Al-Kindi adalah seorang filsuf besar pertama Arab dan Islam. Namanya berasal dari nama suku Arab pra-Islam, yaitu suku Kindah. Ayahnya bernama Ibnu as-Sabah, gubernur Kufah pada masa al-Mahdi (775–785) dan Harun ar-Rasyid (786–809). Kakeknya, Asy’ats bin Qais, adalah sahabat Nabi SAW. Al-Kindi adalah juga keturunan Ya‘rib bin Qathan yang berasal dari daerah Arab bagian selatan dan dikenal sebagai raja Kindah.
Pendidikan al-Kindi (nama lengkap: Abu Yusuf Ya‘qub bin Ishak bin Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qais al-Kindi) pada waktu kecil tidak banyak diketahui.
Ada riwayat yang menerangkan bahwa al-Kindi pernah belajar di Basrah dan Baghdad. Ia termasuk cerdas, menguasai bahasa Yunani dan bahasa Suryani di samping bahasa Arab, suatu kelebihan yang jarang dimiliki orang pada masa itu.
Ia hidup pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yaitu masa pemerintahan al-Amin (809–813), al-Ma’mun (813–833), al-Mu’tasim (833–842), al-Wasiq (842–847), dan al-Mutawakkil (847–861). Kelebihan yang dimilikinya menyebabkan dirinya diangkat sebagai guru dan tabib kerajaan.
Al-Kindi hidup pada masa kejayaan Abbasiyah dan ketika paham Muktazilah menjadi aliran resmi kerajaan. Muktazilah diterima menjadi aliran resmi kerajaan karena peranan penting al-Kindi, yang melancarkan suatu gerakan berskala luas dalam mengendapkan hal pokok dari pikiran Muktazilah dan kecenderungan rasionalitasnya dalam masyarakat.
Karya al-Kindi berjumlah 270 buah, kebanyakan di antaranya berupa risalah pendek dan banyak di antaranya sudah tidak ditemukan lagi. Melalui karyanya, al-Kindi dapat diketahui sebagai seorang yang berilmu pengetahuan luas dan mendalam.
Karyanya antara lain dapat dikelompokkan ke dalam bidang filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik, dan meteorologi. Banyak di antara karya tersebut yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Eropa, sehingga karyanya turut mempengaruhi pemikiran orang Eropa pada Abad Pertengahan.
Al-Kindi dikenal sebagai filsuf muslim pertama karena dialah orang Islam pertama yang mendalami ilmu filsafat. Hingga abad ke-2 H/7 M, pengetahuan filsafat masih didominasi orang Kristen Suriah. Selain dikenal sebagai seorang penerjemah, al-Kindi juga menyimpulkan karya filsafat Helenisme. Bahkan ia dikenal sebagai pemikir muslim Arab pertama yang menghubungkan dan menyelaraskan filsafat dan agama.
Pada masa pemerintahan al-Mutawakkil, khalifah yang mengakhiri masa kejayaan aliran Muktazilah, al-Kindi mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Ia dipecat dari berbagai jabatan yang telah dipercayakan kepadanya.
Jabatannya sebagai guru di istana diambil alih putra Musa yang juga tergolong ilmuwan, walaupun tidak sepopuler al-Kindi. Suatu ketika putra Musa merampas perpustakaan al-Kindiyah, milik pribadi al-Kindi, tetapi pada akhirnya perpustakaan tersebut dikembalikan kepada al-Kindi.
Sebagai perintis filsafat murni dalam dunia Islam, al-Kindi memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia, yaitu ilmu pengetahuan mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama dan merupakan sebab dari semua realitas lainnya. Ia melukiskan filsafat sebagai ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat bertujuan untuk memperkuat kedudukan agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam.
Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga pada proposisi filosofis. Menurut al-Kindi, Tuhan itu tidak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz’iyyah atau aniyyah (sebagian) maupun hakikat secara kulliyyah atau mahiyyah (keseluruhan). Tuhan tidak merupakan genus atau spesies. Tuhan adalah Pencipta (Khalik). Tuhan adalah Yang Benar Pertama (al-haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-haqq al-Wahid).
Al-Kindi menolak pendapat yang menganggap sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah mempunyai keesaan mutlak, bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada objek yang dapat ditangkap indra. Tuhan tidak memiliki sifat dan atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat dan atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dari Zat-Nya.
Jiwa atau roh adalah salah satu pokok pembahasan al-Kindi. Bahkan al-Kindi adalah filsuf muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci. Seperti halnya René Descartes (1596–1650), seorang filsuf Perancis pencetus pemikiran rasionalistis, al-Kindi berpendapat bahwa roh mempunyai esensi dan eksistensi yang terpisah dari tubuh dan tidak tergantung satu sama lain.
Al-Kindi membagi jiwa atau roh ke dalam tiga daya, yaitu daya nafsu (al-quwwah asy-syahwaniyyah), daya marah (al-quwwah al-gadabiyyah), dan daya pikir (al-quwwah al-nathiqah). Daya yang terpenting adalah daya pikir, karena daya itulah yang mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.
Selanjutnya al-Kindi membagi akal pada tiga macam, yaitu akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Akal yang bersifat potensial tidak bisa mempunyai sifat aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu masih ada satu lagi macam akal, yaitu akal yang selamanya dalam aktualitas (al-‘aql al-ladzi bi al-fi‘li abadan).
Menurut al-Kindi, roh itu tidak tersusun (basithah) dan sifatnya sederhana tetapi sangat mulia. Roh mempunyai arti penting karena substansinya berasal dari substansi Tuhan dan hubungannya dengan Tuhan ibarat hubungan antara matahari dan cahayanya.
Roh yang berada dalam badan senantiasa berada dalam kegelisahan karena banyak keinginan yang tidak terpenuhi. Karena itu roh senantiasa mendambakan penyatuan kembali dengan sumbernya, yaitu akal Ilahi atau inteligensi kosmos. Roh bersifat kekal, tidak hancur dengan hancurnya badan.
Substansi roh berasal dari substansi Tuhan. Karena itu dengan perantaraan roh manusia bisa memperoleh lebih banyak hikmah dan ilmu pengetahuan yang sebenarnya, yaitu pengetahuan akal, sebagai dikotomi dari pengetahuan pancaindra yang hanya berhubungan dengan aspek lahiriah.
Manusia harus melepaskan diri dari sifat kebinatangan yang ada dalam tubuhnya dengan cara berkontemplasi tentang wujud dan bersifat zuhud. Hanya roh yang suci yang dapat menangkap hakikat, ibarat cermin yang bersih dapat menangkap gambar yang ada di depannya dengan jelas.
Hanya roh yang bersih yang dapat menuju ke alam kebenaran. Roh yang masih kotor terlebih dahulu harus dibersihkan di bulan, selanjutnya ke Mercurius, dan seterusnya hingga sampai di alam akal yang berada di lingkungan cahaya Tuhan. Roh yang sudah memasuki wilayah tersebut sudah dapat melihat Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Mohammad Natsir. Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah. Bandung: Mizan, 1990.
Atiyeh, George N. al-Kindi The Philosopher of The Arab. Rawal Pindi: Islamic Research Institut, 1966.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
ar-Raziq, Mustafa Abd. Failasuf al-‘Arab wa al-Mu‘allim al-Awwal. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1945.
Riddah, Muhammad Abu. Sa’l al-Kindi al-Falsafiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1950.
Syarif, M.M., ed. A History of Muslim Philosophy. Wiesbaden: Otto Harrosowitzs, 1963.
Nasaruddin Umar