Hasan Mustafa adalah seorang ulama dan pujangga Islam dari tanah Sunda. Ia banyak menulis masalah agama dan tasawuf dalam bentuk guritan (puisi berirama berbahasa Sunda) dan pernah menjadi kepala penghulu di Aceh pada zaman Hindia Belanda. Sebagai sastrawan Sunda ia secara anumerta memperoleh hadiah seni dari presiden Republik Indonesia.
Haji Hasan Mustafa lahir dan hidup dalam lingkungan menak (bangsawan Sunda), tetapi berorientasi pada pesantren. Karena kekerasan hati ayahnya, ia tidak dididik melalui bangku sekolah yang akan membukakan dunia menak bagi masa depannya, melainkan dimasukkan ke pesantren.
Pertama-tama ia belajar mengaji dari orangtuanya, kemudian belajar qiraah (membaca Al-Qur’an dengan baik) dari Kiai Hasan Basri, seorang ulama dari Kiarakoneng, Garut, dan dari seorang qari yang masih berkerabat dengan ibunya.
Ketika berusia 8 tahun, ia dibawa ayahnya menunaikan ibadah haji untuk pertama kali. Di Mekah ia bermukim selama setahun dan belajar bahasa Arab dan membaca Al-Qur’an. Sepulangnya dari Mekah, ia dimasukkan ke berbagai pesantren di Garut dan Sumedang.
Ia belajar dasar ilmu sharaf dan nahu (tata bahasa Arab) kepada Rd. H Yahya, seorang pensiunan penghulu di Garut. Kemudian ia pindah ke Abdul Hasan, seorang kiai dari Sawahdadap Sumedang.
Dari Sumedang ia kembali lagi ke Garut untuk belajar kepada Kiai Muhammad Irja, murid Kiai Abdul Kahar, seorang kiai terkenal dari Surabaya dan murid dari Kiai Khalil Madura, pemimpin Pesantren Bangkalan Madura.
Pada 1874 ia berangkat untuk kedua kalinya ke Mekah guna memperdalam ilmu keagamaan Islam. Kali ini ia bermukim di Mekah selama 8 tahun. Ketika berada di Mekah, ia berkenalan dengan Christiaan Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda, yang sedang meneliti masyarakat Islam di Mekah.
Pertemuan itu membuat hubungan keduanya akrab sampai Haji Hasan Mustafa meninggal dunia dan Snouck Hurgronje kembali ke negerinya setelah menunaikan tugas pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.
Menurut data yang diperoleh dari Dr. P.S. van Koningsveld, seorang ahli bahasa Arab dan agama Islam di Belanda, melalui naskah asli Abu Bakar Djajadiningrat, seorang ulama Indonesia, yang dianggap sebagai sumber utama Snouck Hurgronje tentang Mekah, Haji Hasan Mustafa adalah seorang ulama terkemuka dari Jawa yang berada di Mekah menjelang akhir abad ke-19. Ia dianggap setingkat dengan Haji Ahmad Banten, putra Syekh Nawawi al-Jawi (Nawawi al-Bantani).
Dalam urutan nama ulama Jawa terkemuka di Mekah saat itu, Haji Hasan Mustafa ditempatkan pada urutan keenam. Ia mengajar di Masjidilharam dan mempunyai tiga puluh murid. Haji Hasan Mustafa menulis buku dalam bahasa Arab, Fath al-Mu‘in (Kunci Penolong), yang diterbitkan di Mesir.
Haji Hasan Mustafa adalah seorang ulama yang menguasai berbagai macam ilmu yang diperoleh dari gurunya di Mekah. Selain kepada Syekh Nawawi al-Bantani, ia juga berguru kepada Syekh Mustafa al-Afifi, Syekh Abdullah az-Zawawi, Hasballah, dan Syekh Bakar as-Satha, semuanya orang Arab.
Haji Hasan Mustafa meninggalkan Mekah pada 1882, karena dipanggil oleh R. H Muhammad Musa, penghulu Garut pada masa itu. Ia dipanggil pulang untuk meredakan ketegangan akibat perbedaan paham di antara para ulama di Garut. Berkat usaha Haji Hasan Mustafa dan bantuan R. H Muhammad Musa, perselisihan itu dapat diredakan. Selama 7 tahun ia memberikan pelajaran agama siang dan malam, terutama di Masjid Agung Garut.
