Pajak

(Ar.: adh-dharibah)

Pajak adalah pembayaran wajib dari wajib pajak kepada pemerintah. Dana dari pajak digunakan untuk biaya jasa kepentingan umum. Pajak antara lain bertujuan untuk mengendalikan pola konsumsi masyarakat serta memandirikan bangsa dalam pembiayaan negara, peningkatan ekonomi, dan pelayanan masyarakat.

Pajak merupakan sumber vital pendapatan negara untuk menghidupi dan menjalankan tugasnya. Oleh sebab itu, pajak diberlakukan dalam banyak aspek kehidupan, seperti pajak bumi dan bangunan untuk tanah dan rumah, pajak pendapatan untuk hasil kerja orang per orang, dan pajak penjualan untuk transaksi perdagangan.

Dalam berbagai bentuk tersebut, pajak dapat diklasifikasi ke dalam dua macam, yakni langsung dan tidak langsung yang dilihat dari proses pemba-yaran pajak yang dilakukan wajib pajak kepada pemerintah.

Pajak dalam klasifikasi modern di atas memang belum dikenal dalam Islam. Namun bukan berarti konsep pajak tidak ada dalam Islam. Dalam proses penataan daulat (pemerintahan) pada masa Rasulullah SAW dan para khalifah­ telah dikenal beberapa konsep yang terkait dengan pemasukan dan sumber keuangan negara, antara lain sebagai berikut.

Pertama, zakat, yaitu kewajiban mengeluarkan harta bagi orang Islam sebagai salah satu rukun Islam dalam waktu dan ukuran yang telah ditentukan.

Kedua, jizyah, yaitu pajak kepala yang dikenakan kepada orang non-Islam (ahl adz-dzimmah) yang hidup di dalam wilayah di bawah kekuasaan pemerintahan Islam. Dengan membayar jizyah, orang kafir zimi yang mengadakan­ perjanjian dzimmah mendapatkan perlindungan­ baik nyawa maupun harta dari penguasa Islam daerah tersebut. Kewajiban jizyah akan gugur apabila seseorang atau suatu negara menyatakan menjadi muslim atau darul Islam.

Ketiga, kharaj, yaitu pajak bumi yang berlaku bagi tanah yang diperoleh kaum muslim melalui peperangan yang kemudian dikembalikan dan digarap oleh pemiliknya. Sebagai imbalannya pemilik tersebut menyerahkan pajak bumi yang disebut kharaj kepada pemerintah Islam.

Kharaj pada dasarnya bukanlah tradisi khas Islam. Pada masa Ramses II (fir’aun Mesir pada masa Nabi Musa AS; 1304–1237 SM), kharaj telah dipungut atas tanah yang diperoleh penduduk dari raja sebagai ganti pemberian. Bahkan, menurut Abdul Khaliq an-Nawawi, penulis buku an-Nizam al-Mal fi al-Islam (Aturan Harta dalam Islam), kharaj telah dikenal sejak Persia (549 SM–641 M), Romawi (509 SM–476 M), Bizantium (395–1453 M), Dinasti Ptolemi (323–30 SM).

Dalam sejarah Islam, kharaj dikembangkan secara­ sistematis dengan pembentukan diwan (dewan/komisi) khusus pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (khalifah­ kedua; 634–644). Tanah taklukan Islam pada masanya tidak diambil, namun tetap diberikan­ kepada pemiliknya dengan mengambil kharaj dari hasil panen tanah tersebut. Pendapatan dari kharaj kemudian dikumpulkan­ dalam baitulmal, sebagai badan pengumpul keuangan.

Kharaj dipungut melalui dua cara: (1) muqasamah, yaitu cara pemungutan berdasarkan porsi yang telah ditetapkan, seperti setengah atau sepertiga dari hasil; cara ini biasanya diambil pada setiap kali musim panen; dan (2) wazifah, yaitu cara pemungutan dengan menetapkan bagiannya secara pasti, misalnya untuk kurma sebesar 10 dirham setiap jarib (sekitar 60 hasta).

Ada persamaan dan perbedaan antara jizyah dan kharaj. Perbedaannya adalah sebagai berikut:

(1) kharaj ditetap­kan berdasarkan ijtihad, sedangkan jizyah berdasarkan nas;

(2) batas minimal dan maksimal kharaj dibuat berdasarkan ijtihad, sedangkan batas minimal jizyah dibuat syarak dan batas maksimal menurut ijtihad; dan

(3) kharaj terkadang tidak gugur walaupun pemilik tanah sudah masuk Islam, sedangkan jizyah gugur apabila pemilik tanah masuk Islam.

Persamaan adalah sebagai berikut:

(1) ke­duanya berasal dari rampasan perang;

(2) objek keduanya adalah orang nonmuslim; dan

(3) keduanya diwajibkan setahun sekali.

Keempat, ‘usyur, yakni pajak perdagangan atau bea cukai (ekspor dan impor). Konsep ini pun baru diberlakukan­ pada masa Umar bin Khattab. Pajak ini diper­untukkan kepada para saudagar/pedagang yang hilir mudik masuk membawa dan mengeluarkan barang dagangannya pada masa Umar. Penghasilan dari ‘usyur ini dimasukkan ke baitulmal untuk dikumpulkan sebagai kas negara.

Kelima, dharibah ad-damm (pajak darah atau nyawa), yang dikaitkan dengan jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah) membela­ agama Allah SWT. Hal ini dilakukan dengan ketentuan bahwa jihad tersebut harus senantiasa selaras dengan kaidah dan norma yang telah ditentukan oleh Allah SWT.

