Muhasibi

(Basrah, Irak, 165 H/781 M–Baghdad,­ Irak, 243 H/857 M)

Muhasibi (lengkap: Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Baghdadi al-Muhasibi) adalah seorang sufi dan ulama besar Irak yang menguasai beberapa bidang ilmu, seperti hadis dan fikih. Ia dikenal dengan nama Muhasibi di kalangan pengikut serta ulama sesudahnya. Sebutan al-Basri diberikan karena ia lahir di Basrah, sedangkan al-Baghdadi karena meninggal di Baghdad.

Muhasibi senantiasa menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa. Ia juga sering kali mengintrospeksi­ diri menurut amal yang dilakukannya. Muhasibi adalah seorang penulis yang meninggalkan beberapa­ karya tulis dan kitab, termasuk kitab mengenai dasar-dasar keagamaan dan kezuhudan.

Ia merupakan tokoh tarekat besar yang mempunyai­ banyak murid. Para muridnya meng­hormati dan memuliakannya karena kelua­san ilmu dan kelurusan tarekatnya. Tarekatnya dinamakan Tarekat Muhasibiyah.

Dalam bidang hadis, ia merupakan salah se­orang perawi hadis terkenal. Ia menerima hadis dari ulama hadis seperti Yazid bin Harun (w. 203 H/819 M), dan kemudian meriwayatkan­nya­ kepada para perawi lain, seperti Ahmad al-Hasan bin Abdul Jabbar as-Sufi (w. 250 H/864 M), Ahmad al-Qasim bin Nasr al-Faraidi, dan Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad as-Sufi.

Muhasibi merupakan guru bagi kebanyakan ulama di Baghdad. Orang yang paling banyak men­dapat­kan ilmu darinya dan dipandang sebagai murid terdekatnya adalah al-Junaid al-Baghdadi (Abu al-Qasim al-Junaid bin Muham­ mad al-Junaid, w. 298 H/911 M), yang kemudian menjadi seorang sufi dan ulama besar Baghdad.

Muhasibi menuliskan sejumlah buku. Menurut Abdul Mun‘im al-Hifni, seorang ahli tasawuf Mesir, Muhasibi me­nulis kurang lebih 200 buku. Kitab yang ditulisnya antara lain adalah ar-Ri‘ayah li huquq Allah (Penjagaan terhadap Hak Allah), al-‘Aql (Akal), al-Makasib (Keberuntung­an),­ al-Wahaya (Wasiat), dan al-Masa’il fi A‘mal al-Qulub wa al-Jawarih (Berba­gai Masalah mengenai Perbuatan Hati dan Anggota­ Badan).

Di kalangan para sufi, bukunya yang pertama adalah yang paling terkenal, karena dijadikan rujukan­ utama bagi para sufi, tidak hanya oleh para sufi yang hidup semasa dengannya, tetapi juga oleh para sufi yang hidup pada masa sesudahnya.

Sufi yang paling banyak menggunakan­ buku itu sebagai rujukan tulisannya adalah Imam al-Ghazali (450 H/1058 M–505 H/1111 M). Bahkan buku terkenal Imam al-Ghazali, Ihya’‘Ulum ad-Din (Menghidupkan­ Kembali Ilmu Agama), dini­lai sebagai buku yang paling banyak mengambil dari buku ar-Ri‘ayah karya Muhasibi, sehingga ada ungkapan yang menyatakan bahwa seandainya tidak ada buku ar-Ri‘ayah, tidak akan ada Ihya’‘Ulum ad-Din.

Dalam pandangan Imam al-Ghazali, Muhasibi adalah orang yang paling menguasai ‘ilm al-mu‘amalat (pengetahuan tentang tata krama pergaulan hidup) yang disebut dengan ‘ilm al-akhlaq an-nafsaniyyah. Sistem pengajaran tasawuf yang dilakukan Muhasibi terhadap muridnya tidak berbeda dengan­ cara yang dilakukan Socrates (filsuf Yunani, 470–399 SM) dengan cara dialektika­ nya (al-munaqasyah: tanya jawab dan diskusi)­. Para muridnya mengajukan berbagai pertanyaan kepadanya­ dan ia kemu-dian menjawabnya.

