Sarana tolong-menolong bagi umat Islam tanpa imbalan jasa disebut rahn. Orang yang berutang (rahin) tidak harus menjual barangnya untuk mendapatkan uang, dan pemilik uang (murtahin) tidak perlu khawatir piutangnya tidak akan kembali, karena sudah ada barang jaminan utang.
Secara kebahasaan, rahn dalam bahasa Arab berarti tetap, kekal, sinambung, dan tertahan/jaminan. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan rahn sebagai menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut.
Ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali mendefinisikannya sebagai menjadikan materi (barang) sebagai jaminan terhadap utang, yang secara paksa dapat dijadikan pembayar utang apabila rahin tidak dapat membayar utangnya. Sementara ulama Mazhab Maliki menambahkan bahwa yang menjadi jaminan tersebut tidak hanya berupa materi (‘ain), tetapi dapat juga berupa manfaat, asal jangka waktu dan bentuk jasa yang diberikan cukup jelas.
Selain itu barang yang dijadikan jaminan tersebut tidak harus berpindah tangan, tetapi cukup melalui ijab (ungkapan penyerahan barang jaminan oleh rahin) dan kabul (ungkapan menerima jaminan dan penyerahan uang tunai oleh murtahin) saja.
Perbedaan mendasar antara rahn dan gadai yang ada di Indonesia yaitu pada imbalan jasa atau persentase tertentu dari pokok utang. Utang-piutang dalam rahn pada prinsipnya tidak membawa risiko imbalan jasa.
Murtahin tidak menerima keuntungan apa-apa dari pinjaman yang ia berikan. Imbalan jasa, oleh ulama dianggap riba, karena rahn dalam Islam hanya merupakan sarana tolong-menolong tanpa ada imbalan jasa yang harus diterima oleh murtahin. Lain halnya dalam gadai, imbalan jasa harus dipenuhi oleh rÎhin.
Akad rahn mempunyai dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, yang berarti:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)…” (QS.2:283).
Sekalipun ayat di atas menunjukkan akad rahn tersebut dalam perjalanan (safar), tetapi ulama sepakat bahwa tidak berarti di luar perjalanan (di tempat tinggal) tidak boleh dilakukan akad rahn, asal barang jaminan itu dapat lang sung dipegang/dikuasai secara hukum oleh murtahin. Tidak semua barang jaminan dapat langsung dipegang/dikuasai murtahin. Misalnya, apabila jaminan berupa sebidang tanah, yang dipegang oleh pemberi utang adalah sertifikat tanah tersebut, bukan tanahnya.
Adapun dasar hukum rahn dalam sunah Nabi SAW antara lain adalah hadis dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai barang jaminan.
Dalam riwayat lain, Anas bin Malik (sahabat Nabi SAW) menceritakan bahwa Rasulullah SAW menjadikan baju besinya sebagai jaminan utang pada seorang Yahudi, lalu dengan uang tersebut ia membeli gandum untuk keluarganya (HR. Ahmad bin Han-bal, Bukhari, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah). Berdasarkan ayat dan hadis di atas, ulama mengatakan bahwa akad rahn itu dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan antarsesama manusia.
Sebagai sebuah transaksi, syarat rahn meliputi: syarat orang yang berakad dan syarat barang jaminan. Syarat orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Anak kecil, orang gila, orang di bawah pengampuan, dan yang sejenisnya, tidak dapat melakukan akad ini, baik ia sebagai rÎhin maupun murtahin, karena rahn adalah akad yang ber kaitan langsung dengan permasalahan harta.
Sementara itu, sigah (lafal) akad rahn tidak boleh terkait dengan syarat apa pun. Misalnya, disyaratkan bahwa jika tenggang waktu pelunasan utang habis, barang jaminan tersebut tidak boleh dijual, kecuali setelah beberapa lama.
Syarat seperti ini tidak boleh ada, karena dapat merugikan orang yang memberi utang. Tetapi jika syarat yang dikemukakan tersebut menguntungkan akad itu sendiri, seperti akad itu harus disaksikan dua orang saksi, maka syarat seperti ini dibolehkan, karena sifatnya lebih memperjelas dan mempertegas status barang jaminan tersebut.
Syarat barang jaminan adalah sebagai berikut:
(1) barang jaminan itu milik rahin;
(2) nilai barang jaminan diperkirakan seimbang dengan nilai utang;
(3) identitas barang jaminan cukup jelas, seperti satu hektare tanah di tempat tertentu dengan batas-batas yang jelas;
(4) barang jaminan merupakan barang yang halal bagi seorang muslim;
(5) barang itu bisa diserahkan, baik bendanya maupun manfaatnya; dan
(6) barang jaminan tersebut bisa dijual.
Akad rahn baru dikatakan sempurna apabila syarat di atas terpenuhi, uang yang dibutuhkan telah diterima rahin, dan barang jaminan telah dikuasai murtahin secara hukum (qabdh al-marhun). Syarat yang terakhir ini menjadi sangat penting karena didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah (2) ayat 283 di atas.
