Tokoh ini adalah seorang kiai terkemuka, pendidik, ulama terpandang, wartawan, aktivis sosial-politik Nahdlatul Ulama, pejuang, dan pernah menjadi menteri Agama Republik Indonesia ke-9 dalam kurun waktu 1962–1967.
Saifuddin Zuhri adalah anak tertua dari pasangan Muhammad Zuhri dan Siti Saudatun dari delapan bersaudara. Muhammad Zuhri adalah seorang petani dan santri. Ia mengikuti profesi yang dilakukan orangtuanya sendiri, Haji Abdurrasyid. Sementara ibunya, Siti Saudatun, berasal dari keluarga santri yang menekuni profesi sebagai pengrajin dan pedagang batik.
Garis pekerjaan ini juga merupakan warisan dari Mas Amiri, kakek Saifuddin dari garis ibu. Walaupun berasal dari keluarga priayi dan bekerja sebagai pegawai gubernemen, Mas Amiri lebih menekuni profesinya sebagai pedagang batik.
Saifuddin Zuhri hanya sempat mengenyam pendidikan formal setingkat Sekolah Dasar (SD) pada Sekolah Rendah Ongko Loro Bumi Putera sampai kelas terakhir (kelas lima). Tetapi di wilayah Kauman, tempat tinggal Saifuddin, terdapat sejumlah pesantren dan banyak kiai sehingga suasana belajar terbentuk secara alamiah.
Karena itu, sejak masuk sekolah Ongko Loro, pagi hari Saifuddin pergi ke sekolah formal, sore hari belajar agama pada madrasah diniyah di Sekolah Arab, dan malam hari belajar mengaji. Guru mengaji pertama Saifuddin adalah ayahnya sendiri, kemudian para kiai di pesantren di sekitar tempat tinggalnya.
Karena suasana belajar di Kauman sangat intensif, Saifuddin mampu menyelesaikan pelajaran mengaji Al-Qur’an dan kitab seperti Safinah an-Najah, Ajurumiyyah, Qathr al-Gaits, dan Ta‘lim al-Muta‘allim pada usia sekitar 13 tahun. Ia belajar agama di Sekolah Arab selama tahun-tahun pertama bersekolah di SD kelas tiga SD.
Pada 1929, Saifuddin diterima di Madrasah al-Huda NU. Di sekolah terakhir ini, pelajaran bahasa Arab dan Jawa diberikan secara intensif sejak kelas III dan menjadi alat percakapan di lingkungan madrasah antarsesama murid dan guru. Bahasa Jawa diajarkan secara terpadu dengan sejarah Islam (tarikh) dan budi pekerti.
Sebagaimana madrasah lain, sekolah ini mengajarkan mata pelajaran standar, seperti Al-Qur’an, hadis, nahu-sharaf, fikih, akidah, tafsir, dan olahraga. Untuk memperkaya materi pelajarannya, madrasah ini juga membuka kursus bahasa Belanda dengan bayaran Rp1 per bulan. Karena mahal, Saifuddin hanya mengikuti kursus bahasa Belanda ini selama 6 bulan.
Lingkungan pesantren tidak hanya membuat Saifuddin mampu menguasai berbagai pengetahuan agama, tetapi juga akrab dengan berbagai keterampilan, seperti silat, pidato, bengkel sepeda, gunting rambut, menjahit, surat-menyurat, mengetik, dan stensil dengan bahan agar-agar.
Setelah tamat dari Madrasah al-Huda pada 1937, ketika berusia menjelang 18 tahun, Saifuddin melanjutkan pendidikan di Manba’ul Ulum Solo. Madrasah ini menyelenggarakan pendidikan yang menggabungkan berbagai tingkat pendidikan, mulai dari tingkat Ibtidaiyah (5 tahun), Tsanawiyah (3 tahun), dan Aliyah (3 tahun).
