Rifaiyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan di Irak pada abad ke-6 H oleh Ahmad bin Ali Abul Abbas ar-Rifa‘i (Qaryah Hasan, 1106–Umm Abidah, 1183), seorang sufi besar, ahli hukum (fakih), dan penganut Mazhab Syafi‘i. Ada tiga ajaran dasar tarekat ini: tidak meminta sesuatu, tidak menolak, dan tidak menunggu.
Ar-Rifa‘i, yang hidup sezaman dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani (pendiri Tarekat Kadiriyah), berasal dari Bani Rifa’ah, salah satu kabilah bangsa Arab di wilayah al-Bata’ih. Nama tarekat ini dinisbahkan pada nama kabilah tersebut, sehingga disebut Rifaiyah. Kadang-kadang tarekat ini dinamakan juga dengan Tarekat al-Bata’ihiyah, dinisbahkan pada wilayah tempat tinggal Bani Rifa’ah.
Ar-Rifa‘i hanya sebentar merasakan cinta dan kasih sayang ayahnya. Ketika ia berusia sekitar 7 tahun, ayahnya meninggal dunia di Baghdad. Ia dididik pamannya, Mansur al-Bata’ihi, seorang syekh ahli tarekat dalam pendidikan dan ajaran sufi di Basrah.
Di samping itu, ia juga belajar kepada Abu al-Fadl Ali al-Wasiti, pamannya yang lain, tentang hukum Islam Mazhab Syafi‘i. Ia terus menuntut berbagai cabang ilmu pengetahuan sampai berusia 27 tahun.
Karena kemampuannya memahami dan mengamalkan pelajaran yang diberikan gurunya, ar-Rifa‘i mendapat ijazah ilmu fikih dari al-Wasiti dan khirqah (ijazah) ilmu tarekat dari al-Bata’ihi. Ajaran ar-Rifa‘i banyak diriwayatkan oleh asy-Sya‘rani.
Mengenai peran ar-Rifa‘i di bidang tasawuf, asy-Sya‘rani berkomentar, “Ia adalah seorang tokoh dalam ilmu tasawuf, menge
nal berbagai keadaan kaum sufi, dan banyak menyingkapkan masalah posisi mereka. Seandainya ia keluar, ia selalu diikuti oleh orang banyak dan ia banyak mempunyai murid.”
Karena kebesaran dan ketokohannya di bidang tasawuf, banyak sufi yang memberinya gelar yang menunjukkan kemuliaan dan keagungannya seperti qutub, gauts, dan syekh. Di samping itu, sebagaimana sufi besar yang lain, banyak cerita aneh tentang diri ar-Rifa‘i yang menunjukkan kekeramatannya.
Sebagaimana tarekat yang lain, Tarekat Rifaiyah juga berkembang di berbagai pelosok dunia Islam, seperti Turki, Suriah, Mesir, dan Indonesia. Penyebar utama tarekat ini adalah salah seorang murid Ahmad ar-Rifa‘i, yakni Abu al-Fath al-Wasiti. Penyebaran Tarekat Rifaiyah oleh al-Wasiti terutama sekali dilakukan di Mesir, sehingga tarekat ini berkembang baik di Mesir sampai sekarang. Al-Wasiti sendiri wafat di Iskandariyah 580 H/1184 M.
Dalam perkembangannya, Tarekat Rifaiyah mempunyai cabang yang cukup banyak. Di Suriah, cabang tarekat ini antara lain Haririyah, Sadiyah, dan Sayyadiyah. Haririyah didirikan oleh al-Hariri (w. 1147) dan Sadiyah didirikan oleh Sa’duddin Jibawi (w. 1335). Di Mesir, cabang tarekat ini antara lain Baziyah, Malikiyah, dan Habibiyah.
Di Indonesia, Tarekat Rifaiyah terkenal dengan permain an debus dan tabuhan rebana yang dikenal di Aceh dengan nama rapa’i dan di Sumatera Barat dengan nama badabuih. Debus (Ar.: dabbus = sepotong besi yang tajam) adalah permainan yang dilakukan oleh para pengikut Tarekat Rifaiyah dalam bentuk menikam diri mereka dengan benda tajam sambil berzikir.
Ketika berzikir tersebut mereka diiringi den-gan suara gemuruh tabuhan rebana. Meskipun tubuh mereka ditikam dengan benda tajam, mereka tidak terluka. Snouck Hurgronje mengatakan,
“Permainan debus dan rebana ini sangat rapat hu bungannya dengan Tarekat Rifaiyah itu. Penganut-penganut tarekat yang dianggap sudah sempurna dan keramat dikaruniai Tuhan bermacam-macam keajaiban, di antaranya kebal, tidak mempan dikenai senjata tajam, dan tidak terbakar dalam api yang menyala-nyala, kare-na dengan bantuan kedua wali, ar-Rifa‘i dan Abdul Qadir al-Jailani, Tuhan memperlihatkan keajaiban-keajaiban itu kepadanya.”
Tarekat ini tersebar di daerah Aceh (terutama di bagian barat dan utara), Jawa, Sumatera Barat, dan Sulawesi.
Salah satu ciri Tarekat Rifaiyah ialah zikir yang nyaring dan lantang. Jika para darwis Rifaiyah berzikir, mereka berzikir dengan suara yang sangat keras dan meraungraung. Karena itu, mereka dikenal dengan sebutan “darwis yang meraung”.
Terkadang mereka disebut juga “darwis yang menangis” karena suara ganjil yang mereka hasilkan ketika berzikir. Menurut Annemarie Schimmel (ahli Barat tentang tasawuf) dalam bukunya Mystical Dimension of Islam, para darwis Tarekat Rifaiyah ini terkenal karena mampu mewujudkan keajaiban yang luar biasa, seperti memakan ular yang hidup, menusuk dan menikam tubuh dengan benda tajam tanpa terluka, bahkan sampai mencungkil mata mereka ke luar tanpa merasakan sakit dan tidak cacat.
Namun semua itu, menurut Maulana Abdurrahman Jami, merupakan sesuatu yang tidak diketahui syekh dan rekannya yang saleh. Menurut para darwis Tarekat Rifaiyah, mereka melakukan perbuatan itu untuk mencari perlindungan Tuhan dari godaan iblis.
Ar-Rifa‘i memberikan ajaran mengenai masalah zuhud. Menurut ajaran tasawuf ar-Rifa‘i, zuhud merupakan suatu maqam dari berbagai tingkatan maqam yang disunahkan. Zuhud merupakan langkah pertama yang harus ditempuh siapa pun yang ingin berjalan menuju Tuhan. Orang yang be lum menguasai perilaku kezuhudan tidak akan benar untuk melakukan langkah selanjutnya.
Ar-Rifa‘i juga memberikan ajaran tentang makrifat dan cinta Ilahi. Makrifat menurut ajaran ar-Rifa‘i adalah menyak sikan kehadiran dalam makna kedekatan Tuhan disertai ilmu yakin dan tersingkapnya hakikat realitas secara benar-benar yakin. Cinta mengantar pada kerinduan dan makrifat mengantar pada kefanaan atau ketiadaan diri.
Daftar pustaka
Atjeh, Aboebakar. Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian tentang Mistik. Solo: Rama-dhani, 1990.
Said, Usman, dkk. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera Utara: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN Sumatera Utara, 1981/1982.
at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ganimi. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985.
Trimingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press, 1973.
Hafizh Anshari