dikenal sebagai seorang feminis dan pelopor gerakan perempuan muslim. Ia meredefinisi hidup perempuan muslim, menyuarakan ketimpangan gender serta dominasi laki-laki, menentang hegemoni patriarkat, dan memperjuangkan tatanan gender yang egaliter dalam keluarga, komunitas, dan bangsa.
Kepeloporan Fatima Mernissi terutama terletak pada usahanya untuk mengkaji Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW secara mendalam untuk mengungkap latar belakang sesungguhnya kesenjangan gender dalam tradisi yang berkembang di kalangan umat Islam.
Ia lahir dari keluarga kelas menengah. Pendidikan pertama ia peroleh dari sekolah tradisional yang didirikan kaum nasionalis Maroko. Adapun pendidikan tingginya dimulai dengan belajar di Universitas Muhammad V di kota Rabat, Maroko, di bidang sosiologi dan politik.
Setelah menamatkan program sarjana di universitas tersebut, ia melanjutkan studinya di Paris, lalu menyelesaikannya di Amerika Serikat pada 1973 dengan meraih gelar “doktor” di bidang sosiologi dari Universitas Brandeis.
Sejak berusia muda ia sudah mencitrakan diri sebagai seorang aktivis. Pada masa remajanya ia aktif dalam gerakan menentang kolonialisme Perancis. Selama menuntut ilmu di Paris, ia sempat bekerja sebentar sebagai wartawan.
Setelah menyelesaikan tingkat pendidikan doktoralnya di Amerika Serikat dan kembali ke Maroko, ia bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas Muhammad V, tepatnya pada Jurusan Sosiologi. Hingga tahun 2000 Mernissi menekuni bidang penelitian di l’Université de Recherche Scientifique (Universitas Riset Ilmu Pengetahuan), Maroko.
Sebagai seorang penulis produktif, ia menulis banyak ar-tikel di berbagai jurnal ilmiah dan juga buku-buku. Ia menulis secara teratur isu perempuan di berbagai media populer di negerinya. Bukunya yang terkenal, yang telah menempatkannya ke posisi penting, adalah Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society (Bloomington: Indiana University Press, 1987). Dalam buku ini ia secara kritis mengkaji konteks historis hukum dan tradisi muslim.
Mernissi menyatakan bahwa pesan asli Nabi Muhammad SAW adalah menyerukan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya, sikap wanita muslimat yang pasif, pendiam, dan penurut seperti didambakan oleh kaum laki-laki sebenarnya tidak sejalan dengan hakikat ajaran Islam.
Ia berpendapat bahwa ajaran Islam yang autentik telah disalahtafsirkan oleh para pemimpin politik dan agama, sehingga menghasilkan konstruksi yang memanipulasi dan mendistorsi teks-teks agama untuk mempertahankan sistem patriarkat.
Kenyataan yang memojokkan kaum wanita kembali diungkapkannya pada “Pendahuluan” buku The Forgotten Queens of Islam. Berkenaan dengan para ratu yang pernah berkuasa di kerajaan Islam pada masa silam, Mernissi menyatakan, “Tak seorang pun di dunia muslim yang luas ini pernah memikirkan tentang mereka.
Tidak ada pihak berwenang yang mempedulikan mereka.” Pada masa sekarang, menurutnya, “Jarang sekali ada lembaga yang memperhitungkan kaum wanita. Dalam kebanyakan kasus, parlemen muslim, dewan rakyat, atau dewan revolusi hanya menampung satu jenis kelamin.
Satu jenis kelamin berunding dan berusaha mengatur permasalahan yang dihadapi jenis kelamin lainnya tanpa kehadiran jenis kelamin tersebut. Ini jelas bukan cara terbaik untuk memecahkan permasalahan jenis kelamin yang berunding maupun yang tidak hadir, dan juga bukan untuk memecahkan permasalahan di mana keduanya membutuhkan adanya dialog.” Lebih lanjut ia berkata, “Kita dapati diri kita masih terpisah dari politik.”
Kenyataan menyakitkan dalam kehidupan wanita muslimat serta perjuangan mereka melawan kemiskinan, buta huruf, dan penindasan seksual juga dapat dibaca pada bukunya, Doing Daily Battle (1989). Buku tersebut merupakan kumpulan wawancara beranotasi dengan penduduk Maroko.
