Secara kebahasaan, musqitat berarti “yang menggugurkan”; sedangkan al-‘uqubah berarti “hukuman”. Dalam terminologi fikih, musqitat al-‘uqubah berarti “keadaan yang dapat menggugurkan hukuman bagi seorang pelaku tindak pidana pembunuhan, hudud, atau takzir”. Pembahasan mengenai musqitat al-‘uqubah dijumpai dalam kajian hukum pidana Islam.
Berkaitan dengan persoalan hukuman yang akan dilaksanakan kepada seorang terpidana, ulama fikih membahas perbedaan antara hak Allah SWT dan hak manusia (hamba).
Menurut Imam al-Qarafi atau Syihabuddin Ahmad bin Idris (w. 684 H/1285 M), ahli fikih Mazhab Maliki, pengertian pembagian hak Allah SWT dan hak manusia berkaitan dengan masalah pengguguran hukuman.
Apabila seorang manusia bisa menggugurkan hukuman terhadap tindak pidana yang dilakukan orang lain, hal tersebut dikatakan sebagai hak manusia. Contohnya, dalam tindak pidana pembunuhan, pihak ahli waris dapat menggugurkan hukuman kisas dan diganti dengan denda atau dimaafkan sama sekali.
Adapun yang dimaksud dengan hak Allah SWT adalah jika hukuman atas tindak pidana yang dijatuhkan kepada seseorang tidak bisa digugurkan oleh seseorang atau hakim, misalnya ma salah keimanan dan murtad.
Menurut al-Qarafi, merupakan hal yang sulit untuk membuat batasan antara hak Allah SWT dan hak hamba di luar yang berkaitan dengan pengguguran hukuman karena pada hak hamba terkait hak Allah SWT.
Begitu pula sebaliknya, dalam hak Allah SWT terkait hak hamba. Keadaan yang dapat menggugurkan hukuman, antara lain, adalah tobat.
Namun, menurut Mazhab Hanafi, Maliki, dan salah satu pendapat Mazhab Syafi‘i, hukuman terhadap pelaku pidana hudud (selain pemberontakan) tidak bisa digugurkan melalui tobat, baik dalam keadaan tuntutan telah diajukan kepada hakim maupun belum diajukan.
Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW yang tidak menggugurkan hukuman rajam kepada Ma’iz karena berzina dan mengaku di hadapan Rasulullah SAW meskipun ia sudah bertobat (HR. Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah).
Karena itu, ulama ini berpendapat bahwa hukuman zina tidak dapat digugurkan dengan tobat. Hal ini juga berlaku bagi pencuri dan orang yang meminum khamar.
Akan tetapi, menurut Imam al-Kasani (ulama fikih Hanafi), hukuman bagi tindak pidana pencurian bisa gugur apabila si pelaku bertobat dan mengembalikan barang yang dicuri kepada pemiliknya sebelum persoalan diajukan ke pengadilan.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW dalam kasus pencurian terhadap barang Safwan bin Umayah yang berhasil menangkap pencurinya dan membawanya kepada Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah SAW memutuskan hukuman potongan tangan, Safwan bin Umayah mengatakan,
“Biarlah saya hibahkan saja barang itu kepadanya.” Rasulullah SAW menjawab, “Kenapa tidak kamu lakukan itu sebelum masalah ini sampai ke tangan saya” (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda,
“Saling memberi maaflah kamu dalam masalah hudud karena jika persoalan itu sampai ke tangan saya, hukumannya tidak dapat dimaafkan” (HR. Abu Dawud, al-Hakim, dan an-Nasa’i).
Menurut ulama, hukuman yang diberikan terhadap tindak pidana pencurian dapat gugur antara lain karena hal berikut:
(1) adanya pengakuan pemilik barang bahwa barangnya tidak dicuri,
(2) saksi yang dikemukakan oleh pemilik barang ada lah saksi palsu,
(3) pencuri mencabut kembali pengakuannya dalam mencuri,
(4) pencuri mengembalikan barang curiannya kepada pemiliknya sebelum pengajuan gugatan kepada hakim, dan
(5) barang curian itu menjadi milik sah pencuri sebelum diajukan gugatan kepada hakim, misalnya barang tersebut dibelinya atau dihibahkan oleh pemilik barang itu.