Saifuddin diterima di madrasah ini pada kelas VIII. Tetapi Saifuddin hanya bertahan selama 5 minggu, kemudian pindah dan diterima di kelas III pada Madrasah Salafiyah, sebuah madrasah modern yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar.
Sekitar sebulan mengikuti pelajaran pada Madrasah Salafiyah, Saifuddin pindah dan diterima sebagai siswa kelas IV pada Madrasah al-Islam. Pada sekolah ini Sai-fuddin memperoleh ijazah Tsanawiyah.
Selama pengembaraan ke Solo sekitar setahun, Saifuddin memperoleh kesempatan bersinggungan dengan berbagai tradisi pemikiran dan gagasan luas, misalnya mengikuti kursus jurnalistik, verkoper (salesmanship), kegiatan tablig Muhammadiyah, ceramah pastor serta pendeta, perkumpulan kebatinan, dan pendalaman beberapa kitab kuning pada sejumlah kiai.
Kiprah keilmuan Saifuddin mulai pada 1936, ketika ia masuk kelas V pada Madrasah al-Huda. Kiprah itu semakin meluas ketika ia berusia 17 tahun. Karena gemar membaca dan terampil dalam tulis-menulis, Saifuddin kemudian diterima sebagai koresponden harian Pemandangan serta Hong Po yang terbit di Jakarta dan Antara.
Di samping rajin menulis di majalah Pesat (terbit di Jakarta) yang dipimpin Sayuti Melik dan S.K. Trimurti, Saifuddin juga tercatat sebagai pembantu tetap majalah Berita Nahdlatul Ulama dan Suara Ansor (terbit di Surabaya).
Saifuddin pulang kembali ke Sokaraja selepas memperoleh ijazah Tsanawiyah dari Madrasah al-Islam di Solo. Di kampungnya, Saifuddin mendirikan Islamitisch Westerse School (IWS), yang kemudian berada di bawah naungan NU.
Saifuddin juga mendirikan Kulliyatul Muballighin (sekolah dakwah) dan Kulliyatul Mu’allimin (sekolah keguruan). Pada 19 September 1941, saat berusia menginjak 22 tahun, Saifuddin menyunting Mien Saifuddin.
Dunia keilmuan yang ditekuni Saifuddin memudahkannya untuk aktif dan mengenal tokoh pergerakan nasional, seperti H.O.S. Tjokroaminoto. Akan tetapi, sebagai anak yang lahir dalam tradisi NU, aktivitas Saifuddin pada perkembangan selanjutnya lebih dekat ke NU.
Ia berhubungan akrab dengan Raden Haji Mukhtar, seorang tokoh NU dengan peran serba lengkap: anggota Regentschaap Raad (DPR kabupaten); pendamping Kiai Raden Haji Rifa’i (guru Tarekat Naqsyabandiyah); dan konsul (koordinator cabang) NU untuk Banyumas, Kedu, dan Yogyakarta.
Keterampilannya menulis dan aktivitasnya di NU menarik perhatian KH Wahid Hasyim, yang pada saat itu menjadi ketua Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Pada 1939, Wahid Hasyim menyurati Saifuddin agar mengirimkan tulisannya ke majalah Suluh Nahdlatul Ulama yang diasuh Wahid Hasyim.
Komunikasi surat-menyurat ini membuat hubungan kedua tokoh muda NU ini semakin akrab, bahkan Wahid Hasyim juga memperkenalkan Saifuddin kepada KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan KH Wahab Hasbullah (pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang).
Oktober 1943, ketika Masyumi berdiri menggantikan MIAI, Wahid Hasyim sebagai anggota legislatif sekali lagi meminta Saifuddin menjadi pemimpin redaksi majalah Suara Muslimin.
Sebagai anak zamannya, Saifuddin juga terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Ia aktif menjadi komandan Hizbullah Divisi Sultan Agung di Kedu, Jawa Tengah, sampai Jepang menyerah. Selama revolusi fisik dan tahun-tahun setelah itu, Saifuddin memegang begitu banyak jabatan.
