘ adalah fardu kifayah, sedangkan hukum al-muhtasib adalah fardu ain;
(2) dari segi profesionalisme, al-mutatawwi‘ melakukan amar makruf nahi mungkar secara sambilan, sementara al-muhtasib sebagai kewajiban profesi yang harus dilaksanakan secara berencana dan terprogram;
(3) al-mutatawwi‘ tidak mempunyai kewenangan menerima pengaduan dan melakukan pemeriksaan, sedangkan al-muhtasib berwenang mengawasi masyarakat, menerima pengaduan, dan melakukan pemeriksaan;
(4) dalam masalah hukum, al-mutatawwi‘ tidak berhak menjatuhkan hukuman, sedangkan al-muhtasib berhak menjatuhkan hukuman takzir sepanjang tidak seberat hudud; dan
(5) al-mutatawwi‘ tidak digaji oleh pemerintah, sedangkan al-muhtasib digaji oleh pemerintah. Untuk selanjutnya pembicaraan al-muhtasib di sini dimaksudkan sebagai petugas pemerintah dan berbentuk lembaga.
Tidak semua orang memiliki kualifikasi sebagai al-muhtasib. Atiyah Musyrifah, pakar hukum Mesir, dalam kitabnya al-Qadha’ fi al-Islam (Peradilan dalam Islam) menyebutkan syarat al-muhtasib, yaitu orang merdeka dan fakih.
Adapun syarat al-muhtasib menurut Salam Mazkur, pakar hukum Mesir, dalam kitabnya al-Qadha’ fi al-Islam (Peradilam dalam Islam) adalah mukmin, mukalaf, mampu mengemban tugas amar makruf nahi mungkar, adil, dan diangkat oleh penguasa. Wewenang al-muhtasib, menurut Mahmud Hilmi, terdiri atas tiga bagian:
Pertama, berkaitan dengan hak Allah SWT, meliputi:
(1) memerintahkan umat agar melakukan salat Jumat dan salat wajib lima waktu dengan segala syiarnya, serta memberikan sanksi bagi yang tidak melakukannya;
(2) memberi peringatan kepada orang yang enggan membayar zakat, puasa, serta mencegah orang yang tidak memiliki kewenangan berfatwa dalam urusan agama; dan
(3) mencegah orang minum khamar, melarang pendirian tempat hiburan yang haram, dan mencegah pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Kedua, berkenaan dengan hak hamba, meliputi:
(1) mencegah kecurangan akibat dendam atas kecurangan yang lain dan
(2) membimbing para pekerja sosial, seperti guru dan dokter untuk melaksanakan tugas yang merupakan amanah Allah SWT dengan sebaik-baiknya.
Ketiga, berkenaan dengan hak hamba dan hak Allah SWT, meliputi:
(1) mencegah segala bentuk kecurangan dalam muamalah (transaksi jual beli);
(2) mencegah pengurus masjid memanjangkan salat dan memberikan peringatan kepada hakim yang pernah tidak hadir melaksanakan tugasnya;
(3) mencegah pemilik hewan membebani hewan melebihi kesanggupannya dan mencegah pemilik perahu mengam-bil muatan melebihi kapasitas angkut;
(4) memelihara sopan-santun islami dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan; dan
(5) mengawasi jalan umum agar tidak dimanfaatkan di luar fungsinya dan mengawasi kuburan agar kehormatan mayat tidak tercemar.
Pada masa awal Islam, al-muhtasib dipegang langsung oleh kepala negara. Namun pada perkembangan selanjut nya diangkat orang yang dipandang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas, dengan pembagian wilayah secara jelas.
Rasulullah SAW pernah bertindak sebagai al-muhtasib. Menurut hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW memasukkan tangannya ke dalam tumpukan buah-buahan, milik seorang pedagang, yang di atasnya tampak segar sementara di bagian bawah (dalam) buah-buahan itu busuk.
Melihat kenyataan itu, Rasulullah SAW bertanya kepada pedagang buah itu, “Mengapa tidak engkau taruh yang busuk ini di bagian atas sehingga para pembeli mengetahuinya?” Rasulullah menambahkan lagi, “Siapa yang menipu, bukan umatku” (HR. Jamaah ahli hadis).
Kemudian Rasulullah SAW pernah menunjuk orang lain menjadi al-muhtasib. Sa‘id bin Sa‘id bin As bin Umayah adalah orang yang pertama kali ditunjuk Rasulullah SAW sebagai al-muhtasib.
Ia bertugas mengawasi pasar Mekah sesudah peristiwa Fath al-Makkah (Penaklukan Mekah). Sementara untuk mengawasi pasar Madinah, Rasulullah SAW menunjuk Umar bin Khattab.
Ketika menjadi khalifah, Umar bin Khattab pernah menu-gaskan Abdullah bin Utbah, Sa‘id bin Yazid, Samra binti Nuhaik as-Sa‘diyyah, dan Syifa Umm Sulaim sebagai al-muhtasib di Madinah.
Kemudian pada masa Usman bin Affan dikenal al-muhtasib al-Haris dan pada masa Ali bin Abi Thalib dikenal Samrah bin Jundab sebagai al-muhtasib di Ahwaz yang dijabat sampai masa pemerintahan Bani Umayah.
Daftar Pustaka
Duraib, Su‘ud bin Sa‘ad ‘Ali. at-Tanzim al-Qada’i fi al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Sa‘udiyyah fi Dau’ asy-Syari‘ah al-Islamiyyah wa Nizam as-Sultan al-Qadha’iyyah. Riyadh: University Ibnu Sa‘ud al-Islamiyyah, 1983.
Hilmi, Mahmud. Nizam al-hukm al-Islami. Beirut: Dar al-Huda, 1978.
Ibnu Khaldun. Muqaddimah Ibnu Khaldun, terj. Ahmadie Thaha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
al-Humadi, Abdurrahman Ibrahim Abdul ‘Aziz. al-Qadha’ wa Nizamuh fi al-Kitab wa as-Sunnah. Mekah: Jami‘ah Umm al-Qura, 1409 H/1989 M.
Ibnu Taimiyah. al-hisbah fi al-Islam. Cairo: Dar asy-Sya‘b, 1976.
Madkur, Muhammad Salam. al-Qadha’ fi al-Islam. Cairo: Dar an-Nahdah al-‘Arabiyyah, t.t.
al-Mawardi. al-Ahkam as-Sultaniyyah fi as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Musyrifah, Atiyah. al-Qadha’ fi al-Islam. Beirut: Syirkah asy-Syarq al-Ausat, 1966.
Atjeng Achmad Kusaeri