Kiblat adalah arah Ka’bah di Mekah, Arab Saudi. Orang muslim melakukan salat dengan menghadap kiblat. Setelah hijrah ke Madinah, Nabi SAW menetapkan Yerusalem sebagai kiblat, namun kemudian kiblat dialihkan ke Mekah. Kiblat juga digunakan dalam penguburan dan pemotongan hewan kurban. Dalam sebuah masjid, kiblat ditandai dengan mihrab, yakni bagian interior masjid yang mengarah ke Mekah.
Pada mulanya kiblat umat Islam adalah Baitulmakdis di Yerusalem, Palestina. Pada tahun ke-2 Hijriah, setelah sekitar 16 bulan umat Islam berkiblat ke Baitulmakdis, datang perintah Allah SWT agar kiblat itu dipindahkan ke Ka’bah di Mekah. Perintah itu tercantum dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 144, yang berarti:
“…Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya, Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Alkitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidilharam itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
Pada hakikatnya kiblat adalah satu arah yang menyatukan arah segenap umat Islam dalam melaksanakan salat, tetapi titik arah itu sendiri bukanlah objek yang disembah orang muslim dalam melaksanakan salat. Yang menjadi objek yang dituju orang muslim dalam melaksanakan salat itu tidak lain hanyalah Allah SWT. Dengan demikian umat Islam bukan menyembah Ka’bah, tetapi menyembah Allah SWT. Ka’bah hanya menjadi titik kesatuan arah dalam salat.
Semua mujtahid (ahli ijtihad) sependapat bahwa menghadap kiblat dalam melakukan salat adalah wajib dan merupakan syarat sahnya salat. Kewajiban ini mereka pahami berdasarkan surah al-Baqarah (2) ayat 144 di atas dan dari beberapa hadis Nabi SAW. Hadis tersebut menyebutkan: “Apabila kamu akan melakukan salat, sempurnakanlah wudumu, kemudian menghadaplah ke kiblat, dan bertakbirlah” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Bagi mereka yang tidak tahu arah, menghadap kiblat didasarkan pada ijtihadnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT yang berarti: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS.2:115).
Asy-Syaukani (ahli hadis dan usul fikih) mengatakan, “Ulama Islam semuanya menetapkan bahwa menghadap kiblat dalam salat adalah syarat sahnya salat, kecuali jika tidak sanggup melakukannya, seperti ketika ketakutan dalam peperangan yang sedang berlangsung atau ketika salat sunah dalam perjalanan yang dikerjakan di atas kendaraan.”
Imam Nawawi pernah pula mengatakan, “Menghadap kiblat adalah syarat sah salat, tidak ada perbedaan pandangan tentang itu. Akan tetapi yang dimaksud dengan salat di sini adalah salat fardu dan salat sunah yang dilakukan di dalam kampung, bukan ketika berhalangan (uzur) atau di tengah perjalanan.”
Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama ketika menentukan pusat arah yang dihadapi itu, yakni apakah yang dihadapi itu zat kiblat itu sendiri atau cukup dengan menghadap ke arahnya saja. Imam Syafi‘i berpendapat bahwa orang yang melakukan salat wajib mengarah pada zat Ka’bah dan bagi orang yang jauh dari Ka’bah cukup dengan memperkirakannya saja. Akan tetapi ada riwayat lain yang mengatakan bahwa Imam Syafi‘i membolehkan orang salat hanya menghadap ke arah Ka’bah, bukan pada zatnya.
Riwayat ini diterima dari al-Muzanni, murid Imam Syafi‘i. Terdapat dua pendapat yang diriwayatkan dari Imam Syafi‘i, namun pendapat pertama merupakan pendapat yang lebih populer.
Imam mujtahid yang lain, seperti Abu Hanifah (Imam Hanafi), Imam Malik, dan Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali), mewajibkan orang yang jauh dari Ka’bah untuk menghadap ke arah Ka’bah saja. Alasan mereka dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi orang yang jauh dari Ka’bah untuk menghadap ke zat Ka’bah itu sendiri.
Jika seseorang melakukan salat di tempat yang sangat gelap, ia boleh menghadap ke arah yang diyakininya. Dalam hal ini salatnya sah, asalkan ia telah melakukan salat tersebut. Akan tetapi jika selesai salat ia mengetahui bahwa arah kiblat yang dihadapinya salah, salatnya itu wajib diulang kalau masih ada waktu.
Demikian pendapat Imam Syafi‘i, ulama Hanafiyah (Mazhab Hanafi), dan ulama Kufah pada umumnya. Akan tetapi, as-San’ani (ahli hadis dan fikih) dan asy-Syaukani memandang salat yang telah dikerjakan itu tidak perlu diulang karena salat tersebut sah.
Melakukan salat di atas kapal wajib menghadap kiblat ketika memulai salat dan selama situasi dan kondisi memungkinkan untuk itu. Tetapi jika tidak mungkin dilaksanakan, orang tersebut boleh menghadap ke arah mana saja.
Di sini berlaku baginya firman Allah SWT yang tercantum dalam surah al-Baqarah (2) ayat 115. Ayat tersebut sejalan dengan hadis Nabi SAW yang berarti: “Antara timur dan barat terdapat kiblat” (HR. at-Tirmizi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah). Ayat dan hadis ini pula yang berlaku bagi orang yang sedang sangat ketakutan.
Jika seseorang hendak melakukan salat pada saat ia berada di atas kendaraan (misalnya kereta api, mobil, dan kapal terbang), menurut ulama Mazhab Syafi‘i, orang tersebut harus menghadap kiblat dan wajib berdiri jika memungkinkan. Akan tetapi ulama Mazhab Hanafi membolehkan orang tersebut salat sambil duduk dan menghadap ke arah mana saja sesuai dengan gerak kendaraan yang dinaikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Diya’uddin, Muhammad ar-Razi Fakhruddin. Tafsir ar-Razi. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
as-San’ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani. Subul as-Salam. Riyadh: Jami’ah bin Su‘ud al-Islamiyyah, 1408 H/1987 M.
as-Sayis, Muhammad Ali. Tafsir ayat al-Ahkam. Cairo: Muhammad Sabih, 1953.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nail al-Authar. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.
az-Zamakhsyari. Tafsir al-Kasysyaf. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
az-Zuhaili, Wahbah. at-Tafsir al-Munir. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘asir, 1991.
Yunasril Ali