Al-Madini

(Basrah, 161 H/778 M–Samarra, 234 H/849 M)

Al-Madini (lengkap: Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Ja‘far bin Najih as-Sa‘di al-Madini al-Basri) adalah seorang hafiz, sejarawan, serta ahli bahasa serta ilmu keagamaan, seperti usul dan al-jarh wa at-ta‘dil (ilmu kritik hadis). Ia lahir di Basrah dari keluarga­ yang berasal dari Madinah­. Karena itulah di belakang namanya terdapat julukan “al-Basri” (tempat lahir) dan “al-Madini” (asal keluarga).

Semenjak masih kecil al-Madini sudah mempel­ajari dan menulis hadis. Ia mempelajari dan meri­wayatkan hadis antara lain dari Ja‘far bin Najih (ayahnya), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H/814 M), Ibnu Ulayyah (w. 197 H/813 M), Basyr al-Mufaddal (w. 186 H/802 M), Yahya bin Sa‘id al-Qattan (w. 186 H/802 M), dan Abu Bakar Abdur Razzaq as-San’ani (w. 211 H/627 M).

Dalam meriwayatkan hadis, ia melakukan perjalanan dari kota ke kota, seperti Basrah, Mekah, Madinah, dan Baghdad. Hal ini terlihat­ dari ungkapannya­ sendiri ketika ia berkata,

“Saya menulis Musnad (maksudnya kitab al-Musnad fi al-hadits [Sandaran dalam Hadis]) dengan cara penelitian mendalam. Setelah dilakukan penelitian mendalam itu, hadis-hadis tersebut saya tuliskan di atas kertas yang saya kumpulkan di dalam sebuah tas besar. Setelah mengembara mening­galkan kota Basrah se­lama tiga tahun, saya kembali dan mendapatkan tas besar itu telah bercampur dengan tanah.”

Ia hidup semasa dan bersahabat dengan dua ahli hadis terkenal di Baghdad, yakni Imam Hanbali dan Yahya Ibnu Ma‘in. Diriwayatkan bahwa apa­bila ia berkunjung ke Baghdad, ia mengadakan pengajian­ (halaqah). Pengajian itu dihadiri sejumlah­ besar jemaah, termasuk di dalamnya Imam Han­ bali dan Yahya Ibnu Ma‘in.

Ia menyelesaikan persoalan yang diperselisihkan jemaah penga­jiannya. Sejalan dengan itu, Imam Bukhari pernah berkata, “Saya sangat senang datang ke Baghdad apabila Ali al-Madini sedang berada di sana.”

Tokoh besar perawi hadis meriwayatkan hadis darinya, seperti­ Imam Bukhari, Abu Dawud, Abu Isa Muhammad at-Tirmizi, Imam Hanbali, dan an-Nasa’i. Gurunya sendiri,­ Mu‘az bin Mu‘az dan Sufyan bin Uyainah, juga meriwayat­ kan hadisnya. Ibnu Majah meriwayat­kan hadis al-Madini dalam kitab tafsirnya melalui Hasan bin Syabah al-Bazzar az-Za‘farani.

Ahli hadis lainnya yang meriwayatkan­ hadis al-Madini antara lain adalah Ibrahim bin Haris al-Baghdadi, Abu Bakr bin Abi Itab al-A‘yun, Abu Daud al-Harrani, Usman bin Abi Syaibah (156 H/773 M–239 H/854 M), anaknya yang bernama Abdul­lah bin Ali, Hanbal bin Ishaq asy-Syaibani, Abu Hatim as-Sijistani, Abu Syu‘aib al-Harrani, Abu al-Hasan al-Barra, Salih bin Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Ali al-Fadl al-Madini, Muhammad bin Usman bin Abi Syaibah, dan Qadi Abu Ya‘la al-Hanbali.

Melihat nama ahli hadis yang meriwayatkan­ hadis dari al-Madini, disimpulkan­ bahwa ia termasuk dalam jajaran ahli hadis yang dapat dipercaya. Ibnu Hibban al-Busti, seorang kritikus hadis, memasukkan nama al-Madini dalam kitabnya ats-siqah, sebuah buku tentang biografi­ tokoh perawi hadis yang dapat dipercaya­.

An-Nasa’i, ahli dan kritikus hadis lain­ nya, juga menilainya sebagai seorang yang dapat dipercaya­. Akan tetapi beberapa kritikus hadis,­ antara lain Yahya Ibnu Ma‘in (seorang kritikus hadis yang sangat­ ketat), mencerca dan mengelompokkan­nya­ dalam jajaran perawi hadis yang tidak dapat dipercaya.

Diriwayatkan­ bahwa Imam Hanbali juga pernah melontarkan­ pendapat seperti ini. Latar belakang timbulnya penilaian terakhir ini terutama karena al-Madini termasuk ahli hadis yang mene­rima­ pendapat mengenai “kemakhlukan Al-Qur’an” ketika dihadapkan pada mihnah (inkuisisi­ yang berkaitan dengan soal “apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan?”), yang dijalankan Khalifah al-Ma’mun (khalifah ke-7 Abba­siyah, me­merintah 198 H/813 M–218 H/833 M).

Akan tetapi, Imam Hanbali pernah mengatakan bahwa al-Madini berpendapat demikian karena takut­ dan terpaksa,­ apalagi ia ternyata­ “bertobat” dari pengakuannya itu. Muham­ mad bin Usman bin Abi Syaibah (ahli hadis) meriwayatkan bahwa dua bulan­ sebelum meninggal dunia,­ al-Madini berkata, ”Kalam Allah bukan makhluk.”

Muhammad bin Usman juga pernah mendengar al-Madini berpidato,­

“Barangsiapa yang berpendapat bahwa Al-Qur’an ada­lah makhluk, dia adalah kafir, barangsiapa yang berpendapat­ bahwa Allah tidak melihat adalah kafir, dan barangsiapa yang berpendapat bahwa Allah tidak berbicara dengan Nabi Musa dalam pengertian­ yang sebenarnya adalah juga kafir.”

Lepas dari kontroversi itu, yang jelas Imam Hanbali hanya meriwayatkan­ hadis yang diriwayatkan­ al-Madini sebelum menyetujui pendapat mengenai­ kemakhlukan Al-Qur’an ketika ia dihadapkan­ pada mihnah.

Kasus mihnah seku­rang-kurangnya membuat­ hadis yang diriwayatkan­ al-Madini setelah­ kasus itu dipertanyakan banyak ulama. Selain itu, masih ada hadis al-Madini yang juga masih dipertimbang­ kan kesahihannya oleh ulama, yakni yang diriwayatkan dan ditulisnya dari gurunya ketika ia masih kecil.

Al-Madini termasuk seorang ulama yang rajin menulis. Karyanya antara lain adalah al-Asami wa al-Kuna (Nama dan Gelar, 8 jilid), Qaba’il al-‘Arab (Kabilah Arab, 10 jilid), Tafsir Garib al-hadits (Tafsir Hadis Garib), al-Musnad fi al-hadits (Sandaran dalam Hadis), dan Ma‘rifah Man Naz­ ala as-sahabah min Sa’ir al-Buldan (Mengenal Orang yang Mengunjungi­ para Sahabat dari berbagai Negeri).

Daftar Pustaka

al-Asqalani, Syihabuddin Abu Fadl Ibnu Hajar. Tahdzib at-Tahdzib. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
Azami, Muhammad Mustafa. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya­. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Kahhalah, Umar Rida. Mu‘jam al-Mu’allifin: Tarajum Musannifi al-Kutub al-‘Arabiyyah. Beirut: Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi, t.t.
Badri Yatim