Al-Mawardi (Basrah, 364 H/975 M–Baghdad, 450 H/1058 M) adalah seorang ahli fikih Mazhab Syafi‘i, ahli hadis, pemikir politik Islam, hakim agung (qadhi al-qudhat) Dinasti Abbasiyah, dan penulis yang produktif, terutama di bidang hukum dan politik. Ia tergolong fakih terbesar pada zamannya.
Nama lengkap al-Mawardi adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi. Ia memperoleh pendidikan awal di kota kelahirannya,Basrah, salah satu pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan penting dunia Islam pada waktu itu. Ia berguru kepada para ahli fikih, antara lain Syekh ash-Shaimiri dan Syekh Abu Hamid.
Sejak kecil al-Mawardi sudah dikenal sebagai anak cerdas. Sejak berusia muda, ia sudah menunjukkan minatnya yang besar kepada persoalan fikih siyasah (hukum politik dan tata negara) dan mempersiapkan diri untuk profesi kehakiman. Setelah menyelesaikan studinya, ia berprofesi sebagai hakim dan dikenal sebagai ahli fikih Mazhab Syafi‘i.
Profesinya sebagai hakim negara membuatnya bertugas di berbagai tempat. Karier itu pula yang mengantarkannya bertugas di Baghdad, yakni sebagai qadhi al-qudhat (hakim agung) dan sekaligus penasihat khalifah di bidang agama, hukum, dan pemerintahan.
Pada masa itu, Dinasti Abbasiyah sesungguhnya sudah mengalami kemunduran, dan daulah Islamiyah sudah terpecah menjadi beberapa dinasti, besar dan kecil, yang hanya berhubungan dengan khalifah secara formal. Kekuasaan politik faktual tidak lagi berada di tangan khalifah.
Salah satu dinasti yang ketika itu berhasil bangkit dan besar, dan bahkan pada akhirnya dapat merebut kekuasaan politik Baghdad, adalah Dinasti Buwaihi yang beraliran Syiah. Dinasti ini pada akhirnya dapat sepenuhnya memegang kekuasaan politik dan pemerintahan.
Dalam situasi politik yang tidak stabil seperti itu, al-Mawardi tergolong ulung dalam berdiplomasi dan bijak dalam membawakan diri. Sebagai pejabat tinggi negara, akhirnya ia tidak saja mendapat kepercayaan dari penguasa Bani Abbas dan sekaligus memperoleh simpati penguasa Dinasti Buwaihi.
Meskipun beraliran Suni yang menganut Mazhab Syafi‘i, al-Mawardi tetapi disenangi, baik oleh penguasa Bani Abbas yang Suni maupun oleh penguasa Dinasti Buwaihi yang Syiah. Bani Buwaihi senang karena ia sering kali membantu mereka dalam menyelesaikan pertikaian antara mereka dan kalangan istana Abbasiyah.
Sebagai seorang ilmuwan produktif, al-Mawardi mening galkan banyak karya tulis, antara lain: (1) al-Hawi (Yang Menghimpun), (2) al-Iqna’ (Keikhlasan), (3) Siyasah al-Muuk (Strategi Politik Para Raja), (4) Qawanin al-Wizarah (Undang-Undang Kementerian), (5) Adab ad-Dunya wa ad-Din (Tata Krama Kehidupan Politik dan Agama), dan (6) al-Ahkam as-Sulthaniyyah (Hukum Pemerintahan/Kesultanan).
Karyanya terakhir, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, membuat nama al-Mawardi dikenal hingga kini. Tulisan ini merupakan karya ilmiah pertama yang membahas ilmu politik dan administrasi negara dalam sejarah Islam, dan masih merupakan rujukan utama bagi ulama dan pemikir politik Islam di bidang politik dan pemerintahan.
Teori politik yang dikemukakan al-Mawardi adalah penting karena merupakan upaya pertama dalam sejarah Islam yang membahas dan menyusun teori kenegaraan secara lengkap, di samping karena berpengaruh besar terhadap pemikiran politik Islam sampai dewasa ini.
Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah sekarang dianggap sebagai karya monumental al-Mawardi di bidang politik. Di samping membahas beberapa teori politik dalam Islam, buku ini juga terutama menguraikan hal yang berkenaan dengan administrasi umum negara dan aturan dasar pemerintahan negara.
Pemikiran politiknya dilandasi dengan kerangka teori politik yang berdasarkan prinsip hukum Islam (fiqh), sesuai dengan disiplin ilmu yang didalaminya. Artinya, pemikiran politiknya berdasar pada kerangka teori politik yang sesuai dengan prinsip hukum Islam.
Al-Mawardi berjasa besar karena mampu menghimpun dasar ajaran Islam serta pendapat para fukaha pendahulunya, lalu menyusunnya ke dalam sebuah rumusan logis dan sistematis, sehingga menjadi teori dan pegangan yang memiliki kekuatan hukum dalam pandangan masyarakat Islam di zaman berikutnya.
Akan tetapi, sebagai seorang mujtahid, ia tidak hanya mengumpulkan pendapat para fukaha pendahulunya, tetapi juga juga memperlihatkan kemandirian dalam berijtihad. Artinya, ia juga menampilkan pendapat yang mandiri, berbeda, dan bahkan bertentangan dengan fukaha sebelumnya. Ia juga mengutarakan pendapat baru yang benar-benar orisinal.
Al-Mawardi tampil dengan teori imamah atau khilafah yang mencerminkan pemusatan kekuasaan di tangan khalifah. Karena itu, tidak mengherankan jika kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah berpengaruh sangat luas terhadap pemikiran politik Islam di zaman sesudahnya, bahkan hingga kini.
