Keluarga Rasulullah SAW disebut juga ahlulbait. Tentang siapa yang termasuk ahlulbait masih ada beda pendapat karena beda pemahaman tentang surah al-Ahzab (33) ayat 33, terutama dalam asbab an-nuzul (sebab turunnya) ayat tersebut. Ayat tersebut berbunyi: “…Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Perbedaan pendapat tentang ahlulbait juga timbul karena adanya beberapa hadis yang berbeda tentang itu dan adanya kelompok dalam agama Islam. Dalam hadis yang diriwayatkan at-Tabrani (ahli hadis, w. 360 H/971 M) dari Ummu Salamah, salah seorang istri Rasulullah SAW, diceritakan bahwa ketika Rasulullah SAW sedang berada di rumah Ummu Salamah, datang Fatimah az-Zahra membawa sebuah pinggan berisi makanan. Rasulullah SAW bersabda kepada Fatimah, “Panggil suami (maksudnya Ali) dan kedua anakmu (Hasan dan Husein).”
Datanglah Fatimah bersama mereka, kemudian Rasulullah SAW mengerudungkan sehelai kain Fadak di atas mereka, seraya meletakkan tangan di atas mereka dan berdoa, “Ya Allah, mereka inilah keluarga Muhammad, tetapkanlah selawat dan berkat atas keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah menetapkan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”
Ummu Salamah berkata, “Lalu kuangkat kain agar aku bisa masuk bersama mereka, tetapi Rasulullah menarik kain itu dari tanganku sambil berkata, ‘Sesungguhnya engkau (Ummu Salamah) berada dalam kebaikan.’”
Rasulullah SAW tidak mengizinkan Ummu Salamah masuk ke dalam kerudung (kisa’) itu. Peristiwa tersebut menjadi asbab an-nuzul surah al-Ahzab (33) ayat 33, dan dari peristiwa itu dapat disimpulkan bahwa yang termasuk ahlulbait itu ada lima orang: Rasulullah SAW, Fatimah, Ali, Hasan, dan Husein. Pendapat ini diterima baik oleh kalangan Syiah maupun Suni.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (224 H/839 M–310 H/923 M), Ibnu Abi Khatim (w. 327 H/939 M), dan at-Tabrani dari Abu Sa‘id al-Khudri (4 H/626 M–84 H/703 M),
Rasulullah SAW bersabda, “Ayat (al-Ahzab [33] ayat 33) ini diturunkan mengenai lima orang, yaitu aku, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein.”
Hadis yang berkenaan dengan asbab an-nuzul surah al-Ahzab (33) ayat 33 tersebut di atas terkenal dengan nama hadis al-Kisa’ (hadis tentang selimut/kerudung).
Hadis lain yang berkenaan dengan ahlulbait ialah hadis as-Saqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) yang diriwayatkan oleh at-Tirmizi dari Zaid bin Arqam (sahabat Nabi SAW, perawi hadis; w. 66 H/686 M) dan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Hanbali dari Abu Sa‘id al-Khudri.
Rasulullah SAW bersabda,“Sesungguhnya tidak lama lagi aku akan dipanggil dan aku pun akan memenuhinya, dan sesungguhnya aku telah meninggalkan as-Saqalain, yaitu Kitab Allah Azza wa Jalla dan ‘itrah-ku (Ar.: = keluarga terdekat). Kitab Allah itu ibarat tali yang terentang dari langit ke bumi, dan ‘itrah-ku adalah ahlulbaitku, dan sesungguhnya Allah Yang Maha Lembut telah mengabarkan kepadaku bahwa keduanya (Kitab Allah SWT dan ‘itrah Nabi SAW) tidak akan terpisah sehingga keduanya datang kepadaku telaga. Maka dari itu hendaknya kalian perhatikan bagaimana perlakuanku terhadap keduanya.”
Hadis lain yang berkenaan dengan ahl-ulbait ialah:
(1) Hadits as-Safinah (hadis tentang bahtera), antara lain diriwayatkan Hakim an-Naisaburi (w. 405 H/1014 M) dari Sa’id bin Jubair (624–692) dari Ibnu Abbas (sahabat dan sepupu Nabi SAW), bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan ahlulbaitku bagi kamu sekalian seperti bahtera Nuh AS, barangsiapa menaikinya (mengikutinya) pasti dia selamat, tetapi barangsiapa berpaling darinya, pasti ia tenggelam.”
