Abd berarti “hamba sahaya” atau “budak”. Islam memerintahkan untuk memerdekakan hamba sahaya atau budak belian. Dalam Al-Qur’an, kata ‘abd disebut 27 kali dengan berbagai makna; dalam bentuk jamak, ‘ibad, tidak kurang dari 93 kali; dan banyak lagi dalam bentuk kata kerja (fi’l) yang menunjuk arti “penghambaan manusia kepada Allah SWT sebagai Khalik”.
Selain kata ‘abd, dalam bahasa Arab digunakan pula kata amat (hamba perempuan), raqabah, jariyah, riqab, dan aiman. Istilah ‘abd atau ‘ibad menunjukkan bahwa seluruh umat manusia di hadapan Allah SWT adalah hamba Allah SWT yang tunduk, patuh, dan taat kepada perintah dan laranganNya. Pada umumnya dikatakan bahwa manusia (dan jin) diciptakan oleh Allah SWT untuk beribadah (QS.51:56).
Hubungan antara hamba dan Khaliknya antara lain terlihat dalam surah al-Kahfi (18) ayat 1 yang berarti: “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya”, surah az-Zumar (39) ayat 36 yang berarti: “Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya. Dan mereka menakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah? Dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak seorang pun pemberi petunjuk baginya” (demikian pula dalam ayat 10 dan 16–17), surah al-Anbiya’ (21) ayat 105 yang berarti: “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh”, dan surah al-Baqarah (2) ayat 186 yang berarti: “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” Hal itu terlihat pula dalam surah al-A’raf (7) ayat 68 dan surah al-Isra’ (17) ayat 65.
Secara khusus kata ‘abd menunjuk pada nabi sebagai hamba Allah SWT, sebagaimana ditegaskan Allah SWT antara lain dalam surah Maryam (19) ayat 30 yang berarti: “Berkata Isa, ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi’.” Selain itu hal ini dinyatakan pula dalam surah az-Zukhruf (43) ayat 59, surah al-Jinn (72) ayat 19, surah an-Nisa’ (4) ayat 172, surah an-Nahl (16) ayat 75, surah al-Kahfi (18) ayat 65, surah al-Isra’ (17) ayat 1 dan 3, dan surah Sad 38) ayat 30 dan 44.
‘Abd dalam arti semua umat manusia, baik nabi maupun rasul, berkewajiban tunduk dan patuh menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Semua berkewajiban amar makruf (mengajak kebaikan), nahi mungkar (mencegah kemungkaran), dan mengajak beriman kepada Allah SWT (QS.3:104 dan 110).
‘Abd atau hamba dipandang sebagai orang yang tidak memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Allah SWT berfirman dalam surah an-Nahl (16) ayat 75 yang berarti: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun….”
Karena itu para ulama memandang ‘abd (hamba sahaya) sebagai penghalang dalam hal waris (mani al-irs). Menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama dalam satu hadis yang masih diperselisihkan kesahihannya, hamba yang dimiliki tidak wajib melakukan salat Jumat karena salat itu hanya diwajibkan bagi orang laki-laki yang merdeka (hurr). Namun Abu Dawud dan sahabatnya mewajibkan ‘abd melakukan salat Jumat. Pada masalah lain nilai hukum ‘abd dihitung separuh dibanding dengan orang merdeka, seperti dalam masalah kisas dan persaksian (syahadah).
Islam sangat menganjurkan agar ‘Abd dibebaskan karena Islam memandang pembedaan status hukum terhadap mereka tidak adil. Adapun pembebasan ‘abd antara lain dilakukan sebagai kafarat sumpah, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 89 yang berarti:
“…maka kafarat sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak….”
Memerdekakan seorang budak dilakukan sebagai sanksi hukum pelaku pembunuhan khilaf yang membunuh seorang mukmin atau seorang musuh tetapi mukmin (QS.4:92); dan sebagai kafarat zihar (suami yang mengucapkan bahwa [punggung] istrinya seperti punggung ibunya), yang harus dipenuhi sebelum kedua suami istri itu berhubungan intim (QS.58:3).
Pembebasan ‘abd juga dilakukan sebagai motivasi hukum yang sangat kuat dari Nabi SAW, yaitu bahwa orang yang memerdekakan hamba sahaya (mu‘tiq/mu‘tiqah) dapat menerima hak wala’ (warisan) dari hamba sahaya yang dimerdekakan. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari dari Aisyah binti Abu Bakar, Aisyah bertanya kepada Nabi SAW setelah ia membeli budak bernama Barirah untuk dimerdekakan, sementara keluarganya menuntut hak wala’ (warisan) dari Barirah. Nabi SAW bersabda, “Hak wala’ itu hanya untuk orang yang memerdekakan (hamba sahaya).” Artinya, baik laki-laki (mu‘tiq) maupun perempuan (mu‘tiqah) mempunyai hak wala’ terhadap harta peninggalan hamba yang dimerdekakannya. Selain itu pembebasan ‘abd dilakukan sebagai salah satu ketentuan dalam pembagian zakat (QS.9:60).
Ada tiga cara memerdekakan ‘abd atau hamba sahaya. Pertama, membeli atau menyerahkan sejumlah uang (yang disepakati) kepada pemilik semula. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Imam Bukhari dari Aisyah: “Merdekakanlah ia (hamba), maka hak wala’ itu hanyalah untuk orang yang memerdekakannya, atau beliau bersabda, ‘Berikanlah harganya’.”
Kedua, hamba sahaya membeli dirinya sendiri, baik secara kontan, cicilan, maupun dengan tenaga. Hamba semacam ini disebut hamba mukatab. Pemilik hamba, menurut Mazhab az-Zahiri, wajib melakukan cara mukatab ini. Pendapat ini didasarkan pada perintah Allah SWT dalam surah an-Nur (24) ayat 33 yang berarti:
“Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka….”
Sementara para fukaha (ahli fikih) Amsar dan jumhur ulama memandang cara ini sebagai mandub atau sunah. Ketiga, melakukan tadbir (perencanaan) yang pelaksanaannya mirip dengan wasiat, misalnya dengan kalimat: “Engkau merdeka jika aku meninggal.” Budak yang menerima tadbir disebut budak mudabbar. Kalimat tadbir seperti ini dapat dikategorikan sebagai akad perjanjian dan karena itu wajib dipenuhi. Hal ini berdasarkan perintah Allah SWT dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 1 yang berarti: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu….” Para ulama memandang cara ketiga ini sebagai jawaz atau mubah (boleh).
Selain itu Allah SWT memerintahkan agar memperlakukan hamba sahaya dengan baik, sebagaimana ditegaskan dalam surah an-Nur (24) ayat 33 yang berarti:
“…dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakanNya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).”
Daftar Pustaka
al-Ansari, Abi Yahya Zakariya. Fath Al-Wahhab bi Syarh Manhaj at-Tullab. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Cairo: Syarikah Mak-tabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986.
Thabathaba’i. al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Mu’asasah al-A‘la, 1973.
Ahmad Rofiq