Suatu ketika ia ditanya tentang beberapa hal yang berakaitan dengan soal muhasabah (mengintrospeksi/menghisaab diri sendiri). “Dengan apa jiwa itu dihisab?”.

Ia menjawab, “Jiwa itu dihisab dengan akal.” Ia dita­nya lagi, “Dari mana datangnya hisab itu?.” Ia menjawab, “Hisab itu datang dari adanya rasa takut akan kekurangan, hal-hal yang merugikan, dan adanya keinginan untuk menam­bah keuntungan.”

Hisab (muhasabah), dalam pandangan­ Muhasibi, mewariskan­ nilai tambah dalam berpikir (bahirah), kecerdikan, dan mendidik untuk mengambil keputusan yang lebih cepat, memperluas­ pengetahuan, dan semua itu didasarkan atas kemampuan hati untuk mengontrolnya.

Ketika ditanya,­ “Dari mana sumber keterlambatan­ akal dan hati untuk menghisab jiwa?” Ia men­ jawab, “Keterlambatan­ itu disebabkan oleh karena hati. Dalam keadaan demikian hati sangat didominasi oleh ke­kuatan hawa nafsu dan syahwat yang kemudian menguasai akal, ilmu, dan argumen.” Ketika ditanya,­ “Dari mana kebenaran datang?” Ia menjawab,­

“Kebenaran itu datang karena pengetahuan kita bahwa Allah SWT Maha Mendengar dan Maha Melihat. Pengetahuan itu merupakan dasar bagi kebenaran dan kebenaran merupakan dasar segala perbuatan baik. Karena kemampuan dan kekuatan kebenaran itulah, seorang hamba dapat meningkatkan segala perbuatan baik dan kebajikannya­.”

Ketika ditanya tentang pengertian syukur, ia menjawab bahwa syukur itu adalah adanya kesadaran­ seseorang bahwa nikmat itu hanya datang dari Allah SWT. Tidak akan ada nikmat yang diberikan kepada semua makhluk di langit dan bumi ini, kalau­ Allah SWT tidak memberinya.

Sabar dalam pandangannya adalah kesanggupan jiwa untuk menahan segala penderitaan dan mengerjakan­ hal yang diperintahkan.

Seorang ma­nusia dapat mencapai tingkat rida kepada Allah SWT, apabila hatinya mengetahui bahwa Allah SWT Maha Adil dalam keputusan­-Nya. Apa yang dipilihkan Allah SWT bagi orang itu adalah lebih baik daripada ia memilih sendiri untuk dirinya­.

Tarekat yang dikembangkan Muhasibi di­dasarkan atas tiga pokok, yaitu al-muhasabah (asas introspeksi diri/berhisab diri) seperti yang telah disebutkan di atas, al-muwazanah (asas keseimbangan/menimbang­ diri), dan al-muraqabah (asas pengawasan/mengawasi­ diri).

Al-muwazanah menurut­ pendapatnya adalah menimbang diri antara beriman dan kafir, antara bersikap jujur dan dusta, dan antara bertauhid dan syirik. Asas al-muraqabah didasarkan­ atas pandangannya bah­ wa manusia­ bukanlah sesuatu yang ada tanpa Allah SWT, dan ia tidak akan mencapai sesuatu kecuali apa yang diridai Allah SWT.

Karena itu, ia berpendapat bahwa­ orang yang bertakwa kepada Allah SWT dengan­ ketakwaan sesungguhnya akan diselamatkan-Nya dari kejahatan orang lain. Ia memegang prinsip bahwa jika manusia itu baik maka manusia lain akan baik pula karenanya, dan jika ia rusak, orang lain juga rusak karenanya.

Musuh yang paling dekat dengan diri­nya adalah tabiatnya yang buruk, sedangkan wali dan pelindungnya yang paling de­kat dengan dirinya adalah tabiatnya yang baik.

Muhasibi mempunyai pandangan bahwa jika ingin melakukan pengawasan dirinya, manusia harus melakukan tiga perkara, yaitu takut kepada Allah SWT (taqwa Allah), malu kepada Allah SWT (istihya’ li Allah), dan cinta kepada Allah SWT (hubb Allah).

