Menurut istilah tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.
Secara etimologis, Thariqah memiliki berbagai arti: (1) jalan, cara (al-kaifiyyah); (2) metode, sistem (al-uslub); (3) mazhab, aliran, haluan (al-madzhab); (4) keadaan (al-halah); (5) pohon kurma yang tinggi (an-nakhlah ath-thawilah); (6) tiang tempat berteduh, tongkat payung (‘amud al-mizallah); (7) yang mulia, terkemuka dari kaum (syarif al-qaum); dan (8) goresan/garis pada sesuatu (al-khathth fi asy-syay‘).
Sebagai jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, orang yang melakukan tarekat tidak dibenarkan meninggalkan syariat, bahkan pelaksanaan tarekat merupakan pelaksanaan syariat agama. Oleh karena itu, melakukan tarekat tidak bisa sembarangan. Orang yang bertarekat harus dibimbing oleh guru yang disebut mursyid (pembimbing) atau syekh.
Syekh inilah yang bertanggung jawab terhadap muridnya yang melakukan tarekat. Ia mengawasi muridnya dalam kehidupan lahiriah serta rohaniah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi “perantara” antara murid dan Tuhan dalam beribadah. Karena itu, seorang syekh haruslah sempurna suluknya dalam ilmu syariat dan hakikat menurut Al-Qur’an, sunah, dan ijmak.
Seorang guru atau syekh haruslah:
(1) alim dan ahli dalam memberikan tuntunan kepada muridnya dalam ilmu pengetahuan agama yang pokok;
(2) mengenali segala sifat kesempurnaan hati dan hal-hal yang berkaitan dengannya;
(3) memiliki rasa belas kasih terhadap kaum muslimin, terutama terhadap muridnya;
(4) pandai menyimpan rahasia muridnya;
(5) tidak menyalahgunakan amanah muridnya;
(6) tidak menyuruh muridnya, kecuali terhadap sesuatu yang layak dikerjakannya;
(7) tidak terlalu banyak bergaul dan bercengkerama dengan muridnya;
(8) mengusahakan segala ucapannya bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan;
(9) lapang dada dan ikhlas;
(10) memerintahkan berkhalwat kepada murid yang memperlihatkan kebesaran dan ketinggian hati karena terlalu dekat bergaul dengannya;
(11) memelihara kehormatan diri dan kepercayaan muridnya;
(12) memberikan petunjuk untuk memperbaiki keadaan muridnya;
(13) memperhatikan dengan sungguhsungguh terjadinya kebanggaan rohani yang timbul pada muridnya yang masih dalam proses pendidikan;
(14) melarang muridnya banyak berbicara dengan temannya, kecuali sangat penting;
(15) menyediakan tempat berkhalwat;
(16) menjaga diri agar muridnya tidak melihat keadaannya dan sikap hidupnya yang dapat mengurangi rasa hormat mereka;
(17) mencegah muridnya banyak makan;
(18) melarang muridnya berhubungan dengan syekh dari tarekat lain jika akan membahayakan;
(19) melarang muridnya sering berhubungan dengan para pejabat, yang dapat membangkitkan nafsu duniawi;
(20) menggunakan kata-kata yang lembut, menarik, dan memikat di dalam khotbahnya;
(21) segera memenuhi undangan orang yang mengundangnya dengan penuh perhatian;
(22) bersikap tenang dan sabar ketika duduk bersama muridnya;
(23) memperlihatkan akhlak yang mulia ketika muridnya datang bertamu; dan
(24) memperhatikan keadaan muridnya dengan menanyakan murid yang tidak hadir dalam pertemuan mereka.
Untuk dapat melaksanakan tarekat dengan baik, seorang murid hendaknya mengikuti jejak dan melaksanakan perintah dan anjuran yang diberikan mursyidnya. Ia tidak boleh mencari-cari keringanan dalam melaksanakan amaliah yang sudah ditetapkan dan dengan segala kekuatannya ia harus mengekang hawa nafsunya untuk menghindari dosa dan noda yang dapat merusak amal.