Ungkapannya jelas sekali menunjukkan kepada para pembaca bahwa di dunia Islam terjadi demikian besar ketimpangan gender dan dominasi laki-laki atas perempuan. Dalam buku itu ia juga mengatakan, “Tidak ada bentuk feminin kata imam atau khalifah, dua kata yang membentuk konsep kekuasaan dalam bahasa Arab, yaitu bahasa di mana Al-Qur’an diwahyukan.”
Ketersudutan wanita muslimat itu, menurutnya, pertamatama disebabkan oleh banyaknya hadis palsu (tidak sahih) yang bertentangan dengan semangat egalitarianisme yang dibawa Nabi SAW.
Mernissi menilai bahwa hadis Nabi SAW, yang merupakan sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an, telah mengalami banyak penyimpangan dan manipulasi. Hadis yang misoginistik (kebencian pada perempuan) terus diabadikan.
Salah seorang perawi hadis yang mendapat sorotan tajam Mernissi adalah Abu Hurairah. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa Abu Hurairah tidak mempunyai pekerjaan yang menunjukkan sifat kejantanan; selain menghabiskan waktu bersama Nabi SAW, ia juga mengisi sebagian waktunya dengan menjadi pembantu di rumah kediaman para wanita.
Ia juga terlibat dalam persaingan keras dengan Aisyah yang sering menyerangnya karena pemahamannya buruk terhadap berbagai masalah hadis.
Ia juga menyatakan bahwa Umar, khalifah kedua, ikut bertanggung jawab atas dominasi lelaki itu. Menurutnya, Umar yang diakui memiliki sejumlah kualitas mengagumkan itu ternyata memiliki sikap keras terhadap perempuan. Oleh karena itu, Mernissi menilai Umar sebagai wakil kalangan (laki-laki) yang menolak egalitarianisme yang dibawa Rasulullah SAW.
Sehubungan dengan itu, Mernissi mengajak semua pihak untuk membaca dan mengkaji ulang masalah yang berkaitan dengan perempuan, yang selama ini sudah dianggap selesai. Ia berusaha merebut kembali wacana ideologis mengenai perempuan dari cengkeraman sistem patriarkat, mengajak kaum muslimat agar “memberontak” terhadap sistem ideologi dan politik yang membungkam dan menindas mereka.
Melalui karyanya itu ia juga ingin memberi bekal kepada para perempuan. Dalam bukunya, Islam and Democracy: Fear of Modern World (1992), ia berseru kepada kaum muslimat khususnya dan kaum muslim pada umumnya untuk merebut kembali hal terbaik dari tradisi Islam pada masa awal, yang berhubungan dengan gagasan kesetaraan, demokrasi, keterdidikan, dan kesejahteraan.
Untuk itu, Mernissi menunjuk Sukainah binti Husein bin Ali bin Abi Thalib sebagai figur ideal perempuan Islam, karena ia menolak hijab dan pernah memaksa salah seorang suaminya (ia diceritakan bersuamikan lima atau enam orang) untuk memberikan hak nusyuz (pemberontakan terhadap kontrol perkawinan) dan menuntut diberlakukannya peraturan monogami.
Semua yang dilakukannya itu, menurut Mernissi, merupakan simbol pemberontakan perempuan terhadap penindasan, despotisme tradisi Islam, dan segala sesuatu yang mengungkung kebebasan individu, termasuk hijab.
Sebagai salah seorang feminis Islam kenamaan, pengaruh Mernissi meluas melampaui batas negaranya. Sebagai seorang aktivis, ia dianggap sebagai figur publik, khususnya di kalangan feminis, baik di negerinya sendiri maupun di mancanegara. Ia aktif di berbagai forum promosi hak kaum muslimat.
Namun sebagai seorang warga negara Maroko, tidak dapat dipungkiri kepedulian pertama dicurahkannya kepada masyarakat dan budaya Maroko. Banyak bukunya telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, seperti Inggris, Jerman, Belanda, Jepang, dan Indonesia.
Daftar Pustaka
Ahmed, Leila. Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate. New Haven: Yale University Press, 1992.
Agustina, Nurul. “Tradisionalisme Islam dan Feminisme,” Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, edisi khusus 5 tahun UQ, No. 5 dan 6, Vol. V, 1994.
Kandiyoti, Deniz, ed. Women, Islam and the State. London: Macmillan, 1991.
Mernissi, Fatima. Islam dan Demokrasi. Yogyakarta: LKiS, t.t.
–––––––. Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, terj. Bandung: Mizan, 1994.
–––––––. Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti. Bandung: Penerbit Pustaka, 1994.
Badri Yatim