Ahmad Syaikhu

(Surabaya,­ 29 Juni 1921 – Jakarta, 4 Januari 1995)

Ahmad Syaikhu adalah seorang tokoh politik dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), pendiri organisasi Ittihadul Muballighin, dan pendiri Pesantren al-Hamidiyah di Depok. Ia pernah menjabat sebagai ketua DPR-GR (1966–1971).

Ahmad Syaikhu berasal dari keluarga saleh dan taat beragama di desa Ampel. Pada usia 2 tahun ayahnya meninggal dunia. Ia dibesarkan ibunya sendiri. Ketika berumur 5 tahun ia dibawa ibunya kepada Kiai Mas Muhammad, guru mengaji di Masjid Ampel. Kepada guru mengaji inilah Syaikhu belajar dan menghafal Al-Qur’an.

Ia mengawali pendidikan formalnya dengan bersekolah di Sekolah Rakyat Mardi Oetomo di Su­rabaya, lalu pindah ke Madrasah Taswirul Afkar, sebuah lembaga pendidikan yang didirikan KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Mas Mansur, dan KH Dachlan Achyat. Sambil bersekolah, Syaikhu mencari biaya hidup untuk membantu ibunya dengan bekerja di perusahaan sepatu milik pamannya, Muhammad Zain bin Syukur. Setelah itu, ia pindah ke Madrasah Nahdlatul Wathan, dan tamat pada 1937.

Di Nahdlatul Wathan Syaikhu mempunyai seorang guru yang sangat dikaguminya, yaitu KH Abdullah Ubaid, guru bahasa Arabnya. Setamat dari Nahdlatul Wathan Syaikhu bekerja di bengkel Marina milik Angkatan Laut di Surabaya. Selama bekerja di sini Syaikhu sangat disenangi teman sekerjanya karena Syaikhu membimbing mereka salat dan mengajarkan mereka dasar-dasar agama Islam.

Tiga tahun kemudian, Syaikhu kembali ke kampungnya dan memulai profesinya sebagai guru pada salah satu madrasah di Surabaya. Selain menjadi guru, ia juga membuka usaha toko sepatu di Kedung Rukam, sebelah selatan Pasar Blauran. Walaupun sibuk dengan urusan dagang, Syaikhu tetap menyempatkan diri membina dan membimbing para pemuda setempat. Untuk itu, di celah kesibukannya Syaikhu membuka kursus bahasa Arab dan Inggris di rumahnya. Pesertanya adalah para pemuda dari berbagai pelosok kota Surabaya. Syaikhu mempelajari bahasa Inggris dan Perancis secara autodidak.

Pada 25 Januari 1945, dalam usia 24 tahun, ia menikahi seorang gadis bernama Solchah dari Kedung Tarukan, Surabaya. Perkawinannya ini dikaruniai 8 orang anak, 4 putra dan 4 putri.

Ketika terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Syaikhu ikut berjuang dalam barisan pemuda Surabaya. Kemudian pada waktu agresi militer Belanda 1947 anggota pemuda Surabaya banyak yang mengungsi ke daerah lain untuk menyelamatkan diri, termasuk Syaikhu. Ia bersama istrinya mengungsi ke Waru, Sidoarjo. Ketika daerah ini dibom Belanda, Syaikhu melarikan diri ke Bangil, Pasuruan. Di sana ia bertemu Fachran Ali. Keduanya membentuk Persatuan Gabungan Perjuangan Surabaya (PGPS) yang tujuan utamanya adalah membentuk kader terlatih untuk menggempur Belanda di Surabaya.

Syaikhu kembali ke Surabaya 1948 setelah Surabaya benar-benar aman. Setibanya kembali di Surabaya, Syaikhu mulai berminat aktif di organisasi. Sejak itulah ia menggeluti organisasi NU. Karena memiliki bakat kepemimpinan, ia dipercayai untuk menjadi ketua Ranting Karang Menjangan. Di samping itu, ia pun aktif mengajar di Madrasah NU Karang Menjangan. Dari ketua ranting di tingkat kecamatan ia menjadi ketua Dewan Pimpinan Umum (Tanfidziah) NU Jawa Timur, hanya dalam waktu 2 tahun.

