Ahliyyah

Secara etimologis, ahliyyah berarti “kecakapan untuk menangani suatu urusan”. Ahliyyah adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh Allah SWT untuk menentukan apakah orang itu telah cakap dikenai tuntutan syarak (hukum Islam). Artinya, seseorang telah memiliki jasmani dan akal sempurna sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai syarak.

Dengan sifat ahliyyah, seseorang juga telah dianggap sah melakukan tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak kepada orang lain. Sifat kecakapan itu sendiri datang kepada yang bersangkutan melalui tahapan tertentu, tidak sekaligus.

Ulama membagi ahliyyah atas dua bentuk, yaitu ahliyyah al-wujub dan ahliyyah al-ada’. Ketika telah mencapai tingkatan ahliyyah al-ada’, seseorang dianggap telah memiliki ahliyyah yang sempurna. Ahliyyah al-wujub mengandung pengertian bahwa seseorang telah dianggap cakap untuk menerima apa yang menjadi haknya. Misalnya, jika hartanya dirusak seseorang, ia berhak menuntut ganti rugi, atau ia berhak menerima harta waris dari keluarganya yang meninggal dunia.

Ukuran yang digunakan untuk menentukan ahliyyah al-wujub adalah sifat kemanusiaan seseorang, yang sama sekali tidak terkait dengan umur, kondisi akil balig, dan kecerdasan. Sejak dilahirkan ke dunia, seseorang telah memiliki sifat ini dan hanya akan hilang apabila ia meninggal. Atas dasar ahliyyah al-wujub, seseorang yang baru lahir, jika ayahnya meninggal dunia, mendapat warisan sesuai dengan ketentuan syarak. Demikian juga apabila seseorang yang masih bayi diberi wasiat oleh orang lain, maka ia telah berhak atas wasiat tersebut, sekalipun untuk mengelola dan membelanjakannya harus diwakili orang lain.

Ahliyyah al-wujub ini sendiri terbagi kepada dua bagian. Pertama, ahliyyah al-wujub an-naqis (kurang sempurna), yaitu ketika janin masih berada dalam kandungan ibunya. Janin itu dikatakan memiliki ahliyyah yang belum sempurna, karena hak yang harus diterimanya belum dapat menjadi miliknya sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat, walaupun hanya untuk sesaat.

Ada empat hal yang menjadi hak janin dalam kandungan ibunya.

1) Hak keturunan dari ayah dan ibunya, serta yang terkait dengan keduanya.

2) Hak warisan dari ahli warisnya yang meninggal dunia. Dalam kaitan ini bagian harta yang akan diterimanya diperkirakan dari jumlah terbesar (janin tersebut dianggap laki-laki).

3) Wasiat yang ditujukan kepadanya.

4) Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.

Perlu dicatat di sini bahwa wasiat dan wakaf oleh ulama dianggap sebagai transaksi sepihak; dalam artian bahwa pihak yang menerima wasiat atau wakaf tidak harus menyatakan persetujuan untuk sahnya akad tersebut. Oleh sebab itu jika ada wasiat atau wakaf yang diperuntukkan kepada janin dalam kandungan ibunya, secara otomatis wasiat atau wakaf tersebut menjadi hak milik janin.

Kedua, ahliyyah al-wujub al-kamilah (sempurna), yaitu apabila ia lahir ke dunia dengan selamat, maka penuhlah ahliyyah al-wujub-nya, sekalipun akalnya masih kurang atau dia seorang gila.

Seseorang yang masih berstatus ahliyyah al-wujub tidak dikenakan tuntutan syarak, baik yang bersifat ibadah seperti salat dan puasa (yang bersifat rohani), maupun tindakan hukum duniawi seperti melakukan transaksi pemindahan hak milik kepada orang lain. Dalam kaitan ini ulama menentukan bahwa untuk mengelola harta milik seseorang yang masih berstatus ahliyyah al-wujub harus ada seorang wali atau wasi (orang yang diberi amanah untuk mengelola harta tersebut).

