Adil

(Ar.: al-‘adl)

Adil berarti “tidak berat sebelah atau memihak”, “berpihak serta berpegang pada kebenaran”, “tidak sewenang-wenang atau zalim”, dan “seimbang serta sepatutnya”. Kata al-‘adl mempunyai banyak arti. Bahkan salah satu dari 99 nama Allah SWT (al-Asma’ al-husna) adalah al-‘adl.

Kata al-‘adl dalam pengertian “keadilan” merupakan yang paling banyak terdapat dalam Al-Qur’an, seperti dalam surah asy-Syura (42) ayat 15; an-Nisa’ (4) ayat 3, 58, dan 129; al-Ma’idah (5) ayat 8; al-An‘am (6) ayat 152; al-A‘raf (7) ayat 159 dan 181; an-Nahl (16) ayat 76 dan 90; dan al-hujurat (49) ayat 9. Adapun yang berarti “keseimbangan” terdapat dalam surah al-Infitar (82) ayat 7 dan al-Ma’idah (5) ayat 95. Yang berarti “kebenaran” terdapat pada surah al-Baqarah (2) ayat 282.

Di samping itu, kata al-‘adl dalam Al-Qur’an juga digunakan untuk pengertian yang sangat berbeda dari pengertian di atas. Al-‘adl dapat berarti “menyandarkan perbuatan kepada selain Allah, menyimpang dari kebenaran”, seperti pada surah an-Nisa’ (4) ayat 135; “membuat sekutu bagi Allah, mempersekutukan Allah (musyrik)”, seperti pada surah al-An‘am (6) ayat 1 dan 150; dan “menebus (tebusan)”, seperti pada surah al-Baqarah (2) ayat 48 dan 123 serta surah al-An‘am (6) ayat 70.

Kata al-‘adl juga bermakna sama dengan al-‘adil, orang yang adil (jamak: al-‘udul). Dalam Al-Qur’an, kata ini digunakan, baik dalam pengertian dzawa ‘adlin (dua orang [subjek] yang memiliki sifat yang adil; QS.5:95 dan 106) maupun dzawia ‘adlin (dua orang [objek] yang memiliki sifat adil; QS.65:2).

Sa‘id bin Jabir, seorang ulama hadis, mengatakan bahwa al-‘adl mempunyai empat pengertian. (1) Dalam bidang hukum, al-‘adl berarti “berlaku adil”. Dalam hal ini Allah SWT berfirman, “…Apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil…” (QS.4:58). (2) Dalam perkataan, al-‘adl berarti “benar dan jujur”. Allah SWT berfir-man, “…dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil…” (QS.6:152). (3) Al-‘adl berarti “tebusan”. Allah SWT berfirman, “…Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusan pun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya…” (QS.6:70). (4) Al-‘adl bisa juga berarti “kemusyrikan”. Allah SWT berfirman, “…Namun, orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka” (QS.6:1).

Di samping al-‘adl, dalam bahasa Arab digunakan juga kata al-‘idl. Dalam bahasa Indonesia dua kata ini mempunyai arti yang sama, yakni keadilan. Namun dalam bahasa Arab keduanya digunakan dalam konteks yang berbeda. Kata al-‘adl digunakan dalam perkara keadilan yang menggunakan kalbu dan rasio sebagai ukurannya. Adapun al-‘idl digunakan dalam kasus yang dapat dipantau dengan pancaindra, seperti timbangan, hitungan, dan ukuran. Dalam mengukur dan menimbang, keadilan berarti “kesesuaian dengan ukuran yang sebenarnya”. Dalam pembagian, keadilan berarti “kesamaan antara bagian-bagian dari barang yang dibagi”.

Adil dalam ajaran Islam ada dua macam. Pertama, adil mutlak, yang tidak terikat. Dalam pengertian ini, manusia sangat membutuhkan fungsi akal untuk mengetahui kebaikan atau keadilan itu. Adil dalam hal ini lebih dekat pada pengertian “kebaikan atau kebenaran”. Karena tidak terikat (mutlak), hukum mengenai keadilan dalam pengertian ini tidak pernah dihapuskan sepanjang masa, dari satu syariat (agama Allah SWT) ke syariat yang lain. Pelaksanaannya merupakan kewajiban.

