Ahlurra’yi

Sebutan pakar hukum Islam bagi Imam Hanafi dan pengikutnya, seperti Muhammad bin Hasan, Abu Yusuf, Zufar bin Hudail, dan Hasan bin Ziyad, adalah ahlurra’yi. Mereka dinamai demikian karena melebihi para ahli hadis dalam penggunaan akal ketika berijtihad. Dalam pengembangan hukum Islam, paham ini berpengaruh besar pada abad pertama dan kedua Hijriah.

Dalam berijtihad, kelompok ahlurra’yi sering mendahulukan pendapat akal daripada hadis ahad. Mereka sangat selektif dalam menerima hadis, khususnya jika hadis tersebut termasuk dalam kategori ahad. Selain itu, ahlurra’yi memiliki metode lain dalam beristinbat yang dikenal dengan istihsan.

Penggunaan istihsan ini mereka lakukan tatkala metode kias dipandang tidak dapat mencapai tujuan hukum. Salah satu bentuk istihsan yang dilakukan ahlurra’yi ini adalah dengan cara mendahulukan ilat (sebab) yang khafi (kurang jelas) dari ilat yang jali (jelas). Dalam perpalingan dari ilat yang jali kepada yang khafi, yang disebut istihsan ini, ahlulhadis dinilai sebagai membuat hukum berdasarkan hawa nafsu.

Dalam hal ini sangat terkenal ucapan Imam Syafi‘i yang mengatakan “man istahsana qad syarra‘a bi al-hawa” (Barangsiapa yang menggunakan istihsan, sesungguhnya telah membuat hukum dengan hawa nafsunya). Atas dasar inilah golongan ahlulhadis menuduh kelompok ahlurra’yi sebagai lebih mendahulukan pendapat akal dari kandungan hadis.

Mazhab ahlurra’yi ini sebenarnya diawali oleh Ibnu Mas‘ud tatkala ia menetap di Irak. Ibnu Mas‘ud mengagumi Umar bin Khattab yang menggunakan akal dalam berijtihad. Penggunaan akal dalam menetapkan hukum itu tidak saja dalam hal yang tidak terdapat ketentuannya dalam nas, tetapi juga terhadap nas yang secara jelas menentukan suatu hukum.

Sikap Umar ini dapat dilihat dari fatwa hukumnya tentang mualaf (orang yang baru masuk Islam) yang datang meminta pembagian zakat kepadanya. Ketika itu Umar melihat bahwa mualaf tidak selayaknya diberi zakat karena ia melihat orang tersebut tidak dapat dikelompokkan ke dalam tuntutan ayat. Artinya, ilat hukum yang ada pada ayat tidak sesuai dengan keadaan orang mualaf yang datang meminta zakat tersebut. Oleh sebab itu orang tersebut tidak diberinya zakat.

Sikap Umar bin Khattab inilah yang mengilhami Ibnu Mas‘ud. Kemudian cara berpikir melalui ijtihad yang dikembangkan Ibnu Mas‘ud ini diikuti muridnya, Ilqimah bin Qais, dan selanjutnya dikembangkan lagi oleh Ibrahim an-Nakha‘i dan Himad bin Abi Sulaiman, yang merupakan guru Imam Abu Hanifah. Untuk selanjutnya Irak dikatakan sebagai sekolah ar-Ra’yi.

Ada tiga hal yang menyebabkan kelompok ini dinamakan ahlurra’yi.

(1) Pengaruh yang ditinggalkan Ibnu Mas‘ud di Irak, yang mempunyai kecenderungan penyelesaian masalah dengan rakyu (hasil pikir), sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi Irak pada waktu itu.

(2) Hadis Nabi Muhammad SAW, seperti dikatakan Ibnu Khaldun, sangat sedikit tersebar di Irak karena hadis lebih banyak di Hijaz.

(3) Irak adalah daerah yang memiliki peradaban yang serba kompleks, yang dipengaruhi peradaban dan kebudayaan Persia dan Yunani. Oleh sebab itu penanganan permasalahannya akan sangat berbeda dengan penanganan masalah yang terjadi di Hijaz.

Akibat dari ketiga hal di atas, banyak hukum furuk yang muncul di Irak berbeda dengan yang ada di Hijaz. Hukum furuk yang muncul ini lebih banyak diselesaikan berdasarkan pengamatan situasi dan kondisi masyarakat serta analisis akal.

Di samping itu, karena hadis yang tersebar di sana sedikit sekali, maka mereka membuat syarat yang ketat dalam menerima suatu hadis. Jika hadis yang mereka temui tidak sesuai atau tidak memenuhi syarat yang mereka tetapkan, penyelesaian masalah dilakukan dengan penggunaan nalar atau akal.

Bandingan ahlurra’yi adalah ahlulhadis yang berpusat di Hijaz. Para tokoh ahlulhadis antara lain adalah Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan Imam Hanbali. Berbeda dengan ahlurra’yi, kelompok ahlulhadis lebih mendahulukan hadis Nabi SAW yang bersifat ahad daripada pendapat akal, jika hadis tersebut memenuhi syarat kesahihannya.

Dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi, sedapat mungkin mereka berusaha mencarikan nas dari Al-Qur’an atau hadis. Sikap mereka yang berpegang kuat pada hadis Nabi SAW inilah yang membuat mereka disebut ahlulhadis.

Dalam perjalanan sejarah hukum Islam, ahlurra’yi yang dikatakan mendahulukan rakyu dari hadis ternyata banyak sekali mempergunakan hadis dalam mendukung hasil ijtihad mereka. Bahkan, dalam kitab fikih mereka ditemui hadis yang bernilai lemah (daif) dalam mendukung hasil ijtihad yang mereka lakukan. Sebaliknya ahlulhadis, yang berusaha keras dalam mencari hadis yang akan mendukung ijtihad mereka, ternyata dalam berijtihad juga mempergunakan analisis akal (rakyu).

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh al-Madzahib Al-Islamiyyah As-Siyasah wa Al-‘Aqa’id wa Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
ad-Duraini, Fathi. al-Manahij al-Ushuliyyah fi al-ijtihad bi ar-ra’y fi at-tasyri Al-Islami. Damascus: Dar al-Kitab al-Hadis, 1975.
al-Kausari, Muhammad Zahid. Fiqh Ahl al-‘Iraq wa  al-‘Iraq wa Hadisuhum. Beirut: al-Islamiyah, 1970.
Khalaf, Abdul Wahhab. Masadir at-Tasyri‘ al-Islami fima la Nassa fih. Kuwait: Dar al-Qalam, 1972.

Nasrun Haroen