Rasuna Said, Rangkayo

(Maninjau, Sumatera Barat, 14 September 1910–Jakarta, 2 November 1965)

Rangkayo Rasuna Said adalah seorang pendidik dan pe­juang wanita dari Sumatera­ Barat­. Ia aktif dalam PSII dan Permi. Dengan keras ia menentang penjajah sehingga dibuang ke Jawa. Pada masa kemerdekaan, ia menjadi anggota KNIP, DPRS, dan DPA, lalu pada 1974 ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

Pendidikan pertama diperolehnya di Sekolah Desa Maninjau; setelah itu ia memasuki Diniyah School di Padangpanjang. Ketika ia masih berstatus­ pelajar, ia sudah dipercayai­ untuk mengajar­ di kelas bawahnya.

Di kala itu kegiatan politik di kalangan guru Islam di Minangkabau meningkat sehingga Rasuna Said berani menge­mukakan­ dan menanamkan pentingnya politik dan perlunya­ partisipasi pelajar­ di dalamnya.

Menurut Rasuna Said, pelajar hendak­nya­ dileng­kapi­ dengan berbagai ma­cam keterampilan yang ha­rus dimiliki seseorang yang akan bergulat dalam pergerakan­. Jika perlu, pelajaran agama dan kegiatan agama hendaknya memberikan­ kesempatan yang lebih banyak bagi latihan­ berpolitik.

Di samping belajar dan menjadi guru, Rasuna Said juga aktif mengaji kepada Haji Abdul Karim Amrullah, ayah HAMKA. Dari pengajian ini ia banyak memperoleh berbagai ilmu pengetahuan­ agama dan pergerakan Islam modern. Ia juga ma­suk Meisjes School, yang mengerjakan hal-hal rumah­ tangga.

Ketika gempa bumi melanda kota Padangpan­jang­ pada 1926, gedung Madrasah Diniyah Puteri menjadi rusak berat dan terpaksa ditutup­. Rasuna pindah dari Madrasah Diniyah Puteri dan memasuki Sekolah Thawalib.

Sekolah ini dapat dise­lesaikannya­ dalam waktu 2 tahun. Setamat­ dari sekolah tersebut, ia menjadi sekretaris pada perkumpulan Sarekat Rakyat, suatu organisasi­ yang menghimpun­ kekuatan untuk melawan Belanda. Kemudian­ Sarekat Rakyat ini berubah nama menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

Pada 1930 Sumatra Thawalib diubah menjadi Persatuan Muslimin Indonesia yang dising­kat menjadi PMI atau Permi. Rasuna­ Said semula hanya duduk sebagai anggota biasa. Tetapi denga­n­ bakatnya sebagai­ organisator pada 1932 ia diangkat menjadi salah seorang anggota pengurus­ besar Permi. Mengetahui hal itu, PSII pun menge­luarkan peraturan­ bahwa ang­gotanya­ ti­dak boleh merang­kap keanggotaan da­lam organisasi­ lain.

Karena itu Rasuna menya­ta­kan­ diri keluar dari anggota PSII dan tetap dalam organisasi­ Permi. Dalam pidato-pidatonya Rasuna sa­ngat keras mengecam Belanda. Ia menuduh Belanda memeras­ keringat­ rakyat dan merampas kekayaan Indone­sia­ untuk kekayaan mereka tanpa memikirkan kesengsaraan rakyat.

Kegiatan Permi semakin­ luas di berbagai bidang, sehingga dari hari ke hari Permi semakin­ mendapat tempat di hati rakyat. Maka Rasuna pun tidak luput dari pengawasan­ pihak penguasa­ Belanda yang meningkatkan pengawasan­ kepada tokoh wanita itu. Akhirnya ia ditangkap­ pada 1932 dengan alasan me­ngganggu ketenteraman­ umum. Ia dijatuhi hu­kum­an pembuangan­ ke Jawa dan dimasukkan­ ke penjara wanita BULU di Semarang­ selama 13 bulan.

Setelah Rasuna Said dibebaskan dari penjara, ternyata markas Permi sudah diporakporanda­kan oleh Belanda. Ketiga pimpinannya, yang dikenal sebagai tiga sekawan yaitu:­ Mokhtar Luthfi, H Jalaluddin Taib, dan Ilyas Yakub ditangkap dan dibuang ke Boven Digul, Irian Barat (Irian Jaya). Setelah itu kegiatan Permi berkurang­ karena berbagai hambatan dan larangan yang di­kenakan pemerintah.

Rasuna Said bergabung dengan Islamic College, salah satu akademi Islam (selain Normal Islam) yang didirikan para reformis Islam di Padang. Ia dipercaya untuk me­mimpin majalah sekolah yang bernama Raya. Ia kemudian pindah ke Medan.

Di kota ini ia me­mimpin sebuah mingguan bernama Menara Putri yang dikenal de­nga­n semboyan “ini dadaku, mana dadamu”, yang cukup tajam dan menghunjam di hati masyarakat serta menumbuhkan semangat juang. Di samping perjuangan politik,­ Rasuna Said juga sempat membina perguruan putri.

Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said kembali ke Padang. Di sinilah ia bersama teman seperjuangannya, Khatib Sulaiman,­ mendirikan organisasi­ pemuda Sumatera Barat dengan nama Pemuda Nippon Raya yang bertujuan membina bibit-bibit pejuang kemerdekaan­. Gerak-gerik organisasi­ ini pun akhirnya diketahui­ oleh Jepang. Rasuna Said dan Khatib Sulaiman­ ditangkap namun kemudian dibebaskan­ lagi.

Rasuna Said bersama-sama Khatib Sulaiman ke­mudian aktif memperjuangkan dibentuknya barisan­ Pembela Tanah Air (Peta). Hal ini berhasil ketika­ Jepang membentuk Giyu Gun, tentara sukarela. Laskar rakyat inilah yang kelak menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia).

Sesudah Kemerdekaan RI, Rasuna Said menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera yang mewakili daerah Sumatera Barat. Kemudian berturut-turut menjadi anggota KNIP, DPR-RIS, dan DPRS. Pada­ 1959 ia diangkat menjadi anggota DPA.

Sebagai seorang aktivis Rasuna Said kurang memperhatikan­ kesehatan dirinya. Belakangan diketa­hui bahwa ia mengidap penya­kit kanker darah yang sudah parah dan tidak­ tertolong lagi. Ia meninggal dunia pada 2 November 1965 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dengan SK Presiden Nomor 084/TK/Tahun 1974, Rasuna Said diangkat sebagai Pahlawan­ Nasional.

Daftar pustaka

M.D., Sagiman, dkk. Perlawanan dan Pengasingan Perjuangan Pergerakan Na-sional. Jakarta: Idayu Press, 1986.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES, 1982.

Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta: LP3ES, 1986.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.

Rasyidah