Wali atau wasi ini pun harus bertindak ekstra hati-hati dalam pengelolaan harta itu sehingga tidak menimbulkan kerugian atau pengurangan secara sengaja terhadap harta orang yang masih berstatus ahliyyah al-wujub tersebut. Seorang wali atau wasi harus mempertimbangkan untung rugi dalam mengelola harta itu; dan ia hanya boleh melakukan transaksi terhadap harta orang yang berstatus ahliyyah al-wujub ini jika transaksi itu sendiri dipandang cukup menguntungkan.

Ahliyyah al-ada’ mengandung pengertian bahwa seseorang telah dianggap cakap untuk bertindak hukum, karena akalnya telah sempurna. Dengan demikian, ia telah dituntut untuk melaksanakan segala perintah dan larangan syarak, baik yang berbentuk ibadah maupun yang bersifat duniawi. Yang dijadikan ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah al-ada’ adalah berakalnya seseorang (dalam istilah fikih disebut sebagai akil balig).

Dengan demikian, segala bentuk perintah dan larangan syarak telah dapat ia pikirkan dengan sebaik-baiknya, dan dapat dilaksanakannya dengan benar. Apabila tidak melaksanakan perintah atau tidak menghindari larangan, ia akan mendapatkan sanksi hukum, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.

Apabila terjadi tindakan hukum yang merugikan orang lain, bagi orang itu, baik yang masih dalam status ahliyyah al-wujub maupun yang telah berstatus ahliyyah al-ada’, berlaku aturan tertentu. Jika seseorang yang masih dalam status ahliyyah al-wujub al-kamilah melakukan tindakan hukum yang merugikan orang lain, dan kerugian itu berkenaan dengan benda atau bersifat materi, orang tersebut wajib memberikan ganti rugi dari hartanya sendiri.

Dalam kaitan ini pengadilan berhak untuk memerintahkan wali atau wasi anak kecil ini supaya mengeluarkan ganti rugi dari harta anak itu sendiri. Namun jika kerusakan itu berhubungan dengan hal yang bersifat fisik rohani, seperti melukai seseorang dan bahkan membunuhnya, maka tindakan hukumnya ini belum dapat dipertanggungjawabkannya secara hukum, karena ia memang belum cakap untuk bertindak hukum. Oleh sebab itu perlukaan atau pembunuhan yang dilakukannya tersebut dianggap sebagai perlukaan atau pembunuhan semisengaja, yang hukumannya adalah ganti rugi harta.

Adapun orang yang telah berstatus ahliyyah al-ada’, yang melakukan tindakan hukum yang merugikan harta, fisik, atau nyawa orang lain, harus bertanggung jawab penuh menerima hukuman apa pun yang ditentukan syarak atau pengadilan kepadanya.

Daftar Pustaka

Bek, Muhammad al-Khudari. Tarikh at-Tasyri‘ al-Islami. Cairo: al-Maktabah al-Istiqamah, 1968.
–––––––. Ushul at-Tasyri‘ al-Islami. Cairo: Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1971.
Hasaballah, Ali. Ushul at-Tasyri‘ al-Islami. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1976 M.
Ibrahim, Ahmad. Mazakarah al-Iltizamat fi asy-Syar‘ al-Islami. Cairo: Dar al-Fikr al-’Arabi,1964.
–––––––. Risalah al-Ahliyyah wa ’Awaridiha wa al-Wilayah. Cairo: Matba‘ah Kulliyah al-Huquq al-Jami‘ah al-Qahirah, 1968.
Jayb, Sa‘di Abu. al-Qamus al-Fiqhi. Damascus: Dar al-Fikr, 1988.
al-Kahlani, Muhammad bin Ismail. Subul as-Salam. Singapura: Sulaiman Mar’i, 1960.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1973.

Hasrun Haroen