Kata at-taflis berasal dari akar kata yang sama dengan al-fulus (uang). Dalam fikih, pailit berarti “keputusan hakim berkaitan dengan utang seseorang sehingga orang tersebut dilarang bertindak hukum atas hartanya sendiri”. Orang yang dinyatakan pailit disebut muflis, yang biasanya dianggap tidak memiliki harta. Menurut syarak, muflis diartikan sebagai “orang yang terlilit utang dan tidak mampu membayar utangnya”.
Hak para hakim untuk menyatakan seseorang dalam keadaan pailit didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan ad-Daruqutni dan al-Hakim. Dalam hadis tersebut, Nabi SAW menyatakan Mu‘az (seorang sahabat) sebagai orang yang terlilit utang dan tidak mampu melunasinya. Rasulullah SAW lalu melunasi utang tersebut dengan sisa harta yang dimiliki Mu‘az.
Karena merasa piutangnya tidak sepenuhnya terlunasi, para pemberi utang melakukan protes kepada Rasulullah SAW. Nabi SAW kemudian menjawab, “Tidak ada yang bisa diberikan kepada kamu selain itu.” Berdasarkan hadis tersebut, hakim berhak melarang muflis bertindak hukum terhadap sisa hartanya. Ia juga berhak melunasi utang muflis dari sisa harta tersebut sesuai dengan persentase utangnya.
Pada dasarnya tindakan hakim melarang seseorang bertindak hukum terhadap hartanya sendiri secara umum tidak sejalan dengan tuntunan ajaran Islam yang menyatakan seseorang bebas untuk bertindak terhadap miliknya. Namun masalahnya, dalam harta orang tersebut terdapat harta orang lain yang harus ia lunasi.
Karena sisa harta tersebut tidak cukup untuk melunasinya, Islam memberi wewenang kepada para hakim untuk membagikan harta tersebut sebagai pembayar utang muflis tersebut, sekalipun tidak dapat lunas sepenuhnya. Pemberi utang harus rela dengan keputusan hakim tersebut karena hanya sebatas itu kemampuan yang ada pada muflis.
Unsur penting yang berkaitan dengan hukum bagi muflis adalah sebagai berikut:
(1) Status hukum muflis. Menurut Imam Hanafi, seorang muflis tidak harus dinyatakan sebagai orang yang berada di bawah pengampuan, dalam arti tidak cakap lagi bertindak secara hukum. Mereka juga tidak perlu ditahan (dipenjarakan).
Jika muflis dinyatakan sebagai orang yang berada di bawah pengampuan atau ditahan, berarti terjadi pengekangan terhadap kebebasan, kemanusiaan, dan kecakapan orang tersebut dalam bertindak hukum. Menurutnya, muflis tidak boleh dipaksa membayar dengan hartanya, tetapi ia diperintahkan hakim untuk melunasi utangnya.
Apabila perintah itu tidak dipatuhi, hakim berhak memenjarakannya sampai ia melunasi utangnya, karena melunasi utang merupakan kewajiban muflis tersebut. Adapun menurut Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (keduanya sahabat Imam Hanafi) serta jumhur fukaha, seseorang yang telah dinyatakan pailit boleh dianggap sebagai orang yang berada di bawah pengampuan dan tidak berhak untuk bertindak hukum terhadap harta yang dimilikinya.
Hal ini bertujuan untuk memelihara hak orang yang memberi utang kepadanya. Alasan yang dikemukakan Imam Abu Yusuf, asy-Syaibani, dan jumhur fukaha adalah hadis riwayat ad-Daruqutni dan al-Hakim di atas.
(2) Keputusan hakim yang menetapkan status hukum muflis berada di bawah pengampuan. Para ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa penetapan pailit pada seseorang hanya dapat diterima jika ditetapkan melalui putusan hakim. Jika putusan hakim belum ada, orang tersebut bebas melakukan tindakan hukum terhadap hartanya.
Mazhab Maliki mengemukakan pendapat tentang seseorang yang jatuh pailit sebagai berikut.
(a) Sebelum seseorang dinyatakan pailit, para pemberi utang berhak melarangnya untuk bertindak hukum terhadap harta yang masih dimiliki serta membatalkan segala tindak hukum yang membawa mudarat kepada hak mereka, seperti melakukan hibah, wakaf, dan sedekah terhadap hartanya. Namun jika bersifat jual beli, hal itu boleh dilakukan.
