Achmad Siddiq

(Jember, 24 Januari 1926 – Surabaya, 23 Januari 1991)

Ahmad Siddiq adalah seorang ulama, Rais Am Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) sejak 1985 hingga saat meninggalnya, dan pemimpin Pesantren as-Siddiqiyah di Jember sejak 1977. Ia terkenal cerdas, gemar membaca serta belajar sendiri, dan memiliki wawasan yang luas. Ia banyak meng­ amalkan tasawuf dan mengajarkan zikir sebagai salah satu bentuk ibadah.

KH Achmad Siddiq terpilih menjadi Rais Am Syuriah menggantikan KH Ali Maksum pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada Desember 1984. Jabatan ini kembali dipegangnya pada Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta 1989. Sebelum menjadi Rais Am Syuriah, KH Achmad Siddiq menjabat sebagai wakil ketua pimpinan NU Jawa Timur.

Ada dua sumbangan KH Achmad Siddiq yang sangat berharga bagi NU, yang keduanya tercermin dalam hasil keputusan muktamar di Situbondo: (1) penerimaan asas tunggal Pancasila oleh NU dan (2) kembalinya NU ke Khittah 1926 (tidak lagi berurusan dengan politik praktis).

KH Achmad Siddiq memegang peranan sangat penting dalam proses penerimaan asas tunggal Pancasila oleh NU. Ikrar yang dinyatakan NU dalam muktamarnya di Situbondo ini merupakan hasil pendekatan KH Achmad Siddiq terhadap ulama dalam Musyawarah Nasional­ NU 1983. Pada saat itu ia menyampaikan makalahnya tentang konsep penetapan Pancasila sebagai asas NU.

Menurutnya, Pancasila sama dengan Piagam Madinah, yakni suatu kesepakatan antara kaum muslimin di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW dan nonmuslim di Madinah untuk membangun masyarakat politik bersama. Ia berpendapat Pancasila adalah pilihan yang tepat bagi masyarakat Indonesia yang plural. Penerimaan Pancasila sebagai asas ini menurutnya sesuai dengan hukum Islam. Ia menandaskan bahwa penerimaan asas tunggal ini sepenuhnya karena motivasi agama, bukan politik.

Proses penerimaan asas tunggal Pancasila oleh NU itu sendiri tidaklah begitu lancar. Sejak awal KH Achmad Siddiq melontarkan ide tersebut, persoalan ini sudah mengundang kontroversi. Namun saat itu KH Achmad Siddiq berhasil meyakinkan ulama lainnya dengan argumentasi yang kuat. Ia juga didukung empat ulama besar NU, yakni KH As’ad Syamsul Arifin, KH Machrus Ali, KH Ali Maksum, dan KH Masykur.

Achmad Siddiq merupakan putra ke-16 dari 25 bersaudara anak KH Muhammad Siddiq, pendiri Pesantren as-Siddiqiyah. Ayahnya wafat ketika Achmad Siddiq berusia 9 tahun. Ia kemudian diasuh kakaknya, KH Mahfud Siddiq (ketua­ PB NU pada masa pendudukan Jepang). Di samping ayahnya, kakaknya ini diakuinya sebagai salah seorang yang mempengaruhi jalan kehidupan dan pemikirannya.

Begitu juga KH Hasy-im Asy’ari (pendiri NU dan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang), KH Wahid Hasyim (pembaru Pondok Pesantren Tebuireng), dan KH Abdul Hamid (ulama dari Pasuruan). Dalam hal politik, pemikirannya banyak dipengaruhi pemikiran Soekarno, Hatta, dan Syahrir. Namun di atas segalanya, ia mengakui bahwa dalam segala langkahnya ia selalu mencoba meneladani Nabi Muhammad SAW. Ini pula yang membuat nya menganalogikan asas tunggal Pancasila dengan Piagam Madinah yang diprakarsai Nabi SAW.

Kepemimpinan KH Achmad Siddiq terkenal luwes. Ia berhasil menjadi jembatan antara generasi tua dan generasi muda. Misalnya, ia menjadi stabilisator dalam perbedaan pendapat antara KH As’ad Syamsul Arifin  dan Abdurahman Wahid pada masa kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid. Ia juga menggalang kerjasama dengan organisasi di luar NU. Misalnya, pada 1989 ia melontarkan gagasan untuk meningkatkan dakwah bersama-sama dengan Muhammadiyah.

Tindakan ini merupakan hal yang istimewa karena selama hampir setengah abad NU tidak berhubungan dengan Muhammadiyah. Keadaan ini bisa dimengerti mengingat NU menganut paham Ahlusunah waljamaah dengan Mazhab Syafi‘i, sedangkan Muhammadiyah tidak menganut suatu mazhab tertentu dan bertujuan untuk memurnikan Islam dengan kembali kepada Al-Qur’an dan hadis.

Achmad Siddiq terjun ke dunia politik sejak berusia muda. Ketika usianya belum mencapai 20 tahun, ia telah menjadi koordinator GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) untuk wilayah Jember dan Besuki (1945). Kelompok ini berafiliasi pada Masyumi. Selanjutnya pada 1956 ia menjadi anggota DPR hasil Pemilu 1955 dari Fraksi NU.

Pada 1949–1952 ia menjadi sekretaris pribadi Menteri Agama, KH Abdul Wahid Hasyim. Ia kemudian mengundurkan diri dari politik dan terjun ke bidang dakwah, terutama di Jawa Timur. Selanjutnya KH Achmad Siddiq mengasuh pesantren yang ditinggalkan almarhum ayahnya dan aktif di NU.

Sebagaimana ulama NU lainnya yang mengamalkan­ tasawuf, KH Achmad Siddiq mengajarkan­ zikir sebagai salah satu bentuk ibadah. Ajarannya ini terdapat dalam kumpulan Zikr al-Gafilin (Pengingat Para Pelupa). KH Achmad Siddiq juga menulis buku Arah Perjuangan NU dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Ceramahnya dibukukan dengan judul Khittah Nahdhliya.

Ia meninggal karena sakit. Sesuai wasiatnya, ia dikebumikan di Dukuh Tambak, Kecamatan Mojo, Kediri. Kompleks makam ini merupakan makam para kiai yang rata-rata menganut tasawuf.

Daftar Pustaka

Abu Jihan, ed. NPP, NU, dan MI: Gejolak Wadah Politik Islam. Jakarta: Integritas Press, 1984.
Ma’shum, Saifullah. Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU. Bandung: Mizan bekerjasama Yayasan Saifuddin Zuhri, 1998.
PBNU. Khittah NU. Jakarta: Lajnah Ta’lif wa an‑Nasyr, 1985.
Thahir, Anas. Kebangkitan Umat Islam dan Peran NU di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu, 1980.
Yusuf, Slamet Effendi. Dinamika Kaum Santri. Jakarta: Rajawali, 1983.

Ade Armando