Kerajaan Islam yang berdiri pada 1514 di ujung utara Pulau Sumatera adalah Kesultanan Aceh. Pada awal berdiri, wilayahnya meliputi Aceh Besar dan Daya. Kerajaan ini didirikan (1514) oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Pada 1521 wilayahnya sampai ke Pidie, dan 1524 ke Pasai serta Aru, kemudian ke Perlak, Tamiang, dan Lamuri. Kesultanan Aceh juga disebut Aceh Darussalam.
Ada beberapa versi lain mengenai terbentuknya Aceh Darussalam. Menurut Hikayat Aceh, Aceh Darussalam adalah persatuan dua kerajaan yang masing-masing diperintah Sul-tan Muzaffar Syah (Pidie) dan Raja Inayat Syah (Aceh Besar), dua orang bersaudara. Perang pecah antara keduanya, dan dimenangkan Muzaffar Syah. Dia menyatukan kedua kerajaan itu dengan nama Aceh Darussalam.
Ada pula yang menyebutkan bahwa Kerajaan Darussalam adalah kerajaan Islam di Indra Purba, Lamuri, yang diperintah oleh Sultan Alaiddin Johan Syah pada 601 H/1205 M–603 H/1207 M. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Kesultanan Aceh sebagai kesatuan dibentuk Sultan Husain Syah yang memerintah Aceh Darussalam pada 870 H/1465 M–885 H/1480 M, dan merupakan persatuan dari enam kerajaan: Kerajaan Perlak, Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Teumiang, Kerajaan Pidie (Syahir Poli dan Sama Indra), Kerajaan Indra Purba, dan Kerajaan Indra Jaya.
Kitab Bustan as-Salatin, kitab kronik raja-raja Aceh, menyebut Sultan Ali Mughayat Syah sebagai raja atau sultan Aceh yang pertama. Ia mendirikan Kesultanan Aceh sebagai pengganti beberapa kerajaan Islam sebelumnya, seperti Pasai, dan kemudian Malaka yang jatuh ke tangan orang Portugis pada 1511, dan mempersatukan dua kerajaan kecil, yakni Mahkota Alam dan Darul Kamal. Pusat kesultanan adalah Banda Aceh Darussalam, yang juga disebut Kuta Raja.
Banda Aceh sebagai bandar niaga tidak terlalu ideal untuk pelabuhan kapal besar pada abad ke-16 itu. Pelabuhannya sukar dirapati kapal besar karena ombak besar Samudera Hindia. Banda Aceh mulai ramai didatangi para pedagang muslim setelah Malaka jatuh ke tangan orang Portugis. Selain pedagang Portugis, banyak pedagang asing meramaikan pelabuhan Banda Aceh sehingga Kesultanan Aceh mendapat banyak keuntungan.
Pada 1521 Kesultanan Aceh diserang armada Portugis yang dipimpin Jorge D. Brito, tetapi dapat dikalahkan oleh Sultan Ali Mughayat Syah (w. 5 Agustus 1530). Kesultanan Aceh sepeninggal Ali Mughayat Syah diperintah oleh putra sulungnya, Sultan Salahuddin. Pada masanya pernah dilancarkan serangan ke Malaka pada 1537, tetapi gagal.
Sultan Salahuddin bersikap lunak dan memberi peluang kepada misionaris Portugis untuk bekerja di tengah orang Batak di daerah pantai timur Sumatera. Ia juga dipandang kurang memperhatikan urusan pemerintahan. Ia kemudian digantikan saudaranya, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar, pada 1538.
Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin al-Qahhar, Kesultanan Aceh menyerang Malaka sebanyak dua kali, yaitu pada 1547 dan 1568. Menurut musafir Portugis, Mendez Pinto, pasukan Aceh kala itu memiliki tentara dari berbagai negara, antara lain Turki, Cambay, dan Malabar. Sultan juga mengirim utusan diplomatik ke luar negeri, seperti pada 1562 ke Istanbul untuk membeli meriam dari sultan Turki.
