Dalam istilah keagamaan, akidah berarti “dasar keimanan seseorang kepada Allah SWT”. Iman bertumpu pada akidah. Jika akidah benar, maka iman benar, begitu pula sebaliknya. Akidah yang benar merupakan syarat mutlak untuk mencapai penghambaan diri kepada Tuhan yang benar. Dengan akidah yang benar pula seseorang mengikat diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Akidah merupakan unsur paling esensial dan utama dalam Islam, karena meliputi segala hal yang bertalian dengan kepercayaan (keimanan) dan keyakinan seorang muslim. Dalam Al-Qur’an, akidah disebut dengan istilah iman. Secara etimologis, kata ‘aqidah berakar dari kata ‘aqada-ya‘qidu, yang berarti “menyimpulkan atau mengikatkan tali dan mengadakan perjanjian”.
Dari kata ini muncul bentuk lain, seperti i‘taqada-ya‘taqidu dan i‘tiqad, yang berarti “mempercayai, meyakini, dan keyakinan”. Kata “akidah” memiliki pengertian sama dengan kata “iktikad”. Kata “akidah”, menurut Jamil Shaliba (seorang ahli bahasa Arab di Suriah) dalam bukunya al-Mu‘jam al-Falsafa (Ensiklopedi Filsafat), sepadan dengan kata “dogma” dalam bahasa Inggris dan Latin.
Ajaran Islam dibagi atas tiga aspek pokok, yaitu akidah, syariat, dan akhlak. Aspek akidah merupakan aspek yang fundamental (pokok) dalam Islam dan berkaitan dengan hal yang berhubungan dengan keyakinan (keimanan) dan kepercayaan terhadap hal gaib. Akidah berkaitan dengan pekerjaan hati.
Aspek syariat adalah aspek yang berkaitan dengan amal ibadah, yang berkenaan dengan pelaksanaan hukum berupa perintah dan larangan Allah SWT. Syariat berkaitan dengan anggota badan jasmaniah. Akhlak adalah aspek yang berkaitan erat dengan persoalan etika, moral, dan pergaulan hidup.
Ketiga aspek ini mempunyai hubungan yang sangat erat, keterkaitan yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Akidah merupakan pokok (fondasi), syariat merupakan cabang (bangunan), sedangkan akhlak merupakan atapnya. Syariat dan akhlak harus dibangun atas dasar akidah yang kuat dan kokoh. Akidah yang kuat dapat membuat syariat dan akhlak berdiri dengan tegak dan megah. Akhlak adalah penghias akidah dan syariat.
Menurut Mahmud Syaltut, seorang ulama besar Mesir, akidah dan syariat mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling menunjang. Akidah itu dasar, di atasnya dibangun syariat, sedangkan syariat merupakan jejak langkah yang mesti mengikuti dan melayani akidah. Oleh sebab itu, syariat tidak akan ada tanpa akidah, ia tidak akan subur dan berkem bang kalau tidak berjalan di bawah lindungan akidah.
Akidah menjadi tenaga pendorong bagi syariat, sedangkan syariat merupakan jawaban dan sambutan dari panggilan jiwa yang ditimbulkan akidah. Akidah menjadi langkah pertama dan paling awal yang harus dilalui seorang muslim.
Dalam Al-Qur’an, akidah diistilahkan dengan iman dan syariat diistilahkan dengan amal saleh. Keduanya selalu disebut beriringan, umpamanya dalam QS.16:97, QS.18:107–108, dan QS.103:1–3. Ayat di atas membuktikan bahwa Islam bukan semata-mata akidah atau semata-mata syariat, melainkan satu kesatuan ajaran yang meliputi akidah dan syariat.
Akidah merupakan aspek yang harus dimiliki lebih dahulu sebelum yang lain-lain. Akidah itu harus bulat dan penuh, tidak ada keraguan dan kesamaran di dalamnya. Akidah yang benar adalah akidah yang sesuai dengan ketetapan keterangan yang jelas dan tegas yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis. Akidah ini merupakan hal utama dan pertama yang harus ditanamkan.
Pada periode Mekah, penanaman akidah itulah yang pertama sekali dilakukan Rasulullah SAW. Syariat yang berkenaan dengan amaliah diwajibkan kepada umat ketika akidah mereka sudah kokoh dan kuat. Zakat, misalnya, baru diwajibkan setelah Nabi SAW berada di Madinah. Akidah itu pula yang diserukan setiap rasul yang diutus Allah SWT.
Dalam ajaran Islam, kepercayaan pokok yang harus diyakini lebih dahulu ialah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (La ila ha illa Allah). Pernyatan ini menunjukkan bahwa Allah Maha Esa, tidak bersyarikat, dan tidak boleh disyarikatkan dengan yang lain. Hanya Allah SWT satu-satunya yang patut dan berhak disembah.
Akidah terhadap keesaan Allah SWT ini akan melahirkan keyakinan yang mengakui adanya wujud Allah, sifat-Nya, hukum-Nya, dan kekuasaan-Nya. Pokok akidah ini dengan sendirinya akan mencakup kepercayaan lain, seperti malaikat-Nya, para rasul-Nya, kitab-Nya, hari kebangkitan, dan ketentuan takdir-Nya.
Pernyataan yang sangat mendasar untuk akidah yang benar ialah dua kalimat syahadat (syahadatain) yang juga disebut kalimat tauhid. Seseorang akan dapat diakui sebagai seorang muslim dan mempunyai akidah yang benar apabila ia telah menyatakan dua syahadat, yaitu Asyhadu an la ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allah (Saya ber-saksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah). Keislaman seseorang ditandai dengan adanya pengakuan terhadap dua hal di atas dengan menyatakannya secara sungguh-sungguh.
Dua kalimat syahadat itu adalah kunci pembuka bagi seseorang untuk menyatakan diri masuk Islam dan kunci penutup bagi seseorang dalam mengakhiri hidup di dunia. Bahkan Rasulullah SAW menyatakan bahwa kalimat tauhid itu menjadi kunci untuk memasuki surga: “Siapa yang menyatakan pada akhir hayatnya ‘tidak ada Tuhan selain Allah’, akan masuk surga” (HR. at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Daftar Pustaka
Abud, Abdul Gani. al-‘Aqidah al-Islamiyyah wa al-Ideologiyyah al-Mu‘ashirah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1976.
al-Baghdadi, Abu Mansur Abdul Qahir bin Tahir at-Tamimi. Kitab Ushul ad-Din. Teheran: Madrasah Ilahiyat, 1928.
al-Banna, al-Imam asy-Syahid Hasan. Allah fi al-‘Aqidah al-Islamiyyah, terj. Prof. Dr. Mukhtar Yahya. Solo: Ramadhani, t.t.
al-Qardawi, Muhammad Yusuf. Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan, terj. Jakarta: Darul Hikmah, 1987.
Syaltut, Mahmud. al-Islam: ‘Aqidah wa Syari‘ah. Cairo: Isa al-Halabi, 1964.
A Thib Raya