Mas Mansyur

(Surabaya, 25 Juni 1896–Surabaya, 25 April 1946)

Mas Mansur adalah seorang tokoh pergerakan Islam mod­ern dan pahlawan nasional. Ia berasal dari keluarga pesant­ren. Ayahnya, Kiai Mas Ahmad Marzuki, adalah seorang ula­ma di Jawa Timur. Ia aktif dalam Sarekat Islam dan Muham­ madiyah. Ketokohannya di bidang politik tampak ketika ia menjadi anggota “empat serangkai” (Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara, Mas Mansur). Ia sering menyumbang­ kan pikiran (pidato dan tulisan) di berbagai media.

Mas Mansur mendapat pendidikan tradisional dari ayahn­ya sampai umur 10 tahun. Kemudian ia dikirim ke Pesantren Bangkalan, Madura, dengan kiainya yang terkenal pada masa itu, Kiai Khalil. Ia belajar di Bangkalan selama 2 tahun, dan pada usia 12 tahun, yaitu 1908, ia berangkat­ ke Mekah.

Di Mekah ia belajar agama pada KH Mahfuz dari Pesantren Termas (Jawa Timur). Pada 1912 ia berangkat ke Mesir den­ gan tujuan belajar di Universitas al-Azhar; di samping itu, ia belajar juga pada Syekh Ahmad Maskawi.

Di Mesir inilah Mas Mansur mu­lai melihat kebangkitan nasionalisme dan gerakan pembaruan yang dilakukan putra-putra Mesir yang kelak menjadi bekal dalam kegiatannya di Indo­nesia. Selama di Timur Tengah, Mas Mansur juga sempat mengunjungi Libya yang pada saat itu sedang berjuang melawan penjajah Italia.

Di Libya Mas Mansur mengunjungi lembaga pendidikan sep­ erti pesantren di Indonesia yang berada­ di tengah padang­ pasir bernama Syanggit, dan ia terkesan dengan­ itu.

Karena Perang Dunia I berkecamuk, ia pulang ke Indonesia­ melalui Mekah 1913. Kemudian ia di sana menggabungkan­ diri dengan sekolah Nahdlatul Wathan sebagai seorang guru di tempat Abdul Wa­hab Hasbullah juga mengajar.

Tetapi segera Mas Mansur meninggalkan sekolah ini karena tidak setuju­ dengan cara yang berlaku di situ. Ia kemudian­ mendirikan sebuah madrasah dengan na­ma Hizbul Wathan (artinya: tentara tanah air). Kemudian setelah Muhammadiyah mendirikan pandu Hizbul Wathan (H.W.), nama madrasah ini diubah menjadi Madrasah Mufidah.

Bersa­ma HOS Tjokro­aminoto, Mas Mansur mendirikan organisasi Ta’mir al-Gafilin yang bertu­ juan untuk meningkatkan­ kesadaran agama masyarakat. Kedatangan­ KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah)­ ke Surabaya yang sering melakukan tabligh­ pada 1920 membuat Mansur tertarik pada pemikiran­ dan pribadinya.

Kemudian Mas Mansur menyatakan diri masuk Muhammadiyah, dan pada 1 November 1921 berdirilah­ cabang Muham­madiyah di Surabaya dengan Mas Mansur sebagai ketuanya.

Setelah ber­diri cabang tersebut, KH Mas Mansur mencetuskan banyak gagasan dan melakukan­ lang­ kah untuk merealisasikan amal organisasi tersebut. Pada 1922 didirikan Hizbul Wathan cabang Surabaya.

Majlis Tarjih Muhammadiyah (tarjih = menguatkan)­ juga lahir pada 1928 di Yogyakarta atas inisiatifnya yang diusul­kan dalam Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan 1927.

Ia pula yang menjadi ketua pertama Majlis tersebut dan jabatan itu tetap dipegang sampai 1937 ketika ia menja­di ketua umum PB Muhammadiyah berdasarkan keputusan kongres ke-37 di Yogyakarta­.

