Al-Asy’ari, Abu Hasan Ali Bin Isma’il

(Basrah, 260 H/873 M–Baghdad, 324 H/935 M)

Abu Hasan Ali bin Isma‘il al-Asy‘ari adalah seorang­ ahli fikih, teolog, dan pendiri aliran Asy‘ariyah­. Ia memiliki hubungan keturunan dengan Abu Musa al-Asy‘ari, sahabat Nabi SAW dan periwayat hadis. Pada mulanya ia adalah murid Abu Ali al-Jubba’i (tokoh Muktazilah), dan sering terlibat dalam perdebatan dengannya.

Walaupun telah 40 tahun menganut paham Muktazilah, akhirnya al-Asy‘ari mening­galkan­ paham tersebut. Adapun faktor penye­bab­nya, yang berasal dari as-Subki dan Ibnu Asakir, adalah bahwa pada suatu malam al-Asy‘ari bermimpi; dalam mimpi itu ia mendengar Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa Mazhab Ahli Hadis adalah benar, sedangkan Mazhab Muktazilah salah.

Sebab lain, al-Asy‘ari pernah berdebat dengan gurunya, al-Jubba’i, dan dalam perdebatan itu guru tidak dapat menjawab tantangan murid.

Salah satu perdebatan itu, menurut as-Subki (w. 756 H, ulama fikih Syafi’i), adalah sebagai berikut:

Al-Asy‘ari: Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut:

mukmin, kafir, dan anak kecil di akhirat?

Al-Jubba’i: Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.

Al-Asy‘ari: Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga, mungkinkah itu?

Al-Jubba’i: Tidak, sebab yang mungkin mendapat­ tempat baik adalah orang yang patuh kepada­ Tuhan; sedangkan anak kecil belum mempunyai kepatuhan serupa itu.

Al-Asy‘ari: Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukanlah salahku. Jika sekiranya Engkau­ bolehkan aku terus hidup, aku akan mengerjakan perbuatan baik seperti yang dilakukan­ orang mukmin itu.

Al-Jubba’i: Allah akan menjawab, “Aku tahu bahwa­ jika engkau terus hidup engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab.”

Al-Asy‘ari: Sekiranya yang kafir mengatakan, “Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?” (Di sini al-Jubba’i terdiam).

Perdebatan di atas mengisyaratkan ketidakpuasan al-Asy‘ari terhadap aliran Muktazilah yang dianutnya selama ini. Kesimpulan ini diperkuat riwayat yang mengatakan bahwa al-Asy‘ari mengasingkan diri di rumah selama 15 hari untuk memikirkan ajaran Muktazilah.

Sesudah itu ia ke luar rumah, pergi ke masjid, naik mimbar, dan mengatakan kepada umat bahwa ia telah mengasingkan diri dan berpikir mendalam tentang keterangan serta dalil yang diberikan masing-masing golongan. Dalil yang diajukan dalam penelitiannya­ sama kuat.

Oleh karena itu, ia meminta petunjuk dari Allah SWT dan atas petunjuk-Nya ia kemudian meninggalkan keyakinan lama dan menganut keyakinan baru yang ditulisnya dalam bukunya. Selanjutnya ia mengatakan, “Keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana­ saya melemparkan baju ini.”

Ajaran al-Asy‘ari sendiri dapat diketahui dari buku yang ditulisnya, terutama dari kitab al-Luma‘ fi ar-Radd ‘ala Ahl az-Ziyag wa al-Bida‘ (Kecemerlangan tentang Penolakan terhadap Penganut Penyimpangan dan Bid’ah; ed. Richard J. McCarthy S.J., Beyrouth: Imprimerie Catholi­gue,­ 1952; di Cairo juga sudah diterbitkan berulang­ulang) dan al-Ibanah ‘an Usul ad-Diyanah (Uraian tentang Dasar Agama; diterbitkan kembali di Hyderabad [tanpa tahun] dan juga di Cairo;

terjemahan Inggris The Elucidation of Islam’s Foundation, oleh Walter C. Clein, Ph.D. Th. D., New Haven, 1940), serta Maqalat al-Islamiyyin (Makalah tentang Orang Islam; diterbitkan lagi di Constantinopel 1970 oleh penerbit Matbaah ad-Dawlah­ dan di Cairo 1969), di samping buku yang ditulis para pengikutnya.

Al-Asy‘ari membantah beberapa ajaran Muktazilah, antara lain ajaran tentang tidak adanya sifat Tuhan. Menurutnya, tidaklah benar Tuhan mengetahui dengan zat-Nya karena, jika demikian, zat Tuhan adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Padahal, Tuhan bu­kan penge­tahuan (‘ilm), tetapi Yang Mengetahui (‘alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya.

Al-Asy‘ari juga menentang paham keadilan Tuhan yang dibawa Muktazilah. Menurut pendapatnya, Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada sesuatu pun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga kalau Ia mema­sukkan seluruh manusia ke dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil dan jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka tidaklah Ia bersifat zalim. Dengan demikian ia juga tidak setuju dengan ajaran Muktazilah tentang al-wa‘d wa al-wa‘id (janji baik dan ancaman buruk).

Bagi al-Asy‘ari, orang yang berdosa besar tetap mukmin karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya, ia menjadi fasik. Sekiranya orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya tidak akan didapati kufur atau iman; dengan demikian bukanlah ia ateis dan bukan pula monoteis, tidak teman dan tidak pula musuh. Hal serupa ini tidaklah mungkin.

Kalau al-Asy‘ari merupakan pemuka yang pertama membentuk aliran yang kemudian mengguna­kan­ namanya, para pemuka yang mengembangkan aliran itu adalah pengikutnya­. Di antara mereka yang terkenal adalah Abu Bakar Muhammad al-Baqillani, al-Isfirayaini, al-Qusyairi, al-Juwaini, dan kemudian­ al-Ghazali.

Yang disebut­ terakhir adalah pengikut al-Asy‘ari yang berpengaruh terpenting dan terbesar pada umat Islam yang beraliran Ahlusunah waljamaah. Atas pengaruh al-Ghazali-lah ajaran al-Asy‘ari me­luas di kalangan Ahlusunah waljamaah.

Daftar Pustaka

al-Asy‘ari, Abu al-Hasan bin Ismail. Kitab al-Luma‘. Beirut: Imprimerie Catholique, 1952.
______al-Ibanah ‘an Usul ad-Diyanah. Damascus: Idarah at-Tiba’ah al-Muniriyah, 1348 H/1929 M.
______Maqalat al-Islamiyyah wa Ikhtilaf al-Musallin. Cairo: Matba‘ah ad-Daulah, 1950
Madkur, Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah. Mekah: al-Ma‘arif, t.t.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press, 1986.

Hamid Farihi