Secara kebahasaan, ‘adah berarti “sesuatu yang dikerjakan atau diucapkan berulang-ulang sehingga dianggap baik dan diterima oleh jiwa dan akal sehat”. Istilah lainnya adalah ‘urf, yang secara kebahasaan diartikan sebagai “yang dikenal dan dianggap baik serta diterima oleh akal sehat”.
Para ahli usul fikih mendefinisikan adat atau ‘urf tidak jauh berbeda dengan arti bahasanya. Menurut mereka, adat atau ‘urf adalah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan manusia dalam hal muamalah. Ada juga yang menambahkan pada definisi tersebut kata-kata “dalam hal perkataan dan perbuatan”. Di samping itu ada juga yang mendefinisikannya sebagai sesuatu yang terjadi secara berulang-ulang tanpa harus dipikirkan terlebih dahulu.
Maksudnya, sesuatu yang terjadi secara berulang-ulang tersebut tidak dihukumkan oleh akal sebagai sesuatu yang harus begitu, misalnya bergeraknya jari dengan bergeraknya tangan atau berpindahnya tempat karena ada gerak. Itu semua tidak termasuk ke dalam cakupan istilah adat atau ‘urf menurut usul fikih.
Penambahan kata “dalam hal perkataan dan perbuatan” juga dilakukan dalam rangka mempertegas definisi adat dan ‘urf yang sifatnya hanya menyangkut perkataan atau perbuatan yang telah dibiasakan. Selanjutnya, sesuai dengan definisi di atas, adat dan ‘urf yang dimaksudkan di sini hanya menyangkut bidang muamalah (hubungan antara sesama manusia). Dengan demikian, bidang akidah dan ibadah tidak termasuk bahasan adat atau ‘urf, sekalipun ada perkataan dan perbuatan dari kedua bidang ini yang dilakukan orang secara berulang-ulang.
Para ahli usul fikih menyatakan bahwa adat atau ‘urf dapat dijadikan alasan (dalil) dalam menetapkan hukum Islam. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang berarti: “Sesuatu yang dipandang umat Islam baik, maka di sisi Allah juga dianggap baik.” Kemudian ada juga ulama yang menggunakan surah al-A‘raf (7) ayat 199 yang berarti: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf,” sebagai penguat untuk menjadikan ‘urf sebagai salah satu dalil hukum.
Para usul fikih membedakan ‘urf ke dalam dua kelompok: ‘urf sahih dan ‘urf fasid. ‘Urf sahih yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan ketentuan Al-Qur‘an dan sunah; yang sifatnya tidak menghalalkan yang haram atau sebaliknya mengharamkan yang halal. Sebagai contoh, pemberian seorang calon mempelai laki-laki kepada tunangannya yang umum berlaku di beberapa tempat tidak dianggap sebagai bagian dari mahar (nikah), tetapi semata-mata berupa hadiah; atau kebiasaan berjualan dengan cara saling memberikan barang dan uang antara penjual dan pembeli (barang dari penjual dan uang dari pembeli) tanpa adanya lafal ijab dan kabul.
‘Urf fasid (yang tidak diterima syarak), yaitu kebiasaan yang sifatnya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, misalnya kebiasaan manusia menghalalkan riba dan khamar (minuman keras) pada waktu serta tempat tertentu.
Selanjutnya, dilihat dari sisi pelakunya, adat atau ‘urf dapat dibagi menjadi ‘urf ‘amm dan ‘urf khash. ‘Urf ‘amm adalah suatu kebiasaan yang sudah disepakati orang dari berbagai negeri, baik berupa perbuatan maupun perkataan, misalnya mandi di pemandian umum dengan bayaran yang sama tanpa memperhitungkan lamanya mandi dan banyaknya air yang terpakai. Adapun ‘urf khash adalah kebiasaan tertentu yang berlaku di suatu daerah tertentu atau pada sekelompok manusia.
Adat atau ‘urf sahih baik yang bersifat umum dan menyeluruh maupun khusus untuk negeri tertentu atau sekelompok manusia tertentu, dapat dijadikan alasan untuk menetapkan hukum, sejauh menyangkut soal muamalah. Untuk mempertegas keabsahan adat atau ‘urf sebagai alasan bagi penetapan hukum, para ahli fikih telah membuat suatu kaidah yang berbunyi al-‘adah Muhakkamah (adat kebiasaan itu dapat dijadikan landasan hukum). Kemudian muncul pula kaidah al-Ma‘ruf ‘Urfan ka al-Masyruth Syarthan (yang baik itu menjadi kebiasaan, sama halnya dengan yang disyaratkan itu menjadi syarat).