Karena jabatannya itu ia pindah ke Yogyakarta­ dan meninggalkan jabatan sebelum­nya seba­gai ketua Muhammadiyah cabang Surabaya. Jabatan­ ketua umum PB Muhammadiyah dipegangnya selama 6 tahun (dua periode) dari 1936–1942 yang terkenal dengan sebutan “periode KH Mas Mansur”.

Pada 1938 ia menciptakan 12 butir prinsip dalam organi­ sasi itu yang terkenal­ dengan nama “Langkah Muhammadiyah­ 1938–1940” atau “Langkah Dua Belas”, yakni mem­perdalam masuknya iman, memperluas paham agama, memperbuah­kan budi pekerti, menuntut amalan intikad, menguatkan persatuan, menegaskan keadilan, melakukan kebijaksanaan, menguatkan Majlis Tanwir (tanwir = me­nerangkan), meng­adakan konferensi bagian, memusyawarahkan­ keputusan,­ mengawasi gerakan dalam, dan memper­sambungkan ger­akan luar.

KH Mas Mansur seorang penyabar, tenang, dan rendah hati. Hal itu terlihat dalam perdebatannya dengan H. Abdul Karim Amrullah di Bukittinggi menjelang Kongres Muham­madiyah ke-19 (1930), mengenai boleh tidaknya seorang wanita berbicara di muka hadirin laki-laki.

Ia menunjukkan sikap orang yang belajar dan tidak kelihatan meng­gurui. Busana sehari-harinya sarung pelekat warna gelap, baju jas tutup putih, dan peci hitam. Kadang-kadang ia mengenakan­ serban. Ia banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu tafsir, tasawuf, ilmu kalam, filsafat, dan mantik. Pandan­

gannya luas dan terbuka dalam me­nerima pikiran baru dan modern. Ia juga seorang tokoh masyarakat yang disegani karena ilmu dan kepribadiannya.

Sejak di Timur Tengah, Mas Mansur telah berkenalan­ den­ gan tokoh pergerakan di Indonesia,­ seperti KH Abdul Halim, pendiri Persyari­katan Ulama di Majalengka 1917.

Setibanya di Indonesia, Mansur memasuki Sarekat Islam dan pada waktu diadakan Central Sarekat Islam, ia dan KH Ahmad Dahlan, keduanya dari Muhammadiyah, terpilih menjadi penasi­ hat. Pada 1926 Mas Mansur diangkat sebagai ketua MAIHS (Mu’tamar al-‘Alam al-Islami Far’ al-Hindi asy-Syarqiyyah = Kongres Islam Hindia Timur).

Berdasarkan rapat para pembaru di Cianjur, Jawa Barat, 8–10 Januari 1926 dan Kongres al-Islam ke-5 di Bandung, 6 Februari 1926, Mas Mansur dan HOS Tjokroaminoto dari SI dikirim ke Mekah untuk mengikuti kongres.

Keberangka­tan Mas Mansur dan HOS Tjokroaminoto itu menyebabkan­ perselisihan kaum muda dengan kaum tua. Kaum tua atau kaum tradisional dengan tokohnya KH Abdul Wahab Hasbul­ lah (pendiri NU dan pembina Pesantren­ Tambak Beras, Jom­bang) mengajukan usul kepada utusan yang akan berangkat­ ke kongres Mekah untuk menyampaikan pesannya kepada penguasa Arab Saudi (dalam hal ini Ibnu Sa’ud), yakni agar ke­ biasaan agama seperti membangun kuburan, membaca doa, dan ajaran mazhab, dihormati oleh kepala negeri­ Arab yang baru di negaranya, termasuk di Mekah dan Madinah.

Akan tetapi, usul itu ditolak dalam kongres di Bandung (1926). Hal ini menyebabkan­ Wahab beserta tiga penyokongnya keluar dari komite khilafah (kekhalifahan) tersebut.