Seorang muslim, dalam konteks masa modern, terbebani dua kewajiban kumulatif apabila ia telah memenuhi­ syarat dalam akti­vitasnya, yaitu mem­bayar pajak sebagai ke­wajiban warga negara dan membayar zakat sebagai kon­sekuensi seorang muslim men­jalankan perintah Allah SWT.

Kewajiban ini tentu sangat memberatkan,­ terutama apabila seorang muslim­ berada di suatu negara dengan ongkos pajak yang tinggi dan bukan di wilayah negara muslim. Dalam merespons permasalahan ini terdapat dua kelompok utama dalam fikih.

Kelompok pertama berpandangan bahwa kewajiban membayar zakat dan pajak tidak dapat disatukan tapi merupakan beban ku-mulatif seorang muslim. Ini adalah pandangan jumhur ulama, termasuk Imam Syafi‘i (767–820), Malik (712–796), dan al-Auza’i (w. 774).

Pijakan dasar kelompok ini antara lain adalah surah al-Baqarah (2) ayat 177 dan hadis Nabi SAW: “Dalam harta seseorang terdapat hak selain zakat” (HR. Daruqutni).

Majmu‘ al-Buhuts al-Islamiyyah (lembaga kajian Islam) di Mesir telah mengeluarkan fatwa senada dengan pandangan­ kelompok ini, yang berbunyi: “Bahwasanya pa­jak yang telah dikeluarkan untuk kepentingan negara tidak meniadakan keharusan menunaikan zakat yang diwajibkan (agama).”

Menurut pandangan kelompok ini, terdapat perbedaan prinsipil antara zakat dan pajak. Perbedaan tersebut meliputi berbagai aspek, seperti:

(1) sumber kewajiban (pajak dari ijtihad penguasa, sedangkan zakat dari syarak),

(2) objek/pelaku (pajak bagi seluruh warga negara, sedangkan­ zakat hanya bagi muslim),

(3) kriteria/syarat (pajak ditetapkan berdasarkan aturan negara dan bisa berubah tergantung pada kebijakan pemerintah, sedangkan zakat ditetapkan berdasarkan syarak [seperti aturan khumus atau 2,5%] atau ijtihad [seperti pajak profesi]),

(4) pos penggunaannya­ (zakat ditujukan kepada delapan asnaf yang ditetapkan Allah SWT dalam Al-Qur’an, sedangkan penggunaan­ pajak tergantung pada kebutuhan negara), dan

(5) hikmah (zakat untuk penyucian harta dan jiwa, sedangkan­ pajak untuk kesejahteraan sosial).

Kelompok kedua (minoritas, misalnya Imam Hanafi [699–767]) berpandangan bahwa tidak wajib dikeluarkan pajak untuk harta benda yang telah terkena zakat. Kebalik­annya, untuk harta benda yang telah terkena pajak tidak wajib dikeluarkan zakat.

Argumen kelompok ini meliputi antara lain

(1) hadis marfu‘ dari Ibnu Mas‘ud (w. 654 M): “Kewajiban zakat dan pajak tidak dapat berkumpul­ pada tanah milik orang Islam”;

(2) hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah: “Penduduk Irak enggan mengeluarkan zakat dan pajaknya”; dan

(3) riwayat lain menyatakan bahwa ketika Dihqan masuk Islam, Umar memerintahkan agar diserahkan tanah yang tadinya dikuasai­ umat Islam dan diambil pajaknya. Umar tidak menyebutkan­ kewajiban pengambilan zakat. Seandainya zakat wajib (secara ku­mulatif), pastilah Umar memerintahkannya.

Argumen kelompok kedua ini sangat lemah, dan telah dibantah oleh jumhur. Di Indonesia, pemikiran kelompok kedua ini dielaborasi lebih lanjut dengan memakai pen­ dekatan sosiologis yang berorientasi pada kemaslahatan oleh seorang intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), Masdar F. Masudi, dalam bukunya Agama Keadilan.

Seiring dengan pengakomodasian beberapa hukum Islam di Indonesia (misalnya: Undang-Undang Zakat, Wakaf, Haji, dan Undang-Undang Perkawinan), telah dibuat suatu peraturan perundang-undangan yang meringankan­ beban kumulatif kaum muslimin Indonesia dalam melaksanakan­ pembayaran zakat dan pajak.

Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa seorang muslim yang telah melaksanakan zakat (harta) dengan menunjukkan bukti resmi dari badan amil dapat meminta pengurangan pembayaran pajak penghasilannya.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. Pedoman Zakat. Jakarta: Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, 1982.
Masudi, Masdar F. Agama Keadilan. Jakarta: P3M, 1997.
Melina. “Pajak Kunci Kemandirian Pembiayaan Pembangunan,” Jurnal Pusat Pengkajian Fiskal dan Moneter, Edisi Khusus/VIII/1996.
al-Qardawi, Yusuf. Fatwa-Fatwa Mutakhir, terj. t.tp.: Yayasan al-Hamidi, 1996.
Sjadzali, Munawir, dkk. Zakat dan Pajak. Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1992.
Soemitro, Rochmat. Asas dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: Eresco, 1986.
Zuhdi, Masjfuk. Masa’il Diniyyah Ijtima‘iyyah. Jakarta: Gunung Agung, 1996.

Ahmadie Thaha