Qath’i berarti “putus”, “pasti”, dan “diam”; sedangkan Zanni berarti “perkiraan”, “sangkaan” (antara benar dan salah). Istilah ini merupakan salah satu bahasan rumit di kalangan ahli usul fikih ketika mereka berhadapan dengan kekuatan suatu hukum (hujah suatu dalil) atau sumber dalil.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, pakar hukum Islam Universitas Cairo (Mesir), Qath’i adalah sesuatu yang menunjuk kepada makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat atau hadis). Qath’i tidak mengandung kemungkinan takwil serta tidak ada tempat atau peluang untuk memahami makna selain makna yang ditunjukkan teks.
Adapun Abu al-Ainain Badran Abu al-Ainain, guru besar usul fikih dari Mesir, mengatakan bahwa Qath’i adalah sesuatu yang menunjuk kepada hukum dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Adapun Zanni, menurut kesepakatan ulama, adalah dalil (ayat atau hadis) yang menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain.
Contoh dalil yang Qath’i adalah ungkapan Allah ahad (Allah itu satu). Kata “satu” tidak dapat diartikan dengan pengertian yang lain. Contoh dalil yang Zanni adalah kata quru’ (suci atau haid) yang terdapat dalam surah al-Baqarah (2) ayat 228. Menurut para ahli bahasa dan fikih, kata quru’ mempunyai arti ganda, yaitu suci (dari haid) dan haid.
Lafal-lafal yang maknanya samar juga termasuk dalam kategori Zanni. Misalnya, lafal salat yang mempunyai dua pengertian, yaitu doa dan suatu perbuatan yang dimulai dengan takbiratulihram (Allahu Akbar = Allah Maha Besar)
dan diakhiri dengan salam (assalamu ‘alaikum wa rahmatullah = salam sejahtera bagimu) dengan syarat, rukun, dan cara tertentu. Untuk memastikan makna yang dituju oleh Syari‘ (pembuat syariat), perlu ada dalil atau indikator lain, sehingga makna itu bisa tepat.
Dalam pembahasan usul fikih, dalil yang Qath’i dan dalil yang Zanni masing-masing terbagi atas dua bentuk, yaitu Qath’i ats-tsubut (kebenaran sumber) dan Qath’i ad-dalalah (kepastian kandungan makna) serta Zanni ats-tsubut dan Zanni ad-dalalah.
Yang dimaksud dengan Qath’i ats-tsubut adalah suatu dalil yang secara pasti bersumber dari Allah SWT atau Rasulullah SAW dan dapat dibuktikan dari segi periwayatan. Adapun yang dimaksud dengan Qath’i ad-dalalah adalah suatu dalil yang hanya mempunyai satu makna, tidak mungkin diartikan lain.
Umat Islam meyakini sepenuhnya bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah SWT. Hadis-hadis Rasulullah SAW yang bersifat Qath’i ats-tsubut adalah hadis-hadis mutawatir.
Adapun hadis-hadis ahad (tidak mencapai tahap mutawatir) mayoritas hadis berada dalam kategori ini bersifat Zanni ats-tsubut. Dalam menjadikannya sebagai hujah, hadis seperti ini menjadi penyebab munculnya perbedaan pendapat ulama apabila bertentangan dengan ayat Al-Qur’an.
Pertentangan itu bisa dalam bentuk umum dan khusus atau mutlak dan bersyarat. Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi), umpamanya, tidak mau menerima riwayat yang bersifat ahad, kecuali dengan syarat-syarat yang cukup ketat,
seperti hadis itu tidak menyangkut kepentingan semua atau mayoritas umat dan rawi hadis itu tidak melakukan suatu pekerjaan yang bertentangan dengan kandungan hadis yang diriwayatkannya.
Menurut para ahli hadis, Qath’i ad-dalalah tidak terdapat dalam Al-Qur’an, karena tidak satu ayat pun yang berdiri sendiri mengacu kepada satu kandungan makna. Berkaitan dengan hal ini, Abdullah Darraz (ulama besar al-Azhar) mengatakan bahwa apabila ayat-ayat Al-Qur’an dibaca, maknanya akan jelas.
Akan tetapi apabila ayat yang sama dibaca sekali lagi, akan ditemukan pula makna lain yang berbeda dengan makna terdahulu. Demikian seterusnya, sampai-sampai ditemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti yang bermacam-macam.
Pendapat Abdullah Darraz tersebut menunjukkan bahwa dari segi kandungan maknanya, ayat Al-Qur’an semakin digali semakin banyak makna yang ditemukan. Lebih lanjut ia mengatakan, ayat Al-Qur’an itu ibarat sebutir intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbedabeda.