Orang yang takut kepada Allah SWT adalah orang yang senantiasa merasa diawa­si Allah SWT. Orang yang malu kepada Allah SWT adalah orang yang senantiasa diawasi karena merasa memiliki banyak kekurangan terhadap Allah SWT; dan orang yang mencintai Allah SWT adalah orang yang senantiasa merasa bahwa segala kegiatannya dan kemura­ han hatinya diawasi Allah SWT.

Mencintai Allah SWT berarti taat kepada­ Allah SWT dengan melaksanakan segala yang diwajibkan dan meninggalkan­ segala larangan­-Nya. Semua itu ber­sumber dari kecintaan Allah SWT terhadap hamba-Nya.

Kecintaan hamba-Nya terhadap Allah SWT juga merupakan cinta Allah SWT terhadap hamba-Nya. Allah SWT sendiri yang memulai mencintai, lalu Ia memperke­nalkan diri-Nya kepada hamba-Nya dan menunjuki hamba-Nya itu untuk mentaati perintah-Nya.

Di samping ajaran yang dikemukakan di atas, Muhasibi mempunyai konsep al-mahabbah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Menurut pendapatnya, cinta kepada Allah SWT adalah­ rindu kepada-Nya. Rasa rindu itu merupakan pe­ringatan bagi hati untuk melihat sesuatu yang dirindukan karena orang yang mencintai senantiasa merasa rindu kepada keka­sihnya.

Dalam pandangan Muhasibi, kecintaan itu dapat direalisasikan melalui anggota badan,­ dengan­ melakukan berbagai amalan yang diperintah­kan­ dan meninggalkan­ larangan Nya serta melalui ucapan dalam bentuk zikir dan istigfar. Kecintaan kepada Allah SWT merupa­kan sinar kegembiraan bagi hati, ka­rena hati sangat dekat dengan Yang Dicintai.

Ajaran tasawuf menurut Muhasibi sangat berkaitan­ erat dengan teori muhasabah-nya. Ia berpendapat­ bahwa Allah SWT mewajibkan hamba-Nya untuk bertawakal ke­ padaNya sebagaimana Ia mewajibkan hamba-Nya bekerja untuk mendapat rezeki yang diperlukan­ bagi kehidup­annya­.

Kesemuanya itu berdasarkan­ atas warak, yaitu menjauhkan diri dari segala yang tidak disukai­ Allah SWT. Warak dapat dicapai melalui­ muhasabah.

Menurutnya, warak bertingkat-tingkat. Tingkatan­ yang paling tinggi adalah zuhud. Siapa saja yang diberikan Allah SWT sikap penyerahan diri, segala kegelisahannya akan hilang dan jiwanya menjadi tenteram.

Siapa saja yang bertawakal­ kepada Allah SWT akan mencapai keridaan-Nya yang merupakan nikmat paling besar yang diberikan Allah SWT kepada hamba yang dicintai-Nya.

Ajaran tasawuf yang dikembangkan Muhasibi tidak berdasarkan atas maqam (tingkat pendekatan­ kepada Allah SWT), tetapi berdasarkan ahwal (keadaan untuk men­ dekatkan diri kepada Allah SWT).

Maqam adalah sejumlah amalan yang harus diupayakan secara sungguh-sungguh, sedangkan ahwal adalah pengertian yang berhubungan dengan seorang hamba yang bersumber dari Allah SWT.

 

Daftar Pustaka

al-Asqalani, Ibnu Hajar. Tahdzib at-Tahdzib. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
‘Ata’, Abdul Qadir Ahmad. al-Masa’il fi A‘mal al-Qulub wa al-Jawarih wa al-Makasib wa al-‘Aql. Cairo: ‘Alam al-Kutub, 1969.
al-Hifni, Abdul Mun‘im. al-Mausu‘ah ah-hufiyyah. t.tp: Dar ar-Rasyad, 1992.
asy-Syaibi, Kamil Mustafa. ah-hilah baina at-Tasawwuf wa at-Tasyayyu‘. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1969.

A. Thib Raya