Al-Haitami adalah seorang ahli fikih, hadis, tafsir, dan ta sawuf dari Mesir. Ia berasal dari keturunan Bani Sa‘ad, salah satu suku Arab di Mesir bagian timur. Karena berkembang fitnah di wilayah ini, orangtuanya pindah ke Mesir bagian barat dan bertempat tinggal di Desa Abu al-Haitam.
Nama lengkap Al-Haitami adalah Syekh al-Islam Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad bin Muhammad Badruddin bin Muhammad Syamsuddin bin Ali Nuruddin bin Hajar al-Haitami al-Makki dan dikenal pula dengan nama Ibnu Hajar al-Haitami. Orangtuanya meninggal dunia ketika ia masih kecil. Karena itu, ia dipelihara kedua orang guru ayahnya, Ibnu Abi al-Hama’il (w. 932 H/1526 M) dan Syamsuddin Ahmad (Muhammad) Sinhawi.
Dari kedua orangtua asuh itulah ia memperoleh pendidikan dasar. Ketika masih kanak-kanak ia dibawa pula oleh Sinhawi ke Tanta (Mesir Hilir), tempat ia meneruskan pendidikan dasarnya hingga dapat menghafal Al-Qur’an. Kemudian ia belajar ilmu tafsir, hadis, fikih, kalam, dan ilmu bahasa, seperti nahu, sharaf, dan balghah (pramasastra).
Pada awal 924 H/1518 M ia dibawa pula oleh Sinhawi ke Cairo dan sempat belajar di Universitas al-Azhar. Di universitas ini ia bertemu dengan guru yang amat berjasa mengajarnya tentang fikih, hadis, dan tasawuf, yaitu Syekh al-Islam Zakaria al-Ansari (w. 926 H/1520 M).
Di samping belajar di al-Azhar, al-Haitami juga memperdalam pengetahuannya pada beberapa ulama yang masyhur ketika itu. Ia memperdalam ilmu fikih pada para ahli fikih Mazhab Syafi‘i, antara lain Nasiruddin at-Tablawi (w. 966 H/1559 M), Abu al-Hasan al-Bakri (w. 950 H/1543 M), dan Abdul Haqq as-Sinbati (w. 930 H/1524 M).
Dari as-Sinbati ia juga memperoleh pelajaran ilmu nahu, sharaf, dan balaghah, di samping dari beberapa ahli bahasa yang lain, seperti Syams al-Laqani dan Syams al-Manawi (w. 950 H/1543 M). Tasawuf dipelajarinya dari Abu al-Hasan al-Bakri dan Sirajuddin alIba di (w. 940 H/1533 M), ilmu matematika dari Ibnu Abdul Qadir, dan ilmu kedokteran dari Ibnu as-Sa’ig.
Seperti terlihat dari riwayat pendidikannya, al-Haitami senantiasa berkiprah dalam dunia ilmu pengetahuan sepanjang hayatnya. Yang paling ditekuninya ialah ilmu fikih, sehingga ia paling dikenal sebagai tokoh ilmu ini.
Nama Ibnu Hajar al-Haitami sangat terkenal di Indonesia dan wilayah Asia Tenggara dengan buku fikihnya Tuh fah al-Muhtaj li Syarh al-Minhaj (kitab fikih Syafi‘i), yang menjadi rujukan utama ulama Asia Tenggara dalam kajian fikih. HAMKA (1908–1981), mantan ketua Majelis Ulama Indonesia yang pertama, mengatakan bahwa pengaruh Ibnu Hajar al-Haitami lebih melekat dalam masyarakat muslim Indonesia, karena pada masa hidupnyalah para pelajar Indonesia mulai berbondong-bondong belajar di Mekah.
Kitabnya, seperti al-Fatawa al-Haditsiyyah (Fatwa tentang Masalah Kontemporer), az-Zawajir (Dosa Besar), dan Tuhfah al-Muhtaj, merupakan pegangan utama ulama kita. Jika ulama mempertahankan pendirian taklid dalam fikih, Ibnu Hajar al-Haitami adalah orang pertama yang diikuti, sesudahnya baru ar-Ramli (w. 1004 H/1596 M), Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M), al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), dan sesudah itu baru Imam Syafi‘i (w. 204 H/820 M).
Banyak kitab fikih yang ditulis di Indonesia dari dulu sampai sekarang mengacu pada karya Ibnu Hajar al-Haitami.
Sepanjang hayatnya al-Haitami menulis sekitar delapan puluh judul buku yang sebagian besar dalam bidang fikih, antara lain:
(1) Tuhfah al-Muhtaj li Syarh al-Minhaj (komentar atas kitab Minhaj at-talibin karya Imam Nawawi),
(2) Fath al-Jawad Syarh al-Irsyad (komentar atas kitab al-Irsyad karya al-Maqqari),
(3) al-Imdad Syarh al-Irsyad (komentar ringkas atas kitab al-Irsyad karya al-Maqqari),
(4) Syarh Muqaddimah Bafadhal fi al-Fiqh (komentar atas kitab fikih karya Abdur Rahman Bafadal),
(5) al-Fatw al-Fiqhiyyah al-Kubra (fatwa tentang berbagai masalah fikih), dan (6) al-Fatawa al-Haditsiyyah (fatwa tentang berbagai masalah kontemporer).
Fatwa fikihnya yang paling populer di Indonesia, ketika jemaah haji Indonesia masih menggunakan sarana transportasi laut, ialah bahwa miqat makani (tempat mulai memakai pakaian ihram) bagi jemaah haji Indonesia, India, Yaman, dan jemaah haji dari arah yang sama dimulai ketika kapal sedang searah (setentang) dengan Bukit Yalamlam (sebuah bukit di sebelah selatan Mekah).