Ia pun mendatangkan ulama dari India dan Persia untuk mengajarkan ajaran Islam, membawa pendakwah dan ulama ke pedalaman Sumatera, mendirikan pusat Islam di Ulakan, dan membawa Islam ke Minangkabau dan Indrapura. Sultan al-Qahhar wafat pada tanggal 28 September 1571.
Sepeninggal Sultan al-Qahhar, Kesultanan Aceh dilanda kemelut berlarut-larut akibat perebutan takhta kekuasaan. Pernah hanya dalam 3 bulan berturut turut terjadi pelantikan. Pernah hanya dalam 3 bulan berturut turut terjadi pelantikan dan pemakzulan tiga sultan. Bahkan sultan terakhir dalam kemelut itu, yaitu Sultan Zainul Abidin, mati terbunuh pada 5 Oktober 1579.
Kesultanan Aceh menjadi stabil kembali setelah Sultan Alauddin Riayat Syah Sayid al-Mukammal, yang lebih dikenal dengan nama Sayid al-Mukammal, naik takhta pada 1589 dan memerintah sampai tahun 1604. Setelah itu Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Ali Riayat Syah (April 1604–April 1607), kemudian oleh Sultan Iskandar Muda (1607–1636), yang setelah wafat digelari Marhum Makuta (Mahkota) Alam.
Pada masa pemerintahan Iskandar Muda, Aceh mencapai puncak kemakmuran dan kejayaannya. Aceh memperluas wilayahnya ke arah selatan dan memperoleh kemajuan ekonomi melalui sistem monopoli perdagangan di pesisir Sumatera Barat sampai Indrapura. Aceh menjadikan Pariaman bandar terpenting untuk perdagangan lada di pesisir Sumatera Barat.
Sultan Iskandar Muda meneruskan perlawanan terhadap orang Portugis dan Johor dengan tujuan menguasai Selat Malaka dan daerah penghasil lada. Ekspedisi Iskandar Muda dengan sejumlah besar armada kapal perang ke Pahang dan Malaka merupakan kisah kepahlawanan yang dibanggakan rakyat Aceh, sekalipun ekspedisi ke Malaka pada 1629 tidak berhasil mengusir orang Portugis.
Penaklukan pada masa Iskandar Muda meliputi Aru, Pahang pada 1618, Kedah pada 1619, Perak pada 1620, dan kemudian Indragiri dan Batu Sawar, ibukota Johor. Sultan Iskandar Muda menolak permintaan Inggris dan Belanda yang ingin membeli lada di pesisir Sumatera Barat. Pada masa Iskandar Muda, Aceh memiliki bendera resmi yang berwarna merah; pada bagian atasnya terdapat gambar bintang bersudut lima yang mengapit bulan sabit, dan di bawahnya terdapat gambar pedang.
Adapun lambang kerajaan adalah stempel sultan yang bercap halilintar dan keris milik raja. Kesultanan Aceh menjalin hubungan dengan Kesultanan Usmani Turki (Ottoman), dengan menerima utusan resmi Sultan Ahmad I (1012 H/1603 M–1026 H/1617 M) yang terdiri atas perwira tinggi, antara lain Celebi Ahmad, Celebi Ridwan, dan nakhoda Yakut Istanbul.
Sultan Iskandar Muda menjalin hubungan kekerabatan dengan Pahang dengan cara menikahkan putrinya yang bernama Safiatuddin dengan putra Sultan Ahmad Syah, sultan Pahang, yang setelah menjadi sultan bergelar Sultan Iskandar Sani. Ia juga memperhatikan pengembangan agama Islam dengan mendirikan masjid, seperti Masjid Baiturrahman yang megah di Banda Aceh, dan pusat pendidikan Islam atau dayah. Ia membangun Taman Ghairah (Dar al-Isyq) sebagai tempat hiburan bagi istri dan keluarganya di sekitar bangunan yang bernama Gunongan di Banda Aceh.
