Mustafa Lufti al-Manfaluti adalah seorang sastrawan, perintis sastra Arab modern, dan nasionalis Mesir. Ayah nya, Sayid Muhammad Lutfi, mempunyai pertalian darah dengan Nabi SAW melalui Husain bin Ali bin Abi Thalib. Banyak anggota keluarganya secara turun-temurun men jadi ulama dan kadi di Manfalut (“kota nan permai”), kota kecil di utara Cairo. Itulah sebabnya nama mereka memakai nisbah al-Manfaluti. Ibunya, Sitti Hanim, adalah keturunan Turki Corbaji.
Pendidikan dasar al-Manfaluti berlangsung secara tradisional di kuttÎb (tempat belajar) milik Syekh Jalaluddin as-Suyuti di bawah bimbingan Syekh Muhammad Ridwan. Di sini ia belajar menulis, membaca, dan menghafal Al-Qur’an. Dalam usia 11 tahun ia sudah menghafal Al-Qur’an.
Benih kecintaan al-Manfaluti terhadap sastra sudah tumbuh sejak ia masih remaja. Sahabat ayahnya, seorang peminat sastra yang bernama Abdullah Hasyim, sering berkunjung ke rumahnya sambil membawa buku syair.
Ketika ia mengalami guncangan jiwa karena orangtuanya bercerai, al-Manfaluti menghibur dirinya dengan membaca cerita rakyat Arab, seperti yang ditulis Antarah bin Syaddad (w. 615); buku kum pulan syair al-Mufadhdhaliyyat karya al-Mufaddal ad-Dabbi (w. 785), sastrawan Kufah; dan buku sastra klasik Arab, seperti Alf Lailah wa Lailah (Seribu Satu Malam).
Pada 1888 al-Manfaluti memasuki al-Azhar di Cairo. Tetapi ia tidak puas dengan sistem belajar di perguruan tinggi tersebut. Di sana ia berhadapan dengan kitab matan (intisari) dan syarh (penjelasan) yang banyak iftiradhi (berandai-andai); ke banyakan literaturnya dalam bidang fikih.
Al-Manfaluti bosan dengan gaya bahasa kitab yang menjadi pegangan di sana. Oleh sebab itu ia selalu mencari kesempatan untuk membaca kitab sastra modern, kitab yang dilarang dibaca oleh setiap mahasiswa al-Azhar.
Hukuman berat yang dikenakan bagi peminat sastra tidak membuatnya mundur, bahkan ia semakin mencintai bidang ini. Masa penuh kekecewaan ini dikemukakannya dalam buku karangannya, Nazarat (Pandangan).
Ia mengatakan antara lain bahwa ketika itu para syekh al-Azhar tidak ada yang tertarik kepada sastra karena dalam pandangan mereka sastra hany alah kesia-siaan serta perbuatan setan; membaca buku sastra dipandang sebagai kejahatan.
Kekecewaannya mulai terobati dengan kehadiran Muhammad Abduh (1849–1905) di perguruan tersebut. Dalam pandangannya, Muhammad Abduh telah memberi suasana baru dalam banyak hal di al-Azhar. Dalam bidang bahasa, Abduh telah menafsirkan Al-Qur’an dengan gaya bahasa modern.
Al-Manfaluti mempelajari ilmu balaghah dari Abduh dengan mempelajari kitab Asrar al-Balagah (Rahasia Ilmu Balaghah) dan Dala’il al-I‘jaz (Petunjuk Cara Pengungkapan Kata yang Ringkas dan Padat). Keduanya adalah karya Abu Bakar Abdul Kahir al-Jurjani, seorang ahli ilmu balaghah.
Dalam Nazarat, al-Manfaluti mengemukakan bahwa hubungannya dengan Muhammad Abduh selama 10 tahun itu sangat akrab, seperti anak dengan ayah. Kedekatannya itu membawanya juga dekat dengan Sa‘ad Zaglul (nasionalis, politikus, dan orator) dan Syekh Ali Yusuf (wartawan dan pemimpin koran al-Mu’ayyad [Pengikat]). Ketiga tokoh itu ikut mempengaruhi pembentukan kepribadian, semangat nasionalisme, dan corak karya sastranya.
Al-Manfaluti banyak membaca karya sastra Arab klasik. Misalnya, al-‘Iqd al-Farid (Kumpulan Karya Umar al-Farid; penyair mistik Mesir, w. 1235), al-Agani (Kitab Nyanyian; digubah oleh Abu Faraj al-Isfahani, w. 967), Syarh Diwan al-Mutanabbi (Antologi; karya Abu Tayyib al-Mutanabbi, w. 965), syair karya al-Buhturi (seorang penyair istana Daulat Abbasiyah, w. 897), syair karya Abu Tammam (seorang pen yair Suriah, w. 845), dan syair karya Syarif ar-Radi (khalifah Abbasiyah ke-20, w. 940).