Ia juga harus memperbanyak wirid, zikir, dan doa, serta memanfaatkan waktu seefisien mungkin. Untuk tidak melanggar hukum agama, murid harus belajar ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat.
Biasanya, untuk melaksanakan aktivitas tarekat secara baik, pengikut tarekat dimasukkan ke sebuah tempat khusus yang dinamakan ribat (tempat belajar), zawiat (tempat ibadah kaum sufi) atau khanqah.
Di tempat inilah amaliah tarekat dilaksanakan, baik berupa zikir (ingatan yang terus tertuju kepada Allah SWT dengan lidah terus menyebut nama-Nya), ratib (mengucap kalimat La ilaha illa Allah = tiada Tuhan selain Allah), pembacaan wirid atau syair tertentu yang diiringi dengan bunyi-bunyian seperti rebana dan melakukan gerakan menari mengiringi wirid yang dibaca, maupun berupa pengaturan napas yang berisi zikir tertentu.
Tarekat banyak muncul pada abad ke-6 dan ke-7 Hijriah, ketika tasawuf menempati posisi penting dalam kehidupan umat Islam dan dijadikan sebagai filsafat hidup. Pada periode ini tasawuf memiliki aturan, prinsip, dan sistem khusus; sedangkan sebelumnya, tasawuf dipraktekkan secara individual di sana-sini tanpa adanya ikatan satu sama lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat menjadi semacam organisasi atau perguruan dan kegiatannya pun semakin meluas, tidak terbatas hanya pada zikir dan wirid atau amalan tertentu, tetapi juga pada masalah lain yang bersifat duniawi. Bahkan, ada beberapa kelompok tarekat yang melibatkan diri dalam kegiatan politik, seperti Tarekat Sanusiyah yang menentang penjajahan Italia di Libya, Tarekat Tijaniyah yang menentang penjajahan Perancis di Afrika Utara, dan Tarekat Safawiyah yang melahirkan Kerajaan Safawi di Persia (Iran).
Di dalam dunia Islam, tarekat berkembang pesat, sehingga besar jumlahnya. Yang cukup terkenal di antaranya adalah: Tarekat Kadiriyah yang didirikan Syekh Abdul Qadir al-Jailani (470 H/1077 M–561 H/1166 M); Tarekat Rifaiyah yang dinisbahkan kepada Syekh Ahmad bin Ali Abul Abbas ar-Rifa‘i (w. 578 H/1183 M); Tarekat Suhrawardiyah yang dinisbahkan kepada Abu an-Najib as-Suhrawardi (490 H/1097 M–563 H/1168 M) dan anak saudaranya, Syihabuddin Abu Hafs Umar bin Abdullah as-Suhrawardi (539 H/1145 M–632 H/1235 M); Tarekat Syaziliyah yang dinisbahkan kepada Abu al-Hasan asy-Syazilli (w. 686 H/1287 M); dan Tarekat Naqsyabandiyah yang dinisbahkan kepada Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi (717 H/1317 M–791 H/1389 M).
Daftar Pustaka
Atjeh, Abubakar. Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian tentang Mistik. Solo: Ramadani, 1988.
van Bruinessen, Martin. Tarekat di Indonesia. Bandung: Mizan, 1992.
___________. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, Januari 1995.
Khan, Khan Sahib Khaja. Studies in Tasawwuf. New Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delhi, 1978.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986.
___________. “Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam,” Orientasi Pengembangan Ilmu Agama Islam (Ilmu Tasawuf). Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1986.
Said, Usman, et.al. Pengantar Ilmu Tasawuf. Medan: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN Sumatera Utara, 1981/1982.
at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ganimi. Madkhal ila at-Tasawwuf al-Islami. Cairo: Dar as-Saqafah li at-Tauzi’ wa an-Nasyr, 1983.
___________. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Usmani. Bandung: Pustaka, 1985.
Hafizh Anshari