Abdul Qadir al-Jailani adalah seorang teolog, ulama yang ahli di bidang usul dan fikih Mazhab Hanbali, sufi besar di zamannya, dan pendiri Tarekat Kadiriyah. Ia juga disebut Abdul Qadir al-Jili, dan di Baghdad dikenal dengan panggilan al-Ajami. Ia terkenal sangat saleh, dan menulis beberapa buku, khususnya tentang tasawuf.
Nama lengkapnya adalah Muhiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Salih Zangi Dost al-Jailani. Ada pula yang mengatakan bahwa nama lengkapnya adalah Muhiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Salih Zangi Dost Musa bin Abi Abdillah bin Yahya az-Zahid Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdillah bin Musa al-Jun bin Abdul Muhsin bin Hasan al-Musanna bin Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA. Menurut garis keturunan ini, ia termasuk cucu Nabi Muhammad SAW.
Abdul Qadir al-Jailani lahir dan dididik dalam lingkungan keluarga sufi. Ia tumbuh di bawah tempaan ibu (Fatimah binti Abdullah as-Sauma‘i) dan kakeknya (Syekh Abdullah as-Sauma‘i), yang keduanya wali. Sejak kecil, Abdul Qadir al-Jailani telah tampak berbeda dari anak-anak lainnya. Ia tidak suka bermain. Sejak usia dini ia terus mematangkan kekuatan batin yang dimilikinya. Ia mulai belajar mengaji sejak berusia 10 tahun.
Dalam usia 18 tahun ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu (488 H/1095 M). Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizamiyah yang pada waktu itu dipimpin seorang sufi besar, yakni Ahmad al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jailani meng ikuti pelajaran fikih Mazhab Hanbali dari Abu Sa‘d Mubarak al-Mukharrimi (pemimpin sekolah hukum Hanbali) sampai ia mendapat ijazah dari gurunya tersebut.
Mulai tahun 521 H/1127 M Abdul Qadir al-Jailani mengajar dan berfatwa dalam mazhab tersebut kepada masyarakat luas sampai akhir hidupnya. Untuk itu, ia juga mendapat restu dari seorang sufi besar, Yusuf al-Hamadani (440 H/1048 M–535 H/1140 M).
Pada tahun 528 H/1134 M untuk Abdul Qadir al-Jailani didirikan sebuah madrasah dan ribat di Baghdad yang dijadikan sebagai tempat tinggal bersama keluarganya dan sekaligus tempat mengajar muridnya yang juga tinggal bersamanya.
Ribat ketika itu lebih penting daripada zawiat, suatu tempat melakukan suluk dan latihan spiritual para sufi. Sesudah ia wafat, madrasahnya itu diteruskan oleh anaknya, Abdul Wahhab (552 H/1151 M–593 H/1197 M), kemudian dilanjut-kan pula oleh anaknya yang lain, Abdus Salam (548 H/1153 M–611 H/1213 M). Diceritakan bahwa ada lagi seorang putra Abdul Qadir al-Jailani bernama Abdur Razzaq (528 H/1134 M–603 H/1207 M), seorang zahid dan saleh.
Abdul Qadir al-Jailani meninggalkan beberapa karya tulis yang berisikan ajaran agama, terutama tasawuf. Karyanya itu antara lain: al-Gunya li Talibi Tariq al-Haqq (Bekal yang Cukup bagi Pencari Jalan yang Benar) yang terbit di Cairo pada tahun 1288; al-Fath ar-Rabbani (Pembuka Ketuhanan) atau Sittin Majalis (Enam Puluh Majelis), berisikan 62 khotbah yang disampaikannya antara tahun 545 H/1150 M–546 H/1152 M, terbit di Cairo pada tahun 1302; dan Futuh al-Gaib (Terbukanya Hal yang Gaib), berisikan 78 khotbah dalam berbagai masalah yang dikumpulkan oleh putranya, Abdur Razzaq, terbit di Cairo pada tahun 1304.
Biografi lengkapnya tertulis dalam manakib Abdul Qadir al-Jailani (Manakib). Di Indonesia manakib tersebut banyak dibaca orang, terutama pada hari tertentu dan penting, seperti Asyura (tanggal 10 Muharam), tanggal 27 Rajab, Nisfu Syakban (pertengahan bulan Syakban, yaitu terjadinya perubahan kiblat dari Baitul-makdis ke Ka’bah), dan hari pertama bulan Safar.