Gugurnya hukuman untuk perampok sama dengan hal yang menyebabkan gugurnya hukuman untuk pencurian. Perbedaannya terletak pada masalah tobat.
Dalam tindak pidana perampokan, apabila perampok bertobat sebelum gugatan diajukan, hukumannya gugur. Alasannya berdasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 34:
“Kecuali bagi orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Hal ini tidak berlaku dalam tindak pidana pencurian.
Pendapat yang berbeda dikemukakan Imam Hanbali. Dalam salah satu riwayat, ia mengatakan bahwa hukuman hudud bisa saja gugur dengan tobat, karena Nabi SAW mengatakan, “Orang yang tobat dari dosanya, persis sama dengan orang yang tidak punya dosa” (HR. Ibnu Majah dan at-Tabrani dari Ibnu Mas‘ud).
Tetapi ia mengatakan, tindak pidana qadzf tidak bisa gugur melalui tobat, karena huku-man qadzf ini merupakan hak pribadi orang yang dituduh melakukan zina.
Kemudian terhadap orang yang murtad, ulama sepakat mengatakan bahwa hukuman bagi orang yang melaku kannya adalah dibunuh. Alasannya berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Siapa yang mengganti agamanya (Islam) maka bunuhlah ia” (HR. mayoritas perawi, kecuali Muslim).
Akan tetapi, apabila orang yang murtad ini bertobat sebelum dikenakan hukuman bunuh, gugurlah hukuman itu. Artinya, jika ia bertobat dan masuk Islam kembali, ia tidak lagi dikenakan hukuman bunuh.
Dalam masalah pengguguran hukuman takzir melalui tobat, ulama fikih Mazhab Hanafi dan Syafi‘i menyatakan bahwa jika hukuman takzir itu semata-mata hak pribadi manusia (hak hamba lebih dominan dari hak Allah SWT), seperti seseorang dicaci, dipukul, dihina atau bentuk lain yang menghendaki adanya gugatan, hukumannya tidak bisa digugurkan melalui tobat.
Hal ini juga tidak dapat digugurkan melalui pengampunan hakim. Namun, jika hukuman takzir itu menyangkut hak Allah SWT (hak Allah SWT lebih dominan dari hak hamba), seperti orang yang membatalkan puasanya secara sengaja di bulan Ramadan, meninggalkan salat, riba, dan menggauli wanita yang bukan istrinya (selain jimak), hukumannya bisa gugur melalui tobat.
Hal ini juga bisa gugur melalui pengampunan hakim. Adapun menurut Imam al-Qarafi, seluruh hukuman dalam pidana takzir bisa gugur melalui tobat pelakunya.
Jika melakukan tindak pidana pembunuhan, anak kecil yang belum cakap bertindak hukum atau orang gila yang kecakapan bertindak hukumnya hilang tidak dapat dikenakan hukuman kisas. Pembunuhan yang mereka lakukan itu dikategorikan kepada pembunuhan tidak sengaja (tersalah).
Karenanya, hukuman bagi mereka adalah kewajiban membayar denda. Hukuman ini tidak bisa gugur dengan alasan bahwa mereka tidak cakap bertindak hukum. Namun, jika ahli waris terbunuh memaafkannya, hukuman dapat digugurkan.
Terhadap kondisi lain, seperti orang yang terpaksa membunuh, hukuman yang diberikan adalah sama dengan pembunuhan yang dilakukan anak kecil atau orang gila.
Namun ada ulama yang berpendapat bahwa pelaku tidak dapat dikenakan hukuman. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi SAW: “Umatku tidak dibebani hukum jika ia dalam keadaan lupa, tersalah, dan terpaksa” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sementara itu, ulama lain mengatakan bahwa pelaku tetap dikenakan hukuman, karena hadis tersebut menurut mereka hanya berlaku dalam masalah ibadah.
Daftar Pustaka
Amir, Abdul ‘Aziz. at-Ta‘zir fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah. Iskandariyah: Dar al-I‘tisam, 1976.
Audah, Abdul Qadir. at-Tasyri‘ al-Jina’i al-Islami. Cairo: al-Babi al-Halabi, t.t.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. at-Turuq al-Hukmiyyah fi as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Cairo: Mu’assasah al-‘Arabiyyah li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr, 1961.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Cairo: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1969.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
Nasrun Haroen