Syaikh al-Islam terdiri dari kata syaikh (orang tua) dan Islam. Secara kebahasaan, syaikhul Islam berarti “orang yang dianggap tua karena pengetahuannya tentang Islam”.
Secara terminologis, syaikhul Islam adalah suatu sebutan atau gelar kehormatan bagi tokoh ilmuwan agama Islam, yang meliputi fikih, tafsir, dan tasawuf.
Dalam catatan sejarah, sebutan syaikhul Islam digunakan pada mulanya pada pertengahan abad ke-4 H. Gelar kehormatan ini sering diberikan kepada ulama fikih dan tasawuf.
Ibnu Khaldun, misalnya, pernah memberikan gelar syaikhul Islam atau syaikh al-fitya (orang yang berhak mengeluarkan fatwa) kepada Asad al-Furat at-Tunisi, seorang ulama fikih.
Namun dalam perkembangan selanjutnya sebutan syaikhul Islam lebih populer. Pada abad ke-5 H, seorang teolog bermazhab Syafi‘i di Khurasan (Iran), Ismail bin Abdur Rahman, dan seorang sufi Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Ansari al-Harawi (396 H/1006 M–481 H/1089 M) oleh kaum Suni digelari syaikhul Islam.
Pada abad ke-9, Fakhruddin ar-Razi, seorang mufasir dan ahli usul mendapat gelar syaikhul Islam. Berikutnya seorang sufi dari Ardabel (Iran), Syekh Safiuddin Ardabeli (1252–1334), dan Abu al-Wafa’ al-Ganimi at-Taftazani juga mendapat sebutan syaikhul Islam.
Di Suriah dan Mesir, gelar kehormatan syaikhul Islam tampaknya hanya diberikan kepada ulama ahli fikih, terutama pada permulaan periode Dinasti Mamluk (1250). Imam Ibnu Taimiyah, meskipun menolak pemberian gelar syaikhul Islam, oleh para pengikutnya juga digelari syaikhul Islam.
Demikian juga Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Jadi, gelar syaikhul Islam pada dasarnya merupakan sebutan kehormatan yang diberikan kepada ulama atau tokoh dalam agama Islam, meliputi bidang fikih, teologi, tasawuf, dan juga diberikan kepada mufti (pemberi fatwa).
Secara spesifik, gelar syaikhul Islam digunakan untuk mufti pada Kerajaan Usmani (Ottoman) di Istanbul, yang lebih menunjukkan kapasitas keilmuan di bidang fikih. Syaikhul Islam memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar di bidang fikih atau syariat.
Malahan secara teoretis syaikhul Islam dapat memveto keputusan sultan apabila dipandang bertentangan dengan syariat. Meskipun dalam kenyataannya syaikhul Islam diangkat dan diberhentikan sultan, fatwa dan keputusannya selalu diterima.
Lebih dari itu, sultan tidak dapat mengesahkan suatu undang-undang tanpa mendapat persetujuan dari syaikhul Islam. Kewenangan lain syaikhul Islam adalah mengangkat kadi (pelaksana administrasi syariat).
Juga menjadi pemimpin kebangsaan muslim ketika Kerajaan Usmani menerapkan sistem millet (nation); dalam sistem ini, setiap kelompok etnik dan agama warga Usmani Turki diberi kebebasan untuk menerapkan sistem hukum masing-masing, sehingga ada millet Islam, millet Kristen, millet Yahudi, dan sebagainya.
Yang tercatat sebagai syaikhul Islam pertama adalah Syamsuddin al-Fanari (w. 1431), diangkat oleh Sultan Murad II (1421–1444 dan 1446–1451).
Dalam perkembangan berikutnya syaikhul Islam tidak diberikan kepada perseorangan, tetapi sebagai jabatan yang memimpin departemen yang mengurus masalah yang telah disebutkan di atas. Ini tampak pada akhir abad ke-18 ketika terjadi modernisasi administrasi Kerajaan Usmani.
Pada periode tanzimat (sesudah 1839) syaikhul Islam menjadi semacam kolega menteri yang memimpin departemen. Namun sejak sekularisasi di Kerajaan Usmani dilancarkan, pengaruh syaikhul Islam semakin menurun.
Peranannya hampir berakhir pada November 1922 ketika Turki menjadi republik dan kerajaan dihapuskan, kemudian memilih mendirikan negara nasional sekuler (1928), di bawah pimpinan Mustafa Kemal Atatürk.
Di Indonesia, syaikhul Islam pertama yang tercatat dalam sejarah adalah Syekh Syamsuddin as-Sumatrani (w. 1039 H/1630 M), ulama besar dan tokoh tasawuf di zaman Sultan Iskandar Muda (1607–1636).
Daftar Pustaka
Lewis, Geofferey. Turkey. London: Ernest Benn Limited, t.t.
Philip, C.H., ed. Handbook of Oriental History. London: Offices of The Royal Historical Society, 1951.
Ahmad Rafiq