Al-Khairat adalah sebuah lembaga pendidikan Islam yang berpusat di Sulawesi Tengah. Cabangnya menyebar hampir di seluruh Indonesia bagian timur. Nama “al-Khairat” (kebaikan) diambil pendirinya dari Al-Qur’an, surah al-Baqarah (2) ayat 148, karena dipandang sangat tepat untuk mewarnai dan memberi corak luhur lembaga pendidikan itu.
Al-Khairat didirikan pada 30 Juni 1930 (14 Muharam 1394) oleh H Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri, seorang Arab keturunan Bugis yang lahir pada 1899 di Taris, sebuah kota kecil di Propinsi Hadramaut, Arab Selatan.
Kedatangan H S. Idrus ke daerah Sulawesi Tengah semula direncanakan untuk mendirikan pesantren di Desa Wani, 25 km di sebelah utara kota Palu. Namun setelah melihat kondisi masyarakat Palu lebih menguntungkan bagi berdirinya pesantren, rencananya dialihkan ke kota Palu.
Masyarakat Palu menyambut baik berdirinya pesantren di daerahnya. Semula pesantren ditempatkan di tanah milik H Quraisy di kampung Ujuna, tetapi kemudian dipindahkan ke rumah H Dg Marotja di Kampung Baru, Palu. Al-Khairat akhirnya berhasil membangun gedung sendiri atas bantuan masyarakat dan pemerintahan setempat.
Keberadaan Pesantren al-Khairat sempat dilarang pemerintah Hindia-Belanda karena ajaran H S. Idrus, yang biasa dipanggil “guru tua”, bersumber dari kitab Idzatun Nasyiin karya Musthafa al-Ghalayani. Kitab tersebut dianggap berbahaya karena dapat membangkitkan semangat juang rakyat untuk melakukan perlawanan.
Larangan seperti itu masih tetap diberlakukan hingga pemerintahan Jepang. Meskipun dilarang, guru tua tidak pernah patah semangat. Ia terus bergerilya sambil mengajar. Selama berpindah-pindah tempat hampir sekitar 15 tahun, ia berhasil mendirikan 400 madrasah yang meliputi ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah, dan mu‘allimin (setingkat diploma).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, al-Khairat terus berkembang. Pada 21 Agustus 1956 al-Khairat yang juga menjadi lembaga sosial kemasyarakatan menyelenggarakan Muktamar Besar pertama. Muktamar berhasil menetapkan anggaran dasar pesantren. Setelah muktamar, guru tua mulai mempercayakan pengelolaan pendidikan kepada sejumlah santri yang lulus terbaik pada 1964.
Ketika terjadi peristiwa pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada 1965, beberapa kegiatan al-Khairat terpaksa tutup karena para santri membantu rakyat memerangi PKI. Pada 1969 cucu guru tua, Habib Sayid Seggaf al-Jufri, kembali membuka madrasah al-Khairat sekaligus memegang kendali al-Khairat karena H S. Idrus wafat (22 Desember 1969). Hingga wafatnya, perguruan al-Khairat sudah berkembang pesat dan memiliki 400 cabang di daerah Indonesia bagian timur.
Dalam kepemimpinan Seggaf, al-Khairat berkembang hingga memiliki ratusan cabang di berbagai daerah. Posisi al-Khairat pun makin kuat di kawasan Indonesia bagian timur karena alumninya menjabat posisi penting, seperti gubernur, walikota bupati, camat, lurah, dan beberapa lembaga keagamaan semacam Majelis Ulama Indonesia.
Struktur organisasi al-Khairat adalah sebagai berikut: (1) Pengurus Besar berkedudukan di Palu, Sulawesi Tengah, (2) Komisariat Wilayah (Komwil) di tingkat propinsi, (3) Pengurus Daerah di tingkat kabupaten, (4) Pengurus Cabang di tingkat kecamatan, dan (5) Pengurus Ranting di tingkat desa. Hubungan Pengurus Besar di Palu dengan pengurus di bawahnya sangat kuat karena seluruh pengurus di tingkat bawah di-angkat dan ditetapkan oleh Pengurus Besar.