Dalam kitab al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah (Kaidah Hukum Fikih) didapati beberapa kaidah yang berkaitan dengan masalah adat atau ‘urf ini. Salah satu kaidah itu adalah la yunkar tagayyur al-hukm bi tagayyur al-amkan wa al-azman (tidak diingkari perbedaan hukum disebabkan perbedaan tempat dan masa).
Dalam lapangan ijtihad, adat atau ‘urf yang berlaku pada masyarakat harus dipertimbangkan seorang mujtahid (ahli ijtihad) dalam menetapkan suatu hukum, karena hukum Islam harus membawa kemaslahatan kepada umat. Untuk itu penentuan hukum terhadap suatu masyarakat harus terlebih dahulu memperhatikan kebiasaan yang berlaku di daerah setempat. Karena itu tidak mengherankan jika ada ulama yang mempersyaratkan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui kebiasaan masyarakat setempat.
Keberadaan ‘urf sebagai salah satu dalil dalam penetapan hukum Islam disepakati oleh seluruh ulama mazhab. Imam Hanafi, misalnya, berpendapat bahwa jika ‘urf ‘amm bertentangan dengan kias, maka ia meninggalkan kias dan beramal dengan ‘urf ‘amm tersebut. Berpaling dari kias pada ‘urf ‘amm itu merupakan salah satu bentuk istihsan yang juga merupakan salah satu metode bagi penetapan hukum Islam, terutama di kalangan Mazhab Hanafi. Para ulama dari kalangan Mazhab Maliki juga menggunakan ‘urf sebagai dalil dalam menetapkan hukum, yang menurut mereka termasuk ke dalam apa yang dinamakan al-maslahah al-mursalah (maslahat yang tidak didukung dan tidak pula ditolak oleh nas).
Selanjutnya dalam fikih Imam Hanbali juga dikenal produk fikih yang didasarkan atas ‘urf, seperti dalam soal jual beli yang tidak perlu menggunakan ijab kabul dalam bentuk lafal, tetapi cukup dengan tindakan membayar uang dan mengambil barang. Kemudian dalam fikih Imam Syafi‘i didapati juga hasil ijtihad yang didasarkan atas ‘urf. Misalnya, jika seseorang bersumpah untuk tidak makan daging kemudian makan ikan laut, maka ia tidak dikenakan kafarat (denda) sumpah, karena istilah daging biasanya digunakan untuk sebutan bagi daging sapi, daging kambing, dan sebagainya.
Demikian juga tentang syarat al-harz (tempat menyimpan barang) dalam pencurian yang dikenakan hukuman potong tangan. Menurut mereka, jika barang yang dicuri itu bukan berada di tempat yang biasa digunakan untuk menyimpan barang tersebut, pencurian itu tidak dapat dikatakan sebagai pencurian yang sempurna. Penentuan tempat penyimpanan barang tersebut dilihat dari kebiasaan masyarakat setempat.
Dengan demikian, seluruh mazhab pada dasarnya menerima ‘urf sebagai salah satu dalil hukum, meskipun di antara satu mazhab dan mazhab lainnya ada perbedaan. Demikian juga terdapat perbedaan dalam penentuan skala prioritas kapan ‘urf dapat dijadikan alasan.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
Baltaji, Muhammad. Manahij at-Tasyri‘ al-Islami fi al-Qarn as-sani al-Hijri. Riyadh: Univ. Muhammad bin Saud al-Islamiyah, 1977.
al-Buga, Mustafa Dib. Asar al-‘Adillah al-Mukhtalaf fiha fi al-Fiqh al-Islami. Damascus: Dar al-Imam al-Bukhari, t.t.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. al-Mustasfa fi ‘Ilm al-Usul. Beirut: Dar al-Kitab al-Islamiyah, 1983.
Khalaf, Abdul Wahhab. Masadir at-Tasyri‘ al-Islami fima la Nassa fih. Kuwait: Dar al-Qalam, 1972.
Mansur, Salih bin Abdul Aziz. Usul al-Fiqh wa Ibnu Taimiyyah. Riyadh: Universitas Muhammad bin Sa‘ud al-Islamiyah, 1977.
Nasrun Haroen