Karena pengetahuan agamanya sangat luas, Snouck Hurgronje pada 1889 memintanya untuk mendampinginya dalam perjalanan keliling Jawa dan Madura. Ketika itu Snouck Hurgronje adalah penasihat pemerintah Hindia Belanda tentang masalah Bumiputra dan Arab. Ia menjadi pembantu Snouck Hurgronje selama 7 tahun. Atas usul Snouck Hurgronje, pemerintah Hindia Belanda mengangkat Haji Hasan Mustafa menjadi kepala penghulu di Aceh pada 25 Agustus 1893.
Jabatan kepala penghulu di Aceh dipegangnya selama 2 tahun (1893–1895). Kemudian pada 1895 ia kembali ke Bandung dan menjadi penghulu Bandung selama 23 tahun. Akhirnya pada 1918, atas permintaan sendiri ia memperoleh hak pensiun.
Haji Hasan Mustafa adalah seorang ulama yang sabar, berpendirian teguh, dan berani mengemukakan pendapat serta pendirian. Ia mengembangkan ajaran Islam melalui tugas sebagai penghulu dan kegiatannya sebagai pengajar agama dan tasawuf dalam pertemuan informal. Di antara muridnya terdapat Kiai Kurdi dari Singaparna, Tasikmalaya, yang mempunyai sebuah pesantren.
Ajaran Islam ditulis dan diajarkannya dengan mempergunakan lambang yang terdapat dalam pantun serta wayang tradisional Sunda. Metafora yang dipergunakan sering bersifat khas Sunda. Penyampaian ajaran agama Islam begitu dekat dengan kebudayaan setempat (Sunda). Ia memetik 104 ayat Al-Qur’an untuk orang Sunda. Jumlah itu dianggapnya cukup dan sesuai dengan kemampuan orang Sunda dalam memahami ajaran Islam.
Aliran mengenai tasawuf yang dianut dan diajarkan kepada muridnya tidak diketahui dengan pasti. Akan tetapi, beberapa orang menyebutkan bahwa ia menganut aliran Syattariyah, suatu tarekat yang berasal dari India, didirikan Syekh Abdullah asy-Syattar, dikembangkan di Indonesia mula-mula oleh Syekh Abdur Rauf Singkel, dan menyebar ke Jawa Barat karena peranan Syekh Haji Abdul Muhyi, salah seorang murid Syekh Abdur Rauf Singkel. Dalam karyanya ia sering menyebut nama al-Ghazali sebagai sufi yang dikaguminya.
Haji Hasan Mustafa menyebarkan ajaran Islam melalui karya seninya yang sangat berlainan dengan karya seni Sunda pada masa itu. Umumnya yang dibahas adalah masalah ketuhanan (tasawuf). Bentuk formalnya mirip dengan kitab suluk dalam bahasa Jawa, tetapi isinya lebih dekat dengan tradisi puisi tasawuf.
Karya itu merupakan perpaduan atas tanggapan, renungan, dan pendapat Haji Hasan Mustafa terhadap bermacam-macam pengetahuan yang dikuasainya, yakni agama Islam, tasawuf, kebudayaan Sunda, dan peristiwa yang dialaminya. Hampir semua karyanya ditulis dalam huruf pegon (tulisan menggunakan huruf Arab, tetapi kata-kata dalam bahasa Jawa atau Sunda).
Karyanya yang pernah dicetak dan dijual kepada umum adalah Bab Adat-Adat Urang Sunda Jeung Priangan Lianna ti Eta (1913), esai tentang suku Sunda, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Belanda (1977); Leutik Jadi Patelaan Adatna Jalma-Jalma di Pasundan (1916); Pakumpulan Atawa Susuratanana antara Juragan Haji Hasan Mustafa Sareng Kyai Kurdi (1925); Buku Pengapungan (Hadis Mikraj, 1928); dan Syekh Nurjaman (1958).
Di samping itu, terdapat pula buku Haji Hasan Mustafa yang hanya dicetak dan diedarkan di kalangan terbatas, seperti Buku Pusaka Kanaga Wara, Pamalaten, Wawarisan, dan Kasauran Panungtungan. Tahun terbit semua buku tersebut tidak diketahui.
Karyanya yang dipublikasikan dalam bentuk stensilan adalah Petikan Qur’an Katut Abad Padikana (1937) dan Galaran Sasaka di ka Islaman (1937). Masih ada karya lain yang tidak dipublikasikan dan disimpan M. Wangsaatmadja (sekretarisnya 1923–1930). Pada 1960 naskah tersebut diketik ulang dan diberi judul Aji Wiwitan (17 jilid).
Daftar Pustaka