Adil ini tidak sama dengan balas membalas. Karenanya, apabila seseorang membunuh bukan berarti dia juga harus dibunuh. Kedua, adil yang hanya diketahui melalui Al-Qur’an atau hadis Nabi SAW. Adil dalam pengertian ini dalam perjalanan sejarah agama Allah SWT dapat mengalami perubahan atau penghapusan hukum karena ajaran agama yang baru, seperti kisas dan denda jinayah (pidana dalam Islam).

Keadilan dalam Islam merupakan kewajiban agama. Pentingnya sikap dan sifat adil dalam Islam dapat dilihat dari hadis Nabi SAW: “Ilmu itu ada tiga, di antaranya adalah kewajiban berlaku adil dalam membagi” (HR. Abu Dawud dan Ahmad bin Hanbal).

Sifat adil dalam ilmu fikih merupakan syarat bagi orang yang akan bertindak sebagai: (1) saksi dalam segala perkara, seperti dalam masalah pernikahan, pencatatan utang, dan perkara hukum; (2) hakim; dan (3) penguasa. Dalam hal ini, adil berarti “tidak berat sebelah atau memihak”, “berpihak atau berpegang pada kebenaran”, atau “tidak sewenang-wenang atau zalim”.

Dalam ilmu hadis, sifat adil merupakan syarat bagi seo-rang periwayat. Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang dipandang tidak adil tidak dianggap sahih. Dalam hal ini adil berarti “berpihak dan berpegang pada kebenaran”. Orang yang adil adalah orang yang perkataan dan keputusannya diridai Allah SWT.

Rif‘at Fauzi Abdul Muthalib, pakar ilmu hadis di Universitas Cairo, Mesir, menyatakan bahwa adil dalam kaitannya dengan periwayatan hadis berarti “sifat yang melekat pada seseorang sehingga orang itu selalu bertakwa (menjauhi perbuatan buruk berupa kefasikan dan bid’ah) dan berkepribadian baik”. Orang yang adil dalam pengertian ini akan menjauhi larangan agama, tidak melakukan dosa besar dan kecil.

Imam Syafi‘i berpendapat bahwa adil berarti “dapat dipercaya dalam bidang agama, benar dalam berbicara, dan tidak pernah berbohong”. Akan tetapi, adil dalam pengertian ini bukan berarti bahwa orang yang memiliki sifat itu sama sekali bebas dari dosa, karena tidak ada manusia yang demikian terjaga.

Dalam hal ini, Sa‘id bin Musayyab (15 H/637 M–94 H/713 M), tokoh tabiin Madinah, mengatakan bahwa tidak seorang pun dari kalangan ulama dan penguasa yang bebas dari cacat, tetapi ada di antara mereka yang cacatnya sangat sedikit sehingga tidak diperhitungkan.

Imam Abu Yusuf, imam mujtahid Mazhab Hanafi mengatakan, “Barangsiapa yang terbebas dari dosa besar yang menyebabkan ia –sesuai ancaman Allah– akan masuk neraka, sementara perbuatan baiknya melebihi perbuatan buruknya, adalah orang yang adil.”

Orang yang tidak adil adalah orang zalim, baik bagi dirinya sendiri maupun dan terutama terhadap orang lain. Berbuat zalim terhadap orang lain (fahisyah) termasuk dosa besar (QS.53:32 dan 3:135). Oleh karena itu, orang yang tidak berlaku adil diancam dengan siksa yang berat di akhirat.

Di dunia, orang yang tidak adil, sebagaimana pelaku dosa besar lainnya, diperlakukan sebagai orang fasik, yaitu tidak boleh diangkat menjadi penguasa (pejabat) dan hakim. Di samping itu, riwayat (hadis), kesaksian, dan kewaliannya tidak diterima.

Daftar Pustaka
al-Asfahani, Ragib. Mu‘jam Mufradat Alfa Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1972.
Makhluf, Hasanain Muhammad. al-Mawaris fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1954.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974.
al-Qurtubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansari. Tafsir al-Qurtubi al-Jami‘ li Ahkam Al-Qur’an. Cairo: Dar asy-Sya’b, t.t.
Qutb, Sayid. Tafsir fi ‘ilal Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ihya’ at-Turas al-‘Arabi, t.t.
as-Salah, Abu Amr Usman bin Abdurrahman. ‘Ulum al-Hadis. Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyah, 1972.
Shihab, M. Quraish. “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
Syaltut, Mahmud. al-Fatawa. Cairo: Dar al-Qalam, t.t.
at-Tabari, Abi Ja‘far Muhammad bin Jarir. Jami‘ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1972.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa ‘Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.

Badri Yatim