Ulama berbeda pendapat dalam hal pemanfaatan barang jaminan oleh murtahin. Jumhur ulama selain ulama Mazhab Hanbali berpendirian bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang jaminan tersebut, karena barang itu bukan miliknya secara penuh.
Haknya terhadap barang yang dipegangnya hanyalah sebagai pemegang barang jaminan utang yang diberikannya. Apabila rÎhin tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia bisa menjual atau menghar-gai barang tersebut sebagai pelunasan piutangnya. Mereka mendasarkan pendiriannya pada sabda Nabi Muhammad SAW yang berarti:
“Barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil (dari barang jaminan) dan risiko (yang timbul atas barang tersebut) menjadi tanggung jawabnya” (HR. al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).
Ulama Mazhab Hanbali mengatakan bahwa murtahin boleh memanfaatkan barang jaminan apabila barang tersebut berupa binatang ternak, sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya untuk pemeliharaan ternak tersebut. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi SAW yang berarti:
“Binatang ternak jika dijadikan barang jaminan utang (rahn) boleh dikendarai atau diambil air susunya, sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan hewan tersebut” (HR. Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah).
Kemudian dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda,
“Jika benda/barang jaminan itu seekor kambing, orang yang memegang jaminan boleh meminum susunya, sesuai dengan nilai pemeliharaan yang ia keluarkan untuk kambing tersebut. Apabila susu yang diminum melebihi nilai pemeliharaan, maka kelebihannya itu jadi riba” (HR. Ahmad bin Hanbal dari Abu Hurairah).
Ulama dari kalangan Mazhab Hanafi mengatakan, jika yang dijadikan barang jaminan adalah hewan ternak, murtahin baru dapat memanfaatkan hewan tersebut apa-bila mendapat izin dari rahin. Adapun ulama Mazhab Maliki mengatakan bahwa murtahin boleh memanfaatkan hewan ternak yang dijadikan barang jaminan, apabila hewan terse-but dibiarkan saja tanpa diurus rahin.
Ulama juga berbeda pendapat dalam pemanfaatan barang jaminan oleh rÎhin. Jumhur ulama selain ulama Mazhab Syafi‘i mengatakan, rÎhin tidak boleh menggunakan barang yang tengah dijadikannya jaminan utang.
Menurut ulama Mazhab Hanafi, rahin baru boleh memanfaatkan barang jaminan jika diizinkan murtahin, demikian juga sebaliknya. Pendapat yang sama juga dikemukakan ulama Mazhab Hanbali. Mereka mempunyai prinsip bahwa segala hasil dan risiko dari barang jaminan mengikuti barang itu sendiri.
Dengan demikian apabila barang itu menghasilkan atau merugikan, segalanya ikut menjadi jaminan bersama barang tersebut. Kedua belah pihak apabila ingin memanfaatkan barang tersebut haruslah mendapat izin dari pihak lain. Sementara itu ulama Mazhab Maliki mengatakan, bahwa sekalipun mendapat izin dari murtahin, rahin tidak boleh memanfaatkan barang tersebut.
Akan tetapi ulama Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa rahin boleh memanfaatkan barang yang telah dijadikan jaminan utang asal tidak mengurangi kualitas dan kuantitas barang itu, karena untung rugi barang tersebut menjadi hak rahin, sesuai dengan makna hadis riwayat Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah di atas. Namun apabila pemanfaatan barang jaminan itu oleh rahin berakibat merugikan barang itu sendiri secara kuantitas atau kualitas, ia tidak boleh memanfaatkannya.
Kekhawatiran ulama tentang pemanfaatan barang jaminan baik oleh rahin maupun murtahin adalah agar kedua belah pihak tidak dikategorikan sebagai pemakan riba. Ulama juga menetapkan bahwa apabila ketika akad berlangsung ditetapkan syarat bolehnya pemanfaatan barang jaminan oleh kedua belah pihak, akad tersebut dianggap tidak sah, sebab hal ini bertentangan dengan akad rahn yang sifatnya hanya sebagai jaminan/kepercayaan saja.
Tentang nafkah barang yang dijadikan jaminan tersebut, ulama sepakat bahwa nafkah tersebut menjadi tanggung jawab rahin, sesuai dengan hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Dawud di atas. Tetapi ulama Mazhab Hanafi tetap melibatkan pembiayaan ini kepada murtahin, karena menurut mereka, barang tersebut menjadi amanah di tangannya dan amanah harus dipelihara pemegangnya. Oleh sebab itu, segala biaya yang diperlukan untuk keutuhan barang tersebut juga menjadi tanggung jawab murtahin.
Daftar Pustaka
ad-Duraini, Fathi. al-Fiqh al-Islami al-Muqaran ma‘a al-Madzahib. Damascus: Matba‘ah Tarriyyin, 1399 H/1979 M.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba’ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. I‘lam al-Muwaqqi‘in ‘an Rabb al-‘Alamin. Beirut: Dar al-Jail, 1973.
al-Kahlani, Muhammad bin Ismail. Subul as-Salam. Singapura: Sulaiman Mar’i, 1960.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
Nasrun Haroen