Secara kebahasaan, adab berarti “kesopanan”, “tingkah laku yang pantas dan baik”, “kehalusan budi bahasa”, “tata susila”, dan “kesusastraan”. Bentuk jamaknya adalah al-Adab. Kata ini sudah dikenal pada masa pra-Islam, diperkirakan 150 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak zaman itu pengertian adab telah mengalami perkembangan.
Pada masa Jahiliah kata “adab” berarti “undangan makan”. Arti ini sudah jarang digunakan, kecuali pada kata ma’dubah dari akar kata yang sama dengan adab, yaitu adab. Kata ma’dubah berarti “jamuan atau hidangan”. Kata kerja atau verbanya adaba ya’dibu, yang berarti “menjamu atau menghidangkan makanan”. Artinya yang lain adalah akhlak yang baik atau budi pekerti mulia.
Pada masa permulaan Islam, kata adab selain berarti “akhlak yang baik”, juga berarti “pengajaran dan pendidikan yang baik”. Hal ini misalnya terlihat dalam ungkapan Nabi SAW: “Addabani rabbi fa ahsana ta’dibi” (Tuhanku telah mendidikku dengan sebaikbaiknya pendidikan).
Pada masa Abbasiyah kata adab berarti “semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan manusia”, dan “tata cara yang mesti diikuti dalam suatu disiplin ilmu atau suatu pekerjaan” atau “etiket” pada masa kini. Muncullah ungkapan adab al-katib (etiket penulis), adab al-mujalasah (etiket bergaul), adab al-kasb (etiket berusaha), adab al-bahs wa al-munazarah (tata cara berdiskusi). Selain itu kata “adab” juga dipakai untuk menunjukkan arti kefasihan dan kehalusan ucapan serta hafalan bait syair untuk memperindah pembicaraan.
Pada masa kebangkitan (nahdhah) bahasa dan sastra Arab semenjak permulaan abad ke-19 sampai kini, kata “adab” mempunyai arti umum dan arti khusus. Dalam arti umum adab adalah karya tulis yang dihasilkan para cendekiawan, pengarang, dan penyair. Adapun dalam arti khusus adab adalah ungkapan yang tersusun dalam gaya bahasa yang indah, dalam bentuk prosa atau pun puisi.
Dalam kitab hadis dan kitab lainnya tentang agama Islam, pengertian adab adalah etiket atau tata cara yang baik dalam melakukan suatu pekerjaan, baik ibadah maupun muamalah. Karena itu ulama menggariskan adab tertentu dalam melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan hadis.
Adab tertentu itu, misalnya, adab memberi salam, adab minta izin memasuki sebuah rumah, adab berjabatan tangan dan berpelukan, adab hendak tidur, adab bangun tidur, adab duduk, berbaring, dan berjalan, adab bersin dan menguap, adab makan dan minum, adab berzikir, adab masuk kakus, adab mandi, adab wudu, adab sebelum dan ketika melakukan salat, adab imam dan makmum, adab menuju masjid, adab di dalam masjid, adab Jumat, adab puasa, adab berkumpul, adab guru, dan adab murid.
Dalam kitab Minhaj al-Muslim (Metode Imam Muslim) karya Abu Bakar al-Jazairi, disebutkan 14 macam adab muslim terhadap Tuhan, Nabi Muhammad SAW, sesama manusia, dan terhadap diri sendiri. Adab tersebut adalah (1) adab berniat; (2) adab terhadap Tuhan; (3) adab terhadap Al-Qur’an; (4) adab terhadap Rasulullah SAW; (5) adab terhadap diri sendiri berupa tobat, muraqabah (kontrol), muhasabah (penghitungan), dan mujahadah (perjuangan); (6) adab terhadap sesama makhluk yang terdiri atas: adab kepada kedua orangtua, kepada anak, kepada saudara, adab suami-istri, adab kepada karib kerabat, adab kepada tetangga, adab kepada sesama muslim, adab kepada orang kafir, dan adab kepada binatang; (7) adab persaudaraan (ukhuwwah) karena Allah SWT, yakni cinta dan benci karena Allah SWT; (8) adab duduk dan menghadiri majelis pertemuan; (9) adab makan dan minum; (10) adab bertamu; (11) adab safar (bepergian); (12) adab berpakaian; (13) adab sifat fitrah; dan (14) adab tidur.
Menurut Imam al-Ghazali (450 H/1058 M–505 H/1111 M, adab adalah melatih diri secara lahir dan batin untuk mencapai kesucian, menjadi sufi. Adab itu menurutnya ada dua tingkatan: (1) adab khidmah, yaitu memandang ibadah yang diperbuatnya hanya semata-mata dengan izin dan anugerah Allah SWT kepadanya; dan (2) adab ahli hadrat al-uluhiyyah bagi ahli qurb (orang yang dekat dengan Tuhan), yaitu adab yang mereka lakukan mengikuti adab Rasulullah SAW secara lahir dan batin.
Sufi lain,Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi, menyebut tiga tingkatan manusia dalam melaksanakan adab: (1) ahli dunia, umumnya mahir dalam berbicara serta menghafal ilmu pengetahuan, nama raja, dan syair Arab; (2) ahli agama, melatih mental dan anggota tubuh, memelihara aturan hukum agama, dan meninggalkan syahwat; dan (3) ahli khususiah (orang khusus/orang tarekat yang telah mencapai tingkatan tertentu), umumnya membersihkan hati (qalb), memelihara kejernihan mata hati (sirr), menunaikan janji, memelihara waktu, sedikit saja memperhatikan dan menuruti suara hati sendiri, amat beradab ketika meminta, ingat kepada Allah SWT sepanjang waktu, dan selalu berada pada maqam qurb (dekat kepada-Nya).
Daftar Pustaka