(2) Hadits Mahabbah (hadis tentang kecintaan terhadap ahlulbait), antara lain at-Tabrani dalam kitabnya al-Ausath meriwayatkan hadis dari Jabir bin Abdullah (w. 78 H/698 M), bahwa Rasulullah SAW dalam sebuah khotbahnya bersabda, “Hai manusia, barangsiapa membenci kami ahlulbait, Allah akan menghimpunkan dia sebagai (bersama) Yahudi.”
(3) Menurut hadis yang dikeluarkan Imam Hanbali, at-Tabrani, dan al-Hakim, yang bersumber dari Ibnu Abbas, tatkala turun ayat 23 asy-Syuar (“Katakanlah, aku tidak meminta upah dari kalian [atas penyampaian risalah ini] selain kecintaan kalian kepada keluarga[ku]”), para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, “Siapa dari kerabatmu yang diwajibkan atas kami untuk mencintai mereka?” Rasulullah SAW menjawab, “Ali, Fatimah, dan kedua putranya (Hasan dan Husein).”
Dalam hadis al-Kisa’ dan Mahabbah, ada lima yang termasuk ahlulbait, sedangkan dalam hadis as-Saqalain dan as-Safinah tidak diperinci siapa yang termasuk ahlulbait. Jika berpegang pada hadis yang menunjukkan bahwa ahlulbait tidak menerima sedekah, maka dalam riwayat yang terkenal, yang tidak boleh menerima sedekah ialah Nabi SAW dan keluarga, Ali dan keluarga, Aqil bin Abi Thalib (saudara Ali) dan keluarga, Ja‘far bin Abi Thalib (saudara Ali) dan keluarga, serta seluruh keluarga Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi SAW).
Menurut Imam Malik dan Imam Hanafi, yang termasuk ahlulbait ialah Bani Hasyim, sementara Imam Syafi‘i berpendapat Bani Muthalib saja. Kalangan salaf berpendapat bahwa ahlulbait itu ialah Nabi SAW sendiri, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein, serta istri Nabi SAW.
Dalam pada itu kalangan Syiah 12 Imam berpendapat bahwa yang termasuk ahlulbait itu ialah orang yang disucikan Allah SWT, yaitu: Nabi Muhammad SAW, Ali, Fatimah, dan imam Syiah 12 setelah Ali, yaitu Hasan, Husein, Ali bin Husein Zainal Abidin (w. 712), Muhammad al-Baqir (w. 731), Ja‘far as-Sadiq, Musa al-Kazim (w. 799), Ali ar-Rida (w. 818), Muhammad al-Jawad (w. 835), Ali al-Hadi (w. 868), Hasan al-Askari (w. 874), dan Muhammad al-Muntazar (w. 878).
Keistimewaan ahlulbait dibandingkan dengan muslim lainnya ialah selalu mendapat selawat dan salam ketika orang muslim menyampaikan selawat dan salam kepada Nabi SAW. Ulama salaf sangat menaruh hormat dan cinta kepada Nabi SAW dan keluarganya itu; misalnya ketika meriwayatkan hadis andai-andai (“Jika sekiranya Fatimah mencuri, niscaya kupotong tangannya”), mereka tidak rela mengucapkan hadis dengan lafaz seperti itu, karena merasa tidak sopan mengan daikan keluarga Rasulullah SAW sebagai pencuri, sehingga diriwayatkannya dengan maknanya, “Jika seandainya fulanah (si upik atau si eneng atau si butet) mencuri, akan kupotong tangannya.”
Keistimewaan lainnya ialah ahlulbait tidak menerima sedekah. Diriwayatkan, suatu ketika Hasan akan menyuapkan sepotong makanan ke mulutnya. Tatkala diketahui bahwa makanan itu berasal dari sedekah, segera Nabi SAW mengambil makanan yang hampir dimakannya itu, lalu menyimpannya kembali ke tempatnya semula.
Daftar Pustaka
Goldziher, Ignas, et.al. “Ahl al-Bayt,” The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1960.
al-Hakim, Muhammad Taqi. al-Ushul al-‘ammah, li al-Fiqh al-Muqarin. Beirut: Dar al-Andalus, at-Taba‘ah wa an-Nasyr, t.t.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan, 1974.
Ibnu Kasir. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: Dar al-Fikr, 1966.
al-Qadir, Ali Hasan Abd. Ahl Bayt al-Jami‘ah at-Ta‘limat al-Islamiyyah, atau Siapa, Mengapa Ahlul Bayt, terj. Bandung: Penerbit Bina Ilmu, 1991.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
as-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar. ad-Durr al-Mansur fi at-Tafsir bi al-Ma’sur. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
Thabathaba’i, Husein. Tafsir al-Mizan. Qum: Mansyurat Jama’ah al-Mudarrisin, t.t.
Atjeng Achmad Kusaeri