Pada akhir 1991, al-Khairat memiliki 8 Komisariat Wilayah dengan 1.125 cabang, yaitu di Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Kalimantan Timur, Irian Jaya, dan DKI Jakarta.
Pengembangan usaha lembaga pendidikan al-Khairat selalu disesuaikan dengan keperluan lingkungan masyarakat setempat. Kegiatan usahanya dikelompokkan menjadi tiga bidang pokok, yaitu pendidikan dan pengajaran, dakwah, dan kemasyarakatan. Dalam bidang pendidikan, di samping mengembangkan lembaga pendidikan agama, al-Khairat juga mengembangkan lembaga pendidikan umum yang berjiwa Islam.
Kurikulum sekolah pada umumnya berkiblat kepada kurikulum yang dikembangkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sementara lembaga pendidikan agamanya, mulai dari diniyah, ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah hingga lembaga pendidikan tingginya berkiblat ke Departemen Agama. Lembaga pendidikan umum yang dikelola al-Khairat adalah SD, SMP, SMA, SPMA, dan SMEA.
Dalam bidang pendidikan, Pesantren al-Khairat memasukkan pelajaran kesenian dalam kurikulumnya. Pelajaran nasyid, syair, dan samrah (jepeng: tarian ala Timur Tengah) oleh pengurus pondok pesantren dijadikan penyeimbang pelajaran agama dan umum. Keindahan jepeng yang biasanya digelar al-Khairat pada bulan Syawal (bulan kesenian) sangat populer di masyarakat Indonesia bagian timur.
Selain kesenian, olahraga pun mendapat perhatian setara di pesantren ini. Dalam bidang olahraga, para santri tak hanya diajar karate dan pencak silat, namun juga ilmu prana (olah napas). Dengan dibekali beragam ilmu tersebut, tak mengherankan apabila para santri memiliki kekuatan fisik, mental, dan spiritual yang bagus.
Dalam bidang pengembangan sarana fisik, al-Khairat banyak mendapat bantuan dari pemerintah, lembaga swasta, dan perseorangan. Dengan bantuan tersebut, pada masa ini hampir 99 persen lembaga pendidikan yang ada di bawah naungan al-Khairat telah memiliki gedung sendiri dan sarana fisik lainnya yang memadai. Hingga 2004, al-Khairat memiliki 7.000 staf pengajar dan 1.400 unit pendidikan.
Dalam bidang dakwah, Pesantren al-Khairat, yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang islamiah, telah mengupayakan berbagai kegiatan dakwah islamiah dalam segala bentuk, baik dengan mempergunakan nama al-Khairat maupun para pengurusnya secara individual.
Dalam bidang sosial, al-Khairat, melalui seluruh lembaga pendidikan yang ada di bawah asuhannya, juga telah ikut berperan serta melaksanakan berbagai kegiatan kemasyarakatan. Di antara kegiatan sosial yang paling menonjol adalah pendirian Panti Asuhan Anak Yatim (Darul Aitam), peningkatan peranan wanita, dan pembinaan generasi muda.
Berbekal ilmu itu, para santri senantiasa siap untuk ditugaskan melakukan siar Islam ke daerah terpencil di kawasan Indonesia bagian timur. Para santri tidak berani kembali sebelum tugasnya selesai atau sebelum ada perintah dari pesantren. Dengan kesabaran dan kegigihan seperti itulah, al-Khairat yang hingga 2004 memiliki 210 ribu santri sukses membangun basis pengembangan di Sulawesi, Maluku, Irian Jaya (Papua), Halmahera, dan Pulau Bunyu di Kalimantan Timur. Bahkan al-Khairat telah memiliki basis pengembangan di Condet, DKI Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Madjid, Nurcholish, et al. Ensiklopedi Islam untuk Pelajar. Jilid 3. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.
Pondok Pesantren al-Khairat, Palu, Sulawesi Tengah: Dari Jepeng Sampai Prana, http://www.Pesantren.net.com, 12 Februari 2004.
Ridlo Masduki