Di samping keahliannya dalam bidang fikih, al-Haitami juga banyak menumpahkan perhatian pada hadis Nabi SAW. Ia menulis dalam bukunya Mu‘jam asy-Syuyukh (biografi para gurunya), bahwa ia mulai mempelajari hadis ketika masih remaja. Untuk itu, ia menerima dan mempelajari hadis Nabi SAW dari para ahli hadis pada masa itu, terutama dari murid Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H/1449 M), dan menggondol beberapa ijazah.
Kajian tentang hadis –seperti dikatakannya sendiri– lebih banyak dilakukannya ketika ia tinggal di tanah suci Mekah (741 H/1341 M–973 H/1565 M).
Dalam kajiannya tentang hadis, al-Haitami banyak menumpahkan perhatian dalam hal penilaian terhadap hadis yang telah berkembang dan mengumpulkan hadis yang dipandangnya kuat menyangkut tema tertentu dalam satu buku khusus. Karyanya dalam bidang hadis antara lain adalah:
(1) Asna al-Mathalib fi silah al-Aqarib (Penilaian terhadap Beberapa Hadis Nabi SAW),
(2) as-Sawa’iq al-Muhriqah fi ar-Radd ‘ala Ahl al-Bida‘ wa az-Zanadiqah (Petir yang Menghanguskan: Suatu Penolakan terhadap Pembuat Bid’ah dan Zindik),
(3) Fath al-Mubin fi Syarh al-Arba‘in an-Nawaiyyah (Komentar atas Kitab Empat Puluh Hadis karya Imam Nawawi),
(4) al-Arba‘in fi al-Jihad (Empat Puluh Hadis tentang Jihad),
(5) al-Arba‘in fi al-‘Adl (Empat Puluh Hadis tentang Keadilan), dan
(6) al-I’addah Syarh Ahadits an-Nikah (Penjelasan atas Hadis-Hadis tentang Nikah).
Bertolak dari keteguhannya berpegang pada hadis-hadis Nabi SAW, al-Haitami menempatkan hadis sebagai landasan pertama dalam menafsirkan Al-Qur’an setelah ayat Al-Qur’an itu sendiri. Setelah hadis, baru diterapkan qaul (perkataan) para sahabat Nabi SAW dalam penafsiran Al-Qur’an. Apabila itu masih belum memadai, ia menerapkan pula pengertian dan kaidah kebahasaan.
Seterusnya, kalau yang demikian pun masih belum mencukupi, upaya terakhir ialah tafsir dengan istinbat atas dasar pertimbangan roh (semangat) syariat. Tafsir yang dilakukan di luar dari ketentuan tersebut dipandangnya sebagai tafsir bi ar-ra’yi (tafsir atas dasar pendapat/hawa nafsu), yang dilarang dalam Islam.
Meskipun tidak menulis karya khusus dalam bidang tafsir Al-Qur’an, al-Haitami banyak menafsirkan ayat Al-Qur’an dalam masalah tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam karyanya al-Fatawa al-Haditsiyyah dan Asyraf al-Wasa’il ila fahm asy-Syama’il (Sarana Terbaik dalam Memahami Tabiat Nabi SAW).
Di samping kedalaman dan keluasan pengetahuannya dalam fikih, hadis, dan tafsir, al-Haitami juga hidup dalam suasana kesufian. Hari-harinya dihabiskannya untuk mengajarkan dan menuliskan ilmu yang dimilikinya, beribadah, dan hidup zuhud dan warak. Asy-Syaukani (w. 1250 H/1834 M) menulis,
“al-Haitami adalah seorang pakar dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan, terutama fikih Syafi‘i, juga seorang yang zuhud, hidup seperti para salaf (sahabat dan tabiin), serta menganjurkan kebaikan dan melarang kejahatan. Perikehidupan seperti itu dijalaninya sampai akhir hayatnya.”
Abdul Wahhab asy-Sya‘rani (w. 973 H/1565 M, seorang sufi) menceritakan, “Suatu kali ketika melaksanakan ibadah haji bersama al-Haitami, kulihat ia memiliki akhlak yang amat terpuji, sangat dermawan, baik di kalangan awam maupun di kalangan para ulama, baik di Mesir maupun di Hijaz, dan memiliki banyak kekeramatan yang tidak terpikirkan oleh nalar.”
Hidup kesufian yang dijalaninya tidak lain adalah buah dari ilmunya yang mendalam tentang tasawuf. Kedalaman pengetahuannya tentang tasawuf terlihat pada fatwanya tentang berbagai permasalahan tasawuf di dalam bukunya, al-Fatawa al-Haditsiyyah. Di samping itu ia juga menulis buku tasawuf yang lain, seperti Tathir al-‘Aibah ‘an Danas al-Gibah (Menyucikan Kesalahan dari Kotoran Fitnah).
Daftar Pustaka
Ibnu al-‘Imad, Abu al-Falah bin Abdul Hayy. Syadzarat al-Dzahab fi Akhbar Man Dzahab. Cairo: Maktabah al-Qudsi, 1930.
al-Jazzar, Abdul Mu‘izz Abdul Hamid. Ibn æajar al-Haitami. Cairo: al-Majlis al-A‘la li asy-Syu’un al-Islamiyah, 1981.
asy-Sya‘rani, Abdul Wahhab. ath-Tabaqat as-Sugra. Cairo: Maktabah al-Qahirah, 1970.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. al-Badr ath-Tali‘. Cairo: as-Sa‘adah, 1929.
Yunasril Ali