Al-Amin

Al-amin berarti “jujur atau tepercaya”. Gelar al-Amin juga diberikan orang Quraisy kepada Muhammad SAW sebelum menjadi rasul. Sebagai manusia yang dipersiapkan Allah SWT untuk menjadi nabi dan rasul, kesempurnaan, kedewasaan, dan kejujuran tampak pada diri Muhammad SAW sejak ia masih kanak-kanak.

Muhammad SAW tidak ikut melakukan kebiasaan Quraisy untuk berfoya-foya dan bermabuk-mabukan setelah peperangan usai. Sifat Muhammad SAW yang demikian membuat orang Quraisy sejak awal menaruh hormat kepadanya dan memberinya gelar al-Amin.

Ketika dinding Ka’bah mengalami keretakan akibat bencana banjir besar dan barang berharga di dalamnya menjadi sasaran pencuri, penduduk Mekah terpaksa mengabaikan legenda mereka yang menabukan adanya perubahan atas Ka’bah, karena kerusakan bangunan tua itu sudah sangat parah. Sementara rencana perbaikan Ka’bah dipersiapkan, secara kebetulan sebuah kapal milik seorang pedagang Romawi yang juga ahli bangunan, terhempas di laut dan pecah.

Orang Quraisy yang mengetahui hal itu mengutus Walid bin Mugirah dan beberapa orang ke Jiddah untuk mengajak Baqum, si pemilik kapal tersebut, untuk ikut membantu membangun Ka’bah yang rusak. Baqum menyatakan persetujuannya.

Pekerjaan pemugaran Ka’bah itu dibagi empat bagian sesuai jumlah sudut Ka’bah. Setiap kabilah mendapat tugas merombak dan memugar bagian sudut Ka’bah. Dengan diliputi rasa was-was karena pengaruh legenda yang mereka percayai, pemugaran Ka’bah pun berlangsung. Muhammad ikut pula membantu membawa batu.

Persoalan yang kemudian menjadi perselisihan timbul ketika Hajar Aswad (Batu Hitam) harus diletakkan di tempatnya semula. Tugas meletakkan batu yang disucikan itu merupakan suatu kehormatan yang amat tinggi. Perang saudara nyaris pecah dekat Ka’bah ketika keluarga Abdud Dar dan keluarga Adi bersepakat tidak akan membiarkan kabilah mana pun campur tangan untuk melakukan tugas terhormat tersebut. Semua anggota keluarga Abdud Dar yang hadir di sana mencelupkan tangan mereka ke dalam darah yang ditampung dalam sebuah cawan sebagai bukti tekad mereka.

Melihat suasana panas tersebut, Abu Umayah bin Mugirah dari Bani Makzum, selaku orang yang tertua di antara mereka, bangkit menengahi dan mengajukan saran, yang lalu diterima oleh para pemuka kabilah tersebut, yakni: “Serahkanlah putusan kamu ini kepada orang yang pertama sekali memasuki pintu Safa ini.” Beberapa saat mereka menanti dan ternyata orang pertama yang memasuki tempat tersebut adalah Muhammad. Melihat itu mereka serempak berseru: “Itu dia al-Amin, orang yang tepercaya. Kami rela menerima keputusannya.”

Setelah mengetahui persoalannya, Muhammad membentangkan serbannya. Selanjutnya ia mengangkat dan meletakkan Hajar Aswad itu di tengah serban tersebut dan mengajak para pemuka kabilah memegang masing-masing sudut serban. Secara bersama-sama mereka mengangkat batu itu dengan serban hingga akhirnya Muhammad sendiri mengangkat dan meletakkan batu itu di tempatnya. Kebijakan Muhammad itu semakin mengukuhkan­ dirinya sebagai al-Amin.

Istri Muhammad SAW, Khadijah binti Khuwailid, menghiburnya ketika pada usia 40 tahun Muhammad SAW merasa was-was karena peristiwa wahyu pertama yang diterimanya di Gua Hira. Khadijah mengatakan bahwa Muhammad SAW adalah al-Amin, sehingga tidaklah mungkin ia digoda jin di gua tersebut. Sifat dan gelar al-Amin disandang Muhammad SAW terus sepanjang masa kenabian hingga ia mengembuskan napas yang terakhir.

Daftar Pustaka

Al-Buti, Muhammad Sa’id Ramadan. Fiqhus-Sirah. Beirut: Darul Fikr, t.t.
Duwaidar, Amin. Suwar min Hayah ar-Rasul. Cairo: Darul Ma’arif, 1968.
Haekal, Muhammad Husain. Hayah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1971.
Hafidz, Abdus Salam Hasyim. Sirah Nabi al-Huda wa ar-Rahmah. Mekah: Rabitah al-‘Alam al-Islami, 1982.
Husain, Muhammad al-Khadari. Muhammad Rasulullah wa Khatamun Nabiyyin. Damascus: t.p., 1971.
Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdullah. Sirah Sayyidina Muhammad Rasul Allah. Gottingen: H.F. Wustenfeld, 1855
Al-Jaza’iri, Abu Bakr Jaber. Hazal-Habib. Madinah: t.p., 1408 H.

St Nursiah Hamid