Masalah Qath’i dan Zanni tidak dibahas dalam Ulumul Qur’an (Ilmu-Ilmu Al-Qur’an), karena para ahli hadis berpendapat bahwa Al-Qur’an itu dapat ditafsirkan dengan berbagai pandangan dan mengandung banyak interpretasi.
Ada satu kesepakatan di antara para ahli hadis bahwa seseorang tidak dinamai ahli hadis jika ia tidak mampu memberikan interpretasi beragam terhadap ayat Al-Qur’an.
Pembahasan Qath’i dan Zanni hanya ditemukan di kalangan ahli usul fikih ketika mereka menganalisis kebenaran sumber suatu dalil serta kandungan makna dalil itu sendiri. Para ahli usul fikih membagi dalil atas tiga bentuk, yaitu nas, zahir, dan mujmal.
Jumhur ahli usul fikih mengartikan dalil dalam kategori nas sebagai dalil yang tidak memiliki kemungkinan makna lain. Misalnya, firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 196, “…maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali.”
Ayat ini berbicara tentang orang-orang yang tidak sanggup membayar dam (denda) karena melanggar salah satu larangan ketika menunaikan ibadah haji. Penunjukan tiga dan tujuh hari serta tempat puasa itu dilaksanakan, menurut ahli usul fikih, jelas dan pasti serta tidak mengandung pengertian lain.
Karena itu, dalil seperti ini dikategorikan sebagai qath‘i. Kalangan ulama Mazhab Hanafi menyebut dalil kategori nas sebagai muhkam (suatu dalil yang mengandung makna yang pasti serta tidak bisa ditakwil dan di-naskhkan [dibatalkan, diganti]) dan mufassar (dalil yang maknanya cukup jelas dan pasti, tetapi mempunyai kemungkinan di-naskhkan).
Adapun dalil dalam kategori zahir (maknanya jelas, tetapi masih ada kemungkinan ditafsirkan dengan makna lain) dan mujmal (bermakna ganda/bermacam-macam) termasuk dalil yang bersifat Zanni, karena masih mengandung kemungkinan makna lain.
Menurut Imam asy-Syatibi, ahli usul fikih (w. 790 H/1388 M), jika dalil itu berdiri sendiri, amat jarang ditemukan dalil yang mengandung satu makna secara pasti. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kepastian makna suatu dalil hanya dapat ditangkap ketika beberapa dalil digabungkan menjadi satu pengertian.
Misalnya, kewajiban salat tidak dapat ditangkap hanya dari firman Allah SWT yang berarti: “Dan dirikanlah salat…” (QS.2:43), karena kata salah bermakna ganda. Menurutnya, kewajiban salat baru bisa ditangkap setelah dalil tentang salat itu diinduksi.
Misalnya, dalil ancaman bagi orang yang tidak mau menunaikan salat, perintah untuk mendirikan salat dalam keadaan sehat dan sakit serta pujian bagi yang melaksanakan salat. Dari sini dipastikan bahwa salat itu wajib.
Menurut asy-Syatibi ada sepuluh premis yang harus dipenuhi untuk dapat memastikan bahwa satu dalil yang berdiri sendiri bersifat qath‘i. Kesepuluh premis tersebut adalah: 1) riwayat kebahasaan,
2) riwayat yang berkaitan dengan gramatika (nahu),
3) riwayat yang mengandung perubahan kata (sharaf),
4) redaksi yang dimaksud bukan kata yang bermakna ganda (musytarak),
5) tidak mengandung takwil,
6) redaksi tidak bersifat metaforis, atau
7) sisipan (idmar), atau
8) awalan dan akhiran (taqdim wa ta’khir), atau
9) pembatalan hukum (naskh), dan
10) tidak mengandung penolakan logis (‘adam al-mu‘arid al-‘aqli).
Dikatakannya, jika kesepuluh premis ini bersifat qath’i, dalil itu dinamakan qath’i. Akan tetapi, tiga premis yang pertama jelas tidak qath’i, karena riwayat yang menyangkut hal-hal tersebut semuanya ahad.
Adapun tujuh premis lainnya hanya diketahui melalui istiqra’ tamm (metode induktif yang sempurna) dan hal ini mustahil. Yang dapat dilakukan hanya istiqra’ naqis (metode induktif yang tidak sempurna) dan ini tidak menunjukkan suatu kepastian.
Hasilnya tetap Zanni ad-dalalah (penunjukan makna yang Zanni). Oleh karena itu, asy-Syatibi sependapat dengan para ahli tafsir yang mengatakan bahwa satu dalil (ayat atau hadis) tidak dapat dikatakan Qath’i apabila ia berdiri sendiri. Kepastian hanya didapatkan apabila satu dalil didukung dalil-dalil lain dalam topik yang sama.