Jalaluddin ar-Rumi adalah seorang penyair sufi terbesar dari Persia (Iran). Ia menganut paham wahdah al-wujud dan peletak dasar teori kefanaan. Nama lengkapnya Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi, atau menurut HAMKA, Jalaluddin Muhammad bin Muhammad bin Husin al-Khatihbi al-Bakri.
Ar-Rumi menghabiskan sebagian besar hidupnya di Konya (kini di Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma), sehingga ia lebih dikenal dengan nama Jalaluddin ar-Rumi. Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husin, pada 609 H/1213 M membawa ar-Rumi meninggalkan Balkh (kini di Afghanistan) dan hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Keluarga ini pernah tinggal di Nisabur (Iran timur laut), Baghdad, Mekah, Malatya (Turki), Laranda (Kirman, Iran tenggara) dan terakhir Konya. Ketika itu Konya merupakan ibukota Dinasti Seljuk di Asia Kecil. Di sini ayah-nya meninggal pada 628 H/1231 M.
Pendidikan pertama ar-Rumi diperolehnya dari ayahnya sendiri, seorang tokoh dan ahli agama Islam penganut Mazhab Hanafi. Kemudian ia belajar pada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmuzi, seorang tokoh dan sahabat ayahnya. Ia juga menimba ilmu pengetahuan beberapa waktu di Syam (Suriah) atas saran gurunya tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, ar-Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping se-bagai guru, ia juga menjadi dai dan ahli hukum Islam (fakih). Baru pada 652 H/1254 M ia mulai mengubah jalan hidupnya ke arah kehidupan sufi, setelah ia bertemu dengan seorang penyair sufi pengelana, Syamsuddin at-Tabrizi. Ia sangat terpengaruh oleh
sufi itu, sehingga ia meninggalkan pekerjaannya sebagai guru dan mulai menggubah puisi serta memasuki kehidupan sufi. Ia menulis sebuah buku yang diberi judul Diwan Shams-i Tabriz sebagai kenangan akan gurunya tersebut.
Kebesaran Jalaluddin ar-Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuannya mengungkapkan perasaannya dalam bentuk puisi yang sangat indah dan memiliki makna mistis yang sangat dalam sehingga ia mengungguli penyair sufi yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya.
Lirik puisinya banyak diliputi perasaan cinta yang dalam kepada Tuhan. Di samping itu, puisinya juga mengandung filsafat dan gambaran tentang inti tasawuf yang dianutnya. Tasawufnya didasarkan pada paham wahdah al-wujud (penyatuan wujud), namun konsep ar-Rumi tidak sama dengan konsep Ibnu Arabi mengenai wahdah al-wujud.
Bagi Ibnu Arabi, Tuhan (Yang Maha Benar) memang bersatu dengan makhluk, dan Allah dipandang sebagai segala sesuatu itu sendiri. Adapun bagi ar-Rumi, Tuhan adalah Wujud Yang Meliputi. Keyakinan ini tidak selalu merupakan keyakinan terhadap kesatuan wujud yang menyatakan bahwa segala sesuatu itu adalah Allah atau bahwa Allah adalah segala sesuatu.
Inti ajaran tasawuf ar-Rumi, di samping termuat dalam Diwan Shams-i Tabriz, paling banyak dimuat dalam sebuah karya besarnya yang terkenal, al-Masnawi. Buku ini, yang terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair, berpengaruh besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya. Banyak komentar terhadap buku ini yang ditulis oleh para ahli dalam berbagai bahasa, seperti Persia, Turki, dan Arab.
Al-Masnawi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sepertiga volume pertama diterjemahkan ke bahasa Jerman 1849, diterbitkan di Leipzig dan dicetak ulang 1913.
Terjemahan ke bahasa Inggris (oleh Sir James Redhouse) pertama kali diterbitkan 1881. Kemudian sebanyak 3.500 baris puisi pilihan dari al-Masnawi diterjemahkan lagi (oleh Whinfield) ke dalam bahasa Inggris. Terjemahan puisi pilihan ini (terbit di London 1887) ternyata mendapat perhatian besar dari masyarakat sehingga tahun itu juga dicetak ulang.
Volume kedua diterjemahkan (oleh Wilson) dan diterbitkan di London 1910. Reynold Alleyne Nicholson bekerja selama 25 tahun untuk menerjemahkan buku ini dan melengkapinya dengan uraian dan komentar. Hasilnya diterbitkan 1925–1950. A.J. Arberry, salah seorang murid Reynold Alleyne Nicholson, menerjemahkan sejumlah kisah pilihan yang diterbitkan di London 1961.
Di samping sebagai penyair sufi yang menganut paham wahdatul wujud, ar-Rumi juga merupakan peletak dasar teori kefanaan, pengantar kepada paham tersebut. Pen dapatnya tentang kefanaan tergambar antara lain dari ungkapannya sebagai berikut:
“Apakah arti ilmu tauhid? Hendaklah kau bakar dirimu di hadapan Yang Maha Esa. Seandainya kau ingini cemerlang bagai siang hari, bakarlah eksistensimu (yang gelap) seperti malam; dan luluhkan wujudmu dalam Wujud Pemelihara Wujud, seperti luluhnya tembaga dalam adonannya. Dengan begitulah kau bisa mengendalikan genggamanmu atas ‘Aku’ dan ‘Kita’, di mana semua kehancuran ini tidak lain timbul dari dualisme.”
Suasana pada saat sedang fana digambarkan oleh ar-Rumi sebagai berikut:
“Nuh berkata kepada bangsanya, Aku bukanlah aku. Aku bukanlah tiada lain Tuhan itu sendiri. Apabila ke-akuan lenyap dari identitas insan, tinggallah Tuhan yang bicara, mendengar, dan memahami. Apabila Aku bukanlah aku, adalah aku tiupan napas Tuhan. Adalah dosa melihat kesatuan aku dengan-Nya.”
Setiap peristiwa kefanaan selalu diikuti baqa, yaitu tetap-nya kesadaran sufi kepada Tuhan. Pada saat sedang baqa, kesadaran akan Tuhan melandasi kesadaran seorang hamba. Ar-Rumi berkata,
“Kesadaran Tuhan lebur dalam kesadaran sufi. Bagaimana si awam meyakininya. Pengetahuan sufi adalah garis dan pengetahuan Tuhan adalah titik. Eksistensi garis amat tergantung pada eksistensi titik.”
Kesatuan hamba dengan Tuhan, dalam tasawuf ar-Rumi, dipatrikan oleh rasa cinta yang murni.
Ar-Rumi merupakan pendiri Tarekat al-Jalaliyah (al-Maulawiyah), sebuah tarekat sufi terkenal yang sekarang masih banyak dianut di Turki dan Suriah.
Daftar pustaka
Alberry, A.J. Sufism: An Account of the Mystics of Islam. London: Mandala Books Unwin Paperbacks, 1979.
HAMKA. Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
Khan, Khan Sahib Khaja. Studies in Tasawwuf. Delhi: Idarah-i Adabiyat-i, 1978.
Nicholson, Reynold A. Rumi: Post and Mystic. London: Mandala Books Unwin Paperback, 1978.
at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al- Ghanimi. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985.
Rasyidah