Pada masanya juga disusun sistem perundang-undangan yang disebut Adat Mahkota Alam, yang berlaku hingga beberapa generasi sesudahnya dan dijadikan bahan acuan dalam penyusunan sistem perundang-undangan beberapa kerajaan tetangga.
Diceritakan pula bahwa Sultan Iskandar Muda menerapkan hukum Islam dengan tegas, bahkan menghukum rajam putranya sendiri, Meurah Pupok, karena berzina dengan istri seorang perwira. Ketika dicegah oleh penasihatnya, ia berkata, “Mati anak ada makamnya, mati hukum ke mana lagi akan dicari keadilan.” Pada masa ini terkenal ulama Syamsuddin as-Sumatrani, ulama dan mistikus besar pengikut Hamzah Fansuri.
Pada 1636–1641 Kesultanan Aceh dipimpin menantu Sultan Iskandar Muda, Sultan Iskandar Sani. Ada kalangan yang tidak menyetujui pengangkatan Sultan Iskandar Sani karena ia berasal dari Pahang, Semenanjung Malaka. Ia diangkat berdasarkan wasiat Sultan Iskandar Muda agar hubungan antara Aceh dan daerah taklukannya di Semenanjung Malaka tetap baik.
Pada masa Iskandar Sani, seorang ulama yang berasal dari Gujarat, yaitu Syekh Nuruddin ar-Raniri, bermukim di Aceh. Ulama ini menulis kitab as-Sirat al-Mustaqim mengenai ibadah dalam Islam, dan atas permintaan sultan ia menulis kitab Bustan as-Salatin.
Setelah Iskandar Sani wafat, Kesultanan Aceh secara berturut-turut diperintah oleh empat sultanah (sultan wanita). Yang pertama adalah Sultanah (Ratu) Safiatuddin Tajul Alam, putri Iskandar Muda dan janda Iskandar Sani, memerintah pada 1641–1675.
Pada awal pemerintahannya, kegemilangan Aceh di bidang politik, ekonomi, dan militer mulai menurun karena ketidaksenangan sebagian orang kepada pemimpin wanita, dan karena meningkatnya kekuasaan para uluébalang. Urusan yang memerlukan wali hakim atau imam salat sepenuhnya diserahkan kepada Kali Malikon Ade (Qadi Malik al-‘Adil) atau hakim agung sultan. Di masanya ar-Raniri meninggalkan Aceh. Tak lama kemudian kedudukannya sebagai ulama besar kerajaan digantikan oleh Abdur Rauf dari Singkel (Abdur Rauf Singkel).
Ulama ini dikenal dalam sejarah Aceh sebagai Teungku Syiah Kuala. Atas permintaan ratu, Abdur Rauf Singkel menulis kitab Mir’at at-Tullab fi Tahsil Ma‘rifat Ahkam asy-Syar‘iyyah li al-Malik al-Wahhab (Cermin bagi Mereka yang Menuntut Ilmu Fikih pada Memudahkan Mengenal segala Hukum Syara Allah) pada 1663.
Ratu juga menggalakkan pendidikan agama Islam melalui Jamiah Baiturrahman di Banda Aceh dan mengirim kitab karangan ulama Aceh dan Al-Qur’an kepada raja Ternate, Tidore, dan Bacan di Maluku, di samping kepada guru agama dan mubalig.
Sultanah berikutnya adalah Sri Ratu Naqiyatuddin Nurul Alam, kemudian Inayat Syah, dan terakhir Kamalat Syah. Pemerintahan sultanah akhirnya tidak diteruskan karena adanya fatwa dari Mekah bahwa syariat melarang wanita untuk memerintah negara (1699).