Al-Manfaluti juga banyak membaca kitab sejarah, dan yang menjadi fokus perhatiannya adalah bahasanya. Misal nya, kitab Siyar al-Mulk al-‘Ajam (Sejarah Raja Negeri Orang; karya Ibnu al-Muqaffa, w. 756), al-‘Ibar (Suri Teladan; karya Ibnu Khaldun, w. 1406), dan al-Kamil fi at-Tarikh li Ibnu Atsir (Kitab Sejarah Lengkap; karya Ibnu Asir, w. 1233).
Selain itu, ia juga membaca kitab ilmu agama, misalnya Abkar al-Afkar fi al-Kalam (Pengantar Berpikir dalam Teologi; karya al-Amidi, w. 1233) serta Masyarik al-Anwar (kitab yang menerangkan arti kata sulit dalam al-Muwatta’ serta sahih al-Bukhari dan sahih Muslim), dan at-Tanbihat (Kitab Peringatan) yang merupakan karya al-Qadi Iyad (w. 1163).
Al-Manfaluti tidak memahami bahasa asing. Untuk mengetahui karya sastra asing, terutama sastra Perancis, ia meminta bantuan temannya untuk menceritakan kembali atau menerjemahkannya. Cerita atau terjemahan itu kemu dian disusun kembali dalam bahasa Arab modern dengan imajinasi yang kuat, pilihan kata yang tepat, struktur kalimat yang sederhana, dan pengungkapan perasaan yang tajam, sehingga enak dan menarik untuk dibaca.
Pada mulanya karya sastra yang dihasilkannya ketika ia berusia 16 tahun berupa syair yang memuji khedewi (gelar penguasa di daerah taklukan Turki Usmani/Ottoman), suatu corak karya sastra yang sedang digemari kala itu. Knya ini dimuat dalam koran al-‘Umdah (Penopang) dan al-Falah (Kemenangan) serta majalah al-Hilal (Bulan Sabit) dan al-Jam‘iyyah (Paguyuban).
Karyanya ini juga ikut berperan dalam mengobarkan perjuangan kemerdekaan Mesir. Ketika beru sia 18 tahun, ia menulis syair Tahrir Misr (Memerdekaan Mesir). Syairnya ini tersebar luas, dibaca banyak orang, dan membakar semangat patriotisme rakyat Mesir. Hal ini menyebabkan pemerintah yang pro-Inggris berang dan bermaksud menangkap penggubahnya, namun tidak berhasil.
Al-Manfaluti juga pernah menggubah syair untuk memuji Sultan Abdul Hamid II (memerintah 1876–1909). Tetapi ia juga pernah menggubah 25 bait syair untuk mencela Khedewi Abbas II yang pro-Inggris. Syairnya tersebut dicetak atas biaya Ahmad Fu‘ad, seorang nasionalis dan pemimpin surat kabar as-Sa’iqah (Pemandu). Akibatnya, ia dijebloskan ke dalam pen jara al-Haud al-Marsud (artinya “tempat yang dijaga ketat”).
Sejak 1905 al-Manfaluti tinggal di kampung halamannya, Manfalut. Di sini ia sering menyelenggarakan pertemuan (nadwah) sastra. Ia juga sering mengirimkan artikel, baik berupa esai maupun syair, ke surat kabar al-Mu’ayyad (Ikatan, Persatuan).
Pada 1908 ia kembali ke Cairo untuk memimpin surat kabar al-Mu’ayyad. Kemudian ia diangkat oleh Menteri Pendidikan Sa‘ad Zaglul sebagai redaktur bahasa Arab di depar temennya.
KetikaTheodore Roosevelt (presiden Amerika Serikat, 1901–1912) datang ke Khartum menghasut rakyat agar memihak Inggris, al-Manfaluti tampil melawannya dengan menulis artikel Muhakamah Roosevelt Amama Mahkamah al-‘Adl (Pengadilan Roosevelt di depan Mahkamah Keadilan).
Dunlop, konsultan Departemen Pendidikan Mesir (petugas pemerintah kolonial Inggris di Mesir) marah dan bermaksud memecatnya, tetapi dibela oleh Sa‘ad Zaglul. Ketika Sa‘ad Zaglul menjadi menteri Kehakiman, ia diberi jabatan yang sama di departemennya.
Karya monumental al-Manfaluti adalah Nazarat (kumpul an 121 artikel al-Manfaluti, 3 jilid), ‘Abarat (Tetesan Air Mata; himpunan 9 artikel dan terjemahan, 1 jilid), Mukhtarat al-Manfaluti (Kapita Selekta Karya al-Manfalut; himpunan karya sastra Arab [karyanya dan karya orang lain yang berasal dari Manfalut] dari masa ke masa, 2 jilid), dan karya terjemahan dari bahasa Perancis: Majdulin (Kumpulan Cerita Pendek), Fi Sabil at-Taj (Menuju Keagungan), asy-Sya‘ir (Penyair), dan al-Fadhilah (Keutamaan). Di samping itu terdapat sejumlah besar artikel lainnya.
Tulisan al-Manfaluti pada umumnya mempunyai misi perjuangan yang berkaitan dengan nasionalisme, kemer dekaan, keadilan, dan kepedulian yang sangat terhadap orang tertindas.
Daftar Pustaka