Jabatan ini mengantarkannya menjadi anggota DPRD Surabaya pada tahun itu juga, yaitu 1950. Pada waktu yang sama ia diangkat menjadi wakil kepala Kantor Pengadilan Agama di Surabaya. Sejak inilah nama Syaikhu mulai dikenal di kalangan luas.

Hasil Pemilu 1955 memberikan kesempatan baginya untuk duduk sebagai anggota DPR Pusat (waktu itu bernama DPRGR). Untuk memenuhi tugas ini, ia memboyong keluarganya ke Jakarta (1956). Pada tahun itu ia terpilih sebagai ketua umum PBNU dalam Muktamar NU ke-24 di Medan. Nama KH A. Syaikhu semakin populer dan ia semakin sibuk dengan aktivitas di DPR dan NU.

Di Jakarta karier politik KH A. Syaikhu semakin menanjak. Ia diangkat sebagai ketua Fraksi NU di DPR untuk periode 1958–1960; selanjutnya menjadi ketua DPR untuk periode 1966–1971. Di masa-masa inilah aktivitasnya banyak berkaitan dengan peristiwa penting dan bersejarah baik untuk tingkat nasional maupun untuk tingkat internasional. Untuk tingkat nasional umpamanya, ketika terjadi peristiwa G-30S/PKI, Syaikhu selaku ketua PBNU mengambil langkah penetapan sikap NU yang mengecam PKI dan menuntut PKI dibubarkan. Adapun peristiwa yang berskala internasional, antara lain memprakarsai diadakannya Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) di Bandung 1965.

Konferensi ini berhasil meningkatkan reputasi Indonesia di antara negara-negara yang baru merdeka di Asia dan Afrika. Di segi lain, KIAA dipandang sebagai forum silaturahmi di antara tokoh-tokoh Islam dari kedua benua, Asia dan Afrika. KIAA kemudian melahirkan Organisasi Islam Asia Afrika (OIAA), dan Syaikhu terpilih sebagai ketua Dewan Pusat. Kongres I dan II organisasi ini berlangsung pada 1965 dan 1967 di Jakarta.

Sebagai ketua DPR, Syaikhu banyak melakukan kunjungan ke luar negeri memimpin delegasi DPR-RI, seperti ke India (1967), Irak (1968), Filipina (1968), Jepang (1969), dan Korea Selatan (1970). Selain itu, ia banyak mengadakan kunjungan khusus untuk membicarakan masalah kehidupan kemasyarakatan dan dakwah Islamiah, seperti mengunjungi Raja Faisal di Arab Saudi 1968 dan menghadiri sidang Rabitah al-‘Alam al-Islami di Mekah 1969.

Setelah jabatannya di DPR berakhir dan ia tidak lagi menjadi pengurus NU, ia mengisi kehidupannya dengan dakwah islamiah. Pada 1978 ia dan beberapa ulama memelopori berdirinya organisasi para mubalig yang dinamai Ittihadul Muballighin. Ia sendiri menjadi ketuanya.

Sejak 1980 timbul niatnya untuk membangun pesantren. Pada 1987 pesantren yang dicita-citakannya itu mulai dibangun, berlokasi di daerah Depok, Jawa Barat. Pada 17 Juli 1988 pembukaan pesantren ini diresmikan Menteri Agama Munawir Sjadzali dengan nama Pesantren al-Hamidiyah. Nama ini dinisbahkan kepada ayahandanya, H Abdul Hamid. Sejak 1989 ia pindah ke dalam pesantren untuk hidup bersama para santri yang semakin hari jumlahnya semakin bertambah banyak. Hingga akhir hayatnya, kegiatannya sehari-hari adalah mengajarkan kitab klasik atau kitab kuning di hadapan para santrinya.

Daftar Pustaka

Kembali ke Pesantren (Kenangan 70 Tahun KH Achmad Syaikhu). Jakarta: Yayasan Islam al-Hamidiyah, 1991.
PBNU. Kenang-Kenangan Muktamar NU XXII. Jakarta: t.p., 1962.
–––––––. Khittah NU. Jakarta: Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr, 1985.
Sekretariat Negara RI. 30 tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Jayakarta Agung, 1978.
Syaichu, A. KH. Sejarah Pergerakan Umat Islam Indonesia. Semarang: Pustaka al-’Awaliyah, 1983.
Zuhri, KH Saifuddin. Berangkat dari Pesantren. Jakarta: Gunung Agung, 1987.

A Thib Raya