Akil Balig

(Ar.: al-‘aqil al-balig)

Akil berarti “orang yang telah berakal, yang ditandai dengan kesanggupan untuk membedakan yang baik dan yang buruk untuk dirinya dan untuk orang lain”. Adapun balig berarti “orang yang sudah cukup umur dan telah dibebani tanggung jawab terhadap segala perbuatannya”.

Ciri-ciri akil balig membedakan seorang dewasa dari anak kecil. Balig dalam Islam ditandai dengan telah datangnya haid bagi seorang anak perempuan dan mimpi basah atau ihtilam (mengeluarkan mani) bagi anak laki-laki. Dalam pemakaian istilah syar‘i (syarak), akil balig adalah orang yang sudah cukup umur dan cakap untuk bertindak sendiri menurut hukum, sehingga ia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya secara hukum.

Dengan demikian ia harus melakukan kewajiban sebagaimana orang dewasa, seperti salat, puasa, dan zakat. Orang yang akil balig ini dalam istilah hukum Islam disebut orang mukalaf (cakap bertindak dan dibebani hukum).

Seseorang yang telah akil balig dituntut menjadi seorang yang dewasa dalam setiap perbuatannya. Sebagai implikasinya, ia akan mendapatkan ganjaran (pahala) terhadap kewajiban yang ditunaikannya dan mendapat dosa kalau mengerjakan sesuatu yang dilarang.

Akil balig sebagai salah satu syarat bagi seseorang yang telah dapat dan cakap bertindak hukum mempunyai kedudukan yang penting dalam Islam, karena Islam pada dasarnya adalah agama yang memberikan beban hanya kepada orang yang telah dapat mempergunakan akalnya. Jika seseorang tidak dapat mempergunakan akalnya secara sehat (seperti orang gila, orang mabuk, dan anak kecil), pembebanan hukum tidak akan dikenakan kepada mereka. Nabi SAW bersabda, “Diangkatkan pena (tidak dibebani hukum) tiga (kelompok manusia), yaitu anak-anak hingga balig, orang tidur hingga bangun, dan orang gila hingga sembuh” (HR. Abu Dawud).

Orang yang pada suatu saat gila dan pada saat yang lain sembuh dalam arti sehat dan sempurna (akalnya) dibebani hukum hanya pada saat ia sembuh, sedangkan pada saat gila ia tetap dibebaskan dari hukum. Dalam pada itu, karena akal merupakan sesuatu yang tersembunyi dan tidak dapat dilihat dari luar, penentuan apakah seseorang telah mampu mempergunakan akalnya atau belum dapat dilihat dari indikasi tindakan lahiriahnya.

Apabila tanda balig yang disebutkan di atas tidak ditemukan, maka kebaligan seseorang ditentukan oleh umur. Ulama fikih berbeda pendapat tentang batas umur balig seseorang. Menurut jumhur ulama, seseorang dikatakan balig apabila telah berusia 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Alasan mereka adalah hadis dari Ibnu Umar yang mengatakan, “Aku datang kepada Rasulullah SAW untuk ikut Perang Uhud ketika usiaku 14 tahun, lalu Rasulullah SAW tidak mengizinkan. Setahun kemudian aku datang kepada Rasulullah SAW untuk ikut Perang Khandaq, lalu Rasulullah SAW mengizinkan. Ketika itu usiaku 15 tahun” (HR. al-Bukhari).

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa usia balig itu adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Dalam suatu riwayat Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa umur balig adalah 19 tahun bagi laki-laki. Pengikut Imam Malik, yang tidak disebutkan namanya, berbeda pendapat mengenai hal ini. Mereka mengatakan bahwa usia balig adalah 15 tahun, sebagian berpendapat 16 tahun, yang lain mengatakan 17 tahun, dan sisanya mengatakan 19 tahun. Imam Malik sendiri berpendapat sama dengan Daud az-Zahiri, pendiri Mazhab az-Zahiri, yaitu balig tidak dapat ditentukan dengan umur tetapi ditentukan dengan ihtilam (mimpi basah).

Ulama fikih sepakat mempersyaratkan balig dalam kasus pidana. Fukaha kecuali Syiah Imamiyah sepakat menyatakan bahwa anak-anak tidak dapat dijatuhi hukuman. Menurut ulama Syiah Imamiyah, anak-anak yang melakukan tindak pidana tetap dijatuhi hukuman apabila ia telah melakukannya berulang kali, seperti mencuri. Tindakan mencuri untuk yang pertama kali dimaafkan dan untuk kedua kali diberi peringatan. Ketika ia mencuri untuk ketiga kalinya, jarinya dilukai sampai berdarah; mencuri keempat kalinya, anak jarinya dipotong; dan mencuri kelima kalinya, tangannya dipotong sebagaimana orang dewasa (balig).

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
ad-Duraini, Fathi. al-Manahij al-Ushuliyyah fi al-Ijtihad bi ar-Ra’yi fi Tasyri‘ al-Islami. Damascus: Dar al-Kitab al-Hadis, 1975.
al-Qarafi. Syarh Tanqih al-Fusul f Ikhtisar al-Mahsul fi al-Usul. Cairo: Dar al-Fikr, 1973.
az-Zarqa, Mustafa Ahmad. al-Madkhal ila al-Fiqh al-‘am: al-Fiqh al-Islami fi Saubih al-Jadid. Beirut: Dar al-Fikr, 1968.
az-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami. Damascus: al-Jadidah, 1976.

Nasrun Haroen