Di samping menjadi konsul NU, Saifuddin juga menjadi anggota Dewan Pertahanan Daerah Kedu (1946–1947), penasihat militer Gubernur Militer Daerah Jawa Tengah (1947–1949), anggota DPRD Kotapraja Semarang, anggota DPRD Propinsi Jawa Tengah, dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat.
Karena sangat sibuk, Saifuddin enggan memenuhi permintaan H M. Rasjidi, menteri Agama pada saat itu, untuk menjadi pegawai Departemen Agama. Namun Rasjidi memaksanya dan sejak itu Saifuddin menjadi pegawai Departemen Agama golongan IV/C dengan pangkat komisi kepala (1946).
Meskipun tidak pernah datang ke kantor, pada 1949 KH Faqih Usman, menteri Agama selanjutnya, mengangkatnya sebagai kepala Jawatan Agama Propinsi Jawa Tengah.
Pada 1951, ketika Saifuddin masih menjabat kepala Jawatan Agama Propinsi Jawa Tengah di Semarang, PBNU mempercayai Saifuddin sebagai ketua Bidang Dakwah NU Jawa Tengah.
Reputasinya semakin menanjak, terutama setelah Wahid Hasyim wafat pada 19 April 1953. Saifuddin dipercaya sebagai sekjen PBNU, kemudian sebagai anggota Parlemen RI Sementara, hasil Pemilu 1955, anggota Konstituante, anggota DPRGR serta DPA era Demokrasi Terpimpin, dan anggota Badan Pekerja Depernas.
Pada 1 Desember 1960, ia masih sempat meluangkan waktu menjadi pemimpin umum dan redaksi harian umum milik NU, Duta Masyarakat. Pada 2 Maret 1962, Saifuddin diangkat Presiden Soekarno menjadi menteri Agama RI (1962–1967). Karena itu ia secara resmi diberhentikan Muktamar NU di Surakarta pada 24–29 Desember 1962 dari jabatannya sebagai sekjen PBNU.
Saifuddin menjadi menteri Agama dalam suasana sosial-politik yang diliputi persaingan pengaruh yang sengit antara tiga kekuatan yang memiliki perbedaan orientasi ideologis: nasionalis, agama, dan komunis. Saifuddin mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 1/1963 tentang Tugas, Fungsi, dan Susunan Departemen Agama.
Berdasarkan peraturan itu, kemudian perincian tugas Departemen Agama dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 47/1963. Secara garis besar, tugas yang tertuang dalam peraturan tersebut mencakup bidang sosial, politik, dan budaya.
Tetapi, di antara tugasnya sebagai pembantu presiden, Saifuddin juga melakukan kerja monumental, antara lain peresmian gedung baru Departemen Agama, penerjemahan dan penerbitan Al-Qur’an, pemantapan dan pengembangan kehidupan beragama, pendidikan agama tingkat dasar (termasuk pondok pesantren), dan pengembangan pendidikan agama tingkat tinggi.
Untuk pendidikan tingkat tinggi, pada akhir jabatannya Saifuddin berhasil mengembangkan sembilan IAIN di sembilan propinsi: Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, Banda Aceh, Ujungpandang, Banjarmasin, Padang, Palembang, dan Jambi. Sebelumnya hanya ada sebuah IAIN (yaitu IAIN Yogyakarta, dengan cabang dua fakultas di Jakarta dan satu fakultas di Kutaraja/Banda Aceh).
Sebagai tokoh agama sekaligus politik, Saifuddin juga menangani persoalan pelik yang muncul pada saat itu. Di samping harus berhadapan dengan kegiatan intensif kristenisasi, Saifuddin juga merasa terpanggil untuk membela kepentingan umat Islam.
Misalnya, Saifuddin terpanggil membela Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ketika Presiden Soekarno berniat membubarkan organisasi mahasiswa itu karena pengaruh dan tekanan politik PKI.