Adam

Secara etimologis ‘adam berarti “ketiadaan”. Istilah ini banyak dipakai dalam filsafat sebagai lawan kata dari kata “wujud”. Beberapa filsuf muslim membicarakan serta menafsirkan makna istilah ini, antara lain Ibnu Sina dan Mustafa Mahmud.

Yang dimaksud dengan ‘adam (Ing.: non‑being) ada dua.

(1) ‘Adam zati (ketiadaan yang esensial), yaitu ketiadaan yang tidak mempunyai substansi dan esensi sama sekali, ketiadaan yang demikian merupakan lawan dari wujud mutlak (wujud hakiki). Jadi, di balik kata ‘adam tidak ada suatu hakikat, yang ada hanya kata ‘adam yang sengaja dibuat sebagai alasan untuk menamai ketiadaan wujud seperti yang disebut di atas.
(2) ‘Adam idafi (ketiadaan yang berhubungan), yaitu ketiadaan yang terselubung di balik sesuatu. Pada hakikatnya ‘adam idafi ini ada, tetapi belum mewujud karena terhambat suatu hakikat yang lain.

Ibnu Sina (370 H/980 M–428 H/1037 M) dipandang sebagai filsuf Islam yang banyak berupaya menafsirkan wujud Tuhan yang tercantum dalam Al‑Qur’an dengan pemikiran dari para filsuf Yunani, terutama Aristoteles. Dalam teorinya, ia membagi wujud atas dua bentuk: wujud-wajib (wajib al‑wujud) dan wujud-mungkin (mumkin al‑wujud).

Adanya wujud-wajib tidak disebabkan oleh wujud lain, sedangkan keberadaan wujud-mungkin disebabkan wujud lain di luar dirinya. Wujud-wajib itu oleh Ibnu Sina dibagi lagi atas dua bentuk, yaitu wajib al‑wujud bi zatihi dan wajib al‑wujud bi gairihi.

Wajib al‑wujud bi zatihi adalah wujud yang tidak tergantung pada adanya sesuatu yang lain di luar dirinya. Dalam hal ini, esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya satu dan wujudnya tidak didahului oleh ketiadaan (ma‘dum). Adapun wajib al‑wujud bi gairihi ialah sesuatu yang berwujud karena ada benda lain yang mewujudkannya, misalnya terjadinya basah karena adanya air, terjadinya kebakaran karena adanya api, dan adanya 4 karena 2 + 2 atau 3 + 1. Lawan dari dua bentuk wujud itu adalah ‘adam, yang terdiri dari ‘adam zati dan ‘adam idafi seperti tersebut di atas.

Menurut Ibnu Sina, wujud berbeda dari hakikat (mahiyah), karena itu ia membedakan dua bentuk ‘adam. ‘Adam zati , sebagai lawan wajib al‑wujud bi zatihi, adalah ‘adam dalam bentuk sesuatu yang mustahil, tidak mempunyai hakikat sama sekali, dan karena itu hanya diberi nama sebagai simbol untuk menunjukkan ketiadaannya yang mutlak itu.

Adapun adam idafi merupakan lawan dari wajib al‑wujud bi gairihi. ‘Adam dalam bentuk ini sebenarnya mempunyai hakikat, tetapi hakikatnya tidak terwujud secara aktual, sehingga dikatakan tidak ada. A‘yan Tsabitah dalam konsep tasawuf merupakan salah satu contoh bagi ‘adam idafi , yang mempunyai hakikat, tetapi tidak mempunyai wujud di luar wujud zat Tuhan.

Ketiadaan ‘adam idafi adakalanya mengacu pada masa lalu, tetapi adakalanya pada masa yang akan datang. ‘Adam idafi pada masa lalu suatu waktu akan berubah menjadi mumkin al‑wujud atau wujud idafi, yaitu setelah mendapat kan wujudnya. Adapun ‘adam idafi pada masa yang akan datang semula merupakan mumkin al‑wujud atau wujud idafi yang kemudian kehilangan wujudnya, sehingga berubah menjadi ‘adam idafi.

Berlainan dengan Ibnu Sina, Mustafa Mahmud, seorang cendekiawan Mesir, memandang bahwa ‘adam bukan tidak mempunyai hakikat sama sekali. Menurutnya, ‘adam ini berbeda dengan ma‘dum (tidak ada); sebenarnya ia mempunyai hakikat, ia merupakan suatu hadrat (peringkat) sebagaimana al‑Wujud (Tuhan), yang juga merupakan suatu hadrat, keduanya sama‑sama mempunyai hakikat, tetapi ‘adam merupakan hadrat negatif sedangkan al‑Wujud merupakan hadrat positif.

Dengan kata lain, ‘adam adalah hadrat yang menerima (qabilah), sedangkan al‑Wujud adalah hadrat yang berbuat (fa‘ilah). Keduanya seperti gelap dan terang atau di sisi lain seperti cermin dan matahari, yakni matahari tampak dalam cermin karena cermin dapat menerima pantulan matahari. Akan tetapi, menurut Mahmud, perumpamaan itu serba kurang karena belum ditemukan contoh yang lebih tepat selain itu.

Di antara hakikat yang terdapat dalam ketiadaan, ada yang ingin menyatakan diri dalam wujud dan ada pula yang tidak. Yang tidak menyatakan diri itu tinggal selamanya sebagai hakikat dalam ketiadaan, sedangkan yang menyatakan diri mendapatkan wujudnya dari rahmat Allah SWT dan dijadikan Allah SWT sebagai manifestasi dari nama‑Nya yang agung, yang mewujud sebagai alam semesta. Hakikat yang senantiasa ada dalam ’adam itu disebut ‘adam muthlaq dan yang mendapatkan wujud dari Tuhan disebut wujud imkan atau mumkin al‑wujud atau wujud idafa.

Daftar Pustaka

Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Daudi, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Madkur, Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tathabuquh. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1972.
Mahmud, Mustafa. Menghayati Wujud Allah antara Yang Ada dan Tiada, terj. Abu Bakar Basymeleh dan A. Samad Hamid. t.tp.: Media Idaman, 1987.

Yunasril Ali