Buku yang terdiri atas 20 bab ini, secara umum berisi pokok-pokok kenegaraan, sepert:
(1) jabatan khalifah dan hal yang berhubungan dengannya (misalnya, syarat menjadi khalifah, proses pembaiatannya, instansi yang menunjuknya, dan kewajibannya),
(2) perangkat pemerintahan (misalnya, wazir, amir, dan kadi, berikut hal yang terkait dengannya, seperti syarat menjadi wazir, amir, dan kadi, serta hak dan kewajiban masing-masing), serta hubungan antara pemerintah dan rakyat.
Di dalam karyanya ini, al-Mawardi menerangkan bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri-sendiri, dan bahwa manusia itu berbeda-beda menurut bakat, kecenderungan, dan kemampuan. Oleh karena itu, manusia harus saling membantu dan bersatu dalam satu organisasi yang disebut negara.
Negara dibutuhkan manusia, dan pembentukannya merupakan kewajiban yang bersifat syar‘i (kewajiban keagamaan), bukan ‘aqli (kewajiban karena rasio). Dalilnya adalah ijmak (konsensus kaum muslimin pada masa sahabat setelah ditinggal Rasulullah SAW), di samping juga kutipan beberapa ayat dan hadis yang menguatkannya.
Sebuah negara Islam, menurutnya, dinilai baik apabila memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
(1) keyakinan agama berfungsi sebagai kekuatan moral yang mampu mengendalikan keinginan dan hawa nafsu manusia;
(2) penguasanya kharismatik, berwibawa, dan dapat diteladani;
(3) keadilannya merata;
(4) keamanannya kuat dan terjamin; dan
(5) kesuburan tanahnya dapat menjamin kebutuhan pangan warga negara.
Dalam rangka terwujudnya negara ideal seperti itulah al-Mawardi menyusun karya monumental, yang mengambil bentuk “konstitusi umum” bagi sebuah negara. Al-Mawardi menyatakan hal-hal pokok sebagai berikut:
(1) Imamah adalah suatu kepemimpinan yang dibentuk untuk menggantikan Nabi Muhammad SAW, dengan tugas memelihara agama dan mengendalikan kehidupan dunia. Imamah dapat dibentuk melalui pemilihan oleh ahl al-Hall wa al-‘aqd (majelis yang mampu memecahkan persoalan dan menetapkan kebijakan) atau ahl al-ikhtiyar (dewan pemilih) yang terdiri atas orang yang memenuhi persyaratan tertentu.
(2) Hasil musyawarah majelis atau dewan pemilih itu dikukuhkan melalui baiat, yaitu persetujuan dan pengakuan umat, atau dapat pula ditentukan melalui wasiat/penunjukan oleh imam sebelumnya, atau melalui pengangkatan putra mahkota sebagai calon pengganti imam sebelumnya.
(3) Imam harus berasal dari keturunan Quraisy yang memiliki sifat adil, berilmu, mampu berijtihad, sehat fisik serta mental, berwawasan luas, berani, dan tegas dalam melindungi rakyat serta menumpas musuh.
Apabila imam telah menjalankan tugas dan kewajibannya, maka rakyat wajib menyatakan setia dan taat kepadanya, mematuhi serta mendukung kebijakan politiknya, dan membelanya dari upaya pihak yang ingin menyingkirkan atau menjatuhkannya.
Dengan adanya proses pemilihan dan baiat (semacam kontrak sosial), al-Mawardi berbeda dari sebagian pemikir Islam lain, seperti al-Ghazali (teolog, sufi, filsuf Iran; 1058– 1111) dan Ibnu Taimiyah (tokoh pembaru; 1263–1328), yang menyatakan bahwa kedaulatan berasal dari Tuhan. Al-Mawardi berpendapat bahwa sumber kedaulatan adalah masyarakat atau rakyat.
Namun, ada persoalan penting yang tidak begitu jelas diuraikan dalam karya itu. Dari pernyataannya tentang ketaatan rakyat kepada imam, tersirat pendapat yang menyatakan bahwa rakyat dapat membatalkan loyalitas dan ketaatannya kepada imam, apabila imam itu menyimpang dari ajaran yang benar, menindas rakyat, memperturutkan hawa nafsu, dan sebagainya.
Di sini, al-Mawardi sama sekali tidak menerangkan atau menyinggung bagaimana imam seperti itu dapat dimakzulkan atau dijatuhkan dari kedudukannya itu. Dengan kata lain, ia tidak menerangkan bagaimana cara yang benar dalam menghadapi imam yang lalim, karena memang belum sampai berbicara tentang teori hak asasi rakyat.
Daftar Pustaka
Gibb, Hamilton A.R. “al-Mawardi’s Theory of the Caliphate.” Studies on the Civi-lization of Islam, eds. Stanford J. Shaw and William R. Polk. Boston: Beacon Press, 1962.
Khan, Qamaruddin. al-Mawardi’s Theory of the State. Delhi: Idarah-i Adabiat-I Delli, 1979.
al-Mawardi. Adab al-Qadhi. Baghdad: Matba’ah al-Irsyad, 1971.
–––––––. al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
ar-Rayes. Muhammad Diya’ ad-Din, an-Nazariyyat as-Siyasiyyah al-Islamiyyah. Cairo: al-Anglo al-Misriyyah, 1960.
Rosenthal, Erwin E.J. Political Thought in Medieval Islam. Cambridge: Cambridge University Press, 1962.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993.
Sherwan, Haroon Khan. Early Muslim Political Thought and Administration. Delhi: Idarah-i Adabiat-i Delli, 1976.
Badri Yatim