(b) Jika persoalan tidak sampai diajukan kepada hakim, orang yang pailit bisa melakukan perdamaian dengan pemberi utang. Dalam hal ini, orang yang dililit utang tersebut tidak boleh melakukan tindakan hukum yang bersifat pemindahan hak milik, seperti jual beli, hibah, wakaf, dan memberi piutang kepada orang lain. Para pemberi utang dibolehkan mengambil hartanya serta membagi-bagikannya kepada pemberi utang lainnya sesuai dengan persentase piutangnya.
(c) Adanya ketetapan hakim bahwa seseorang itu dinyatakan pailit. Untuk mendapatkan ketetapan hakim perlu ada gugatan dari pemberi utang (sebagian atau seluruhnya) kepada hakim dengan syarat utangnya melebihi harta yang dimiliki orang tersebut dan pembayarannya sudah jatuh tempo.
Jika ketetapan hakim telah ada, para pemberi utang berhak atas harta orang yang pailit tersebut sesuai dengan persentase piutang masing-masing. Menurut Mazhab Maliki, apabila seseorang telah dinyatakan pailit, segala tindakan hukumnya dinyatakan tidak sah.
Harta yang ada di tangannya menjadi hak para pemberi utang. Sebaiknya kepailitan orang tersebut diumumkan sehingga masyarakat lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dengan muflis tersebut.
Adapun Mazhab Hanafi, Syafi‘i, dan Hanbali berpendapat, seorang hakim boleh menyatakan pailit pada seseorang dengan ketentuan berikut.
(a) Apabila seluruh harta yang dimiliki orang tersebut telah terlilit utang atau jumlah utang orang tersebut lebih banyak daripada hartanya.
(b) Para pemberi utang melakukan tuntutan agar orang yang jatuh pailit ini dinyatakan berada di bawah pengampuan.
(3) Penghapusan hukum bagi muflis sebagai orang di bawah pengampuan. Mengenai hal ini, ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali mengemukakan dua pendapat.
Pertama, apabila harta muflis telah dibagi-bagikan kepada para pemberi utang sesuai dengan persentasenya (sekalipun tidak lunas), status di bawah pengampuannya dinyatakan hapus, karena sebab yang menjadikan ia berada di bawah pengampuan telah hilang. Mereka menganalogikan antara orang yang berada di bawah pengampuan karena pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan karena gila.
Bagi orang gila yang telah sembuh dari penyakitnya, statusnya sebagai orang yang berada di bawah pengampuan gugur dengan sendirinya, tanpa harus ditetapkan oleh keputusan hakim.
Demikian juga dengan muflis. Hal ini sejalan dengan kaidah usul fikih yang menyatakan: “hukum itu beredar sesuai dengan penyebabnya; apabila ada penyebabnya maka ada hukumnya, dan apabila penyebabnya, sudah hilang, keadaannya kembali seperti semula.”
Kedua, pembatalan status orang yang berada di bawah pengampuan harus dilakukan dengan keputusan hakim, karena penetapan ia berada di bawah pengampuan juga berdasarkan keputusan hakim, Dalam hal ini, Dr. Wahbah az-Zuhaili (guru besar fikih dan usul fikih Fakultas Syariah Universitas Damascus) menyatakan bahwa ketetapan hakim dalam menentukan status seseorang berada di bawah pengampuan harus mempunyai syarat.
Apabila syarat tersebut dipenuhi oleh orang yang dinyatakan pailit, secara otomatis statusnya bebas dari pengampuan tanpa harus melalui ketetapan hakim terlebih dahulu. Namun, kebebasan statusnya ini perlu disebarluaskan agar masyarakat mengetahuinya, sehingga tidak merugikan dirinya dalam melakukan transaksi ekonomi.
Daftar Pustaka
al-Buga, Mustafa. Fiqh al-Mu‘awadah. Damascus: Dar al-Mustaqbal li at-Tiba‘ah, 1981.
al-Khatib, Muhammad Ajaj. al-Mujaz fi Ahadits al-Ahkam. Damascus: Mat-ba‘ah al-Jadidah, 1975.
al-Kurdi, Ahmad al-Hajji. Fiqh al-Mu‘awadah. Damascus: Matabi’ Mu’asasah al-Wahdah, 1981.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1980.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
Nasrun Haroen