Abdul Qadir al-Jailani adalah seorang tokoh yang keras berpegang teguh pada kebenaran dan prinsip perjuangan nya. Dia tidak segan-segan memberi nasihat kepada penguasa, bahkan kepada khalifah sekalipun. Pada waktu Khalifah al-Muktafi (531 H/1136 M–555 H/1160 M) dari Bani Seljuk mengangkat Ibnu Muzahim yang dikenal seorang yang lalim sebagai hakim, Abdul Qadir al-Jailani naik mimbar dan berpidato yang isinya antara lain:
“Wahai Amirulmukminin, Tuan angkat seorang yang terkenal paling lalim menjadi kadi bagi kaum muslimin. Apakah jawaban Tuan nanti apabila ditanya hal itu oleh Tuhan Yang Maha Penyayang?”
Khalifah gemetar dan menangis mendengar khotbah tersebut. Kemudian ia memecat Ibnu Muzahim, kadi yang diangkatnya itu. Abdul Qadir al-Jailani menyeru muridnya untuk bekerja keras dalam kehidupan. Tarekat tidak berarti membelakangi kehidupan. Ia berkata,
“Sembahlah olehmu Allah Azza Wajalla (Allah Yang Maha Baik dan Maha Mulia). Mintalah pertolongan agar diberikan kerja yang halal untuk memperkuat ibadah kepada-Nya.”
Dengan ketinggian ilmu dan kepribadiannya, Abdul Qadir al-Jailani mendapat sanjungan dari berbagai pihak. Ibnu Arabi menganggap Abdul Qadir al-Jailani sebagai seorang yang pantas menjadi wali qutub (pemimpin para wali) pada masanya. Abu Hasan an-Nadwi, seorang ahli sejarah berkata,
“Abdul Qadir al-Jailani telah menyaksikan apa yang telah menimpa umat Islam pada masanya. Mereka hidup terpecah-belah dan saling bermusuhan. Cinta dunia telah mendominasi mereka di samping berebut kehormatan di sisi raja dan sultan. Manusia sudah berpaling pada materi, jabatan, dan kekuasaan. Mereka berkeliling di sekitar penguasa dan mengkultuskannya. Syekh Abdul Qadir al-Jailani hidup di tengah-tengah mereka. Akan tetapi, dia menjauhkan diri dari semua itu dengan fisik dan mentalnya. Dia bahkan menghadapinya dengan memberikan nasihat, bimbingan, dakwah, dan pendidikan untuk memperbaiki jiwa kaum muslimin dan membersihkannya.”
Tarekat Kadiriyah yang dirintis Abdul Qadir al-Jailani berpusat di Baghdad. Cabang-cabangnya tersebar di mana-mana, termasuk di Indonesia, sehingga tarekat ini merupakan suatu organisasi atau pergerakan yang memiliki jumlah pengikut yang besar.
Abdul Qadir al-Jailani terkenal sangat saleh dan mem-punyai sifat warak. Makamnya di Baghdad masih ramai dikunjungi orang. Dikatakan bahwa salah satu sifatnya Makam Abdul Qadir al-Jailani di Baghdad, Irak yang unik adalah ia dapat membedakan sufi yang palsu dan yang asli hanya dengan mencium baunya.
Daftar Pustaka
Abdullah, Hawash. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-To-kohnya di Nusantara. Surabaya: al-Ikhlas, 1980.
Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadhani, 1988.
van Bruinessen, Martin. “Tarekat Qadiriyah dan Ilmu Syekh Ab-dul Qadir Jilani di India, Kurdis-tan, dan Indonesia,” Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 2, Juli–September 1989.
al-Hamdani, H.S.A. Sanggahan terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. Bandung: al-Ma‘arif, 1972.
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ganimi. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Usmani. Bandung: Pustaka, 1985.
Trimingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press, 1973.
Yahya, Zurkani. “Asal-Usul Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah,” Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah, Sejarah, Asal-Usul dan Perkembangannya, ed. Harun Nasution. Tasikmalaya: IAIL Mubarokiyah, 1990.
Zainal Arifin Zamzam