Kesultanan Aceh pada permulaan abad ke-18 mengalami serangkaian perebutan takhta. Beberapa sultan yang saling bersaing adalah golongan Sayid, keturunan Fatimah binti Muhammad SAW, yang lahir di Aceh. Dari Sayid yang menjadi sultan antara lain adalah Jamalul Alam Badrul Munir, yang memerintah pada 1703–1726.
Sultan ini dijatuhkan pada 1726, dan setelah itu melancarkan perlawanan terhadap sultan sesudahnya, termasuk Sultan Ahmad Syah (1727–1735) dan putranya, Sultan Juhan (1735–1760). Jamalul Alam akhirnya meninggal dalam pertarungan melawan Sultan Juhan.
Pada masa Sultan Juhan ini, pada 1740 seorang ulama bernama Syekh Muhammad Kamaluddin bin Kadi Khatib Tursani menulis kitab Safinah al-Hukkam fi Takhlis al-Khassam (Bahtera segala Hukum pada Menyelesaikan segala Orang yang Berkesumat).
Pada 1816 Sultan Saiful Alam bertikai dengan Jawharul Alam Aminuddin, yang dapat memenangkan perebutan kekuasaan dan menjadi sultan Aceh dengan bantuan Inggris. Setelah itu Aceh mengikat perjanjian dengan Inggris yang diwakili Thomas Stamford Raffles untuk memberikan kesempatan berdagang bagi Inggris di Kesultanan Aceh, dan Inggris memberikan jaminan keamanan dan perlindungan bagi Aceh.
Perjanjian ini dibuat pada 22 April 1818. Pada 17 Maret 1824 Inggris dan Belanda membuat perjanjian di London yang antara lain berisi penghormatan kedaulatan Aceh oleh pihak Belanda.
Pada 2 November 1871 dibuat perjanjian baru, Traktat Sumatera, antara Belanda dan Inggris dengan membatalkan Perjanjian (Traktat) London. Perjanjian baru ini memberi kebebasan bagi Inggris untuk mengembangkan kekuasaan di Malaya, dan bagi Belanda memperluas kekuasaannya di Sumatera.
Kesultanan Aceh dituduh Belanda melindungi bajak laut dan perdagangan budak, mengancam keselamatan pedagang dari luar yang ingin membeli lada di pesisir Aceh, dan armadanya sering menyerang negeri tetangga. Dengan alasan ini Belanda melanggar kedaulatan Aceh dengan menyerbu ibukota Kesultanan Aceh pada 1873, menduduki Banda Aceh dan kota pantai lainnya.
Pada Januari 1874, istana Kesultanan Aceh dapat direbut Belanda, tetapi Sultan Aceh, Sultan Mahmud Syah, dapat meloloskan diri bersama Panglima Polem. Sultan kemudian meninggal karena sakit, dan perjuangan melawan Belanda diteruskan para panglimanya dan rakyat Aceh sampai tahun 1903.
Pada 1874 itu Belanda menyatakan Aceh dan daerah taklukannya menjadi milik pemerintah Hindia Belanda. Sekalipun Kesultanan Aceh dihapuskan Belanda, rakyat Aceh setelah itu masih memiliki seorang sultan, yaitu Sultan Muhammad Daud Syah, yang dinobatkan di Masjid Indrapuri pada 1878. Ia tertangkap pada 1903, kemudian dibuang ke Ambon pada 1907, dan wafat pada 1939.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. Islam di Indonesia Sepintas Lalu tentang Beberapa Segi. Jakarta: Tinta Mas, 1974.
Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Gobee, E. dan C. Andriaanse. Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889–1936, terj. INIS. Jakarta: INIS, 1990.
Hasjmi, A., ed. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: al-Ma’arif, 1989.
Ismuha. “Ulama Aceh dalam Perspektif Sejarah,” Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Pers, 1983.
Team Penyusun. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Ujung Pandang: Binperta IAIN Alauddin, 1983/1984.
M Rusydi Khalid