Pada 1937 diadakan suatu pertemuan oleh tokoh dan alim ulama dari berbagai unsur organisasi Islam. Komite pertemuan itu adalah KH Ahmad Dahlan, KH Abdul Wa­hab Hasbullah, dan KH Mas Mansur. Setelah mengadakan pembicaraan,­ mereka sepakat untuk mendirikan sebuah wadah­ yang diberi nama Majlis Islam Luhur dengan ketua W. Wandoamiseno.

Mas Mansur sendiri menjadi bendahara. Setelah organisasi ini berubah menjadi Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan pada 1940 membentuk Dewan MIAI, KH Mas Mansur didudukkan sebagai anggota dewan­. Pada 1938 di Surakarta didirikan Partai Islam Indonesia yang di­prakarsai 23 ulama dan tokoh Islam.

Salah seorang adalah KH Mas Mansur yang duduk dalam kepengurusan­ sebagai anggota (komisaris), kemudian mewakili partai tersebut dalam unsur pimpinan Gabungan Politik Indonesia (Gapi).

Pada masa Jepang KH Mas Mansur tampak se­makin meluaskan wawasan dan kiprah perjuangannya­. Ia pergi ke ibukota dan menyerahkan jabatannya­ sebagai ketua umum Muhammadiyah kepada­ Ki Bagus Hadikusumo yang pada waktu itu menjadi wakil ketua.

Perjuangan politik pada masa Jepang dilakukan KH Mas Mansur bersama Abdul Kahar Muzakkir (keduanya dari Mu­ hammadiyah). Mereka mengadakan pertemuan­ dengan para pembesar Jepang dan mengemukakan­ secara terus terang agar Jepang tidak turut campur dalam urusan agama.

KH Mas Mansur juga menjadi anggota “empat serangkai” bersama Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara dalam gerakan Djawa Hookokai (Kebaktian­ Rakyat Jawa). Ketika Jepang melakukan pertempuran­ dengan pihak Sekutu, Jepang menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dengan­ harapan dibantu dalam pertempurannya.

Untuk menyelidiki kebenaran­ janji pihak Jepang, dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 April 1945. KH Mas Mansur menjadi salah seorang anggota badan ini.

Walaupun sangat sibuk dalam aktivitas organisasi­ baik sosial maupun politik, KH Mas Mansur menyempatkan diri untuk tetap menulis di media massa yang ada pada waktu itu, seperti Adil dan Suara Muhammadiyah.

Artikel yang ditulisnya antara lain adalah “Memperkatakan Gerakan Pemuda” dalam Adil. Dalam tulisan tersebut ia mencoba mempertemukan ajaran Islam dengan paham nasionalisme yang mengajarkan cinta tanah air.

Ia dalam­ tulisan tersebut dengan terang-teran­gan memanggil­ kaum muda untuk mencintai tanah air karena­ hal itu tidak termasuk ‘asabiyyah (fanatisme) yang dilarang ajaran agama. Tulisan ini sangat dipuji Soekarno dan menyatakan, “Yang menulis itu adalah Kiai Haji Mas Mansur, ketua Pengurus Besar­ Muham­madiyah,­ salah seorang ulama Indonesia­ yang paling terkenal.”

Adapun tulisan yang berupa­ buku antara lain adalah 12 Tafsir Langkah Muhammadiyah, yang diterbitkan PP Muhammadiyah­ Majlis Tabligh 1984. Isi buku merupakan intisari dari pelajaran yang diberikan KH Mas Mansur pada setiap malam Selasa untuk peng­urus Muhammadiyah.

Salah satu hal penting yang dikemukakan KH Mas Mansur dalam buku ini adalah­ pendapatnya bahwa hukum agama itu dapat berubah-ubah karena perubahan orang dan tempat. Agama itu ringan dan tidak mengikat paham.

Tujuan agama adalah membawa rahmat untuk seluruh­ umat. Oleh sebab itu, ag­ama selalu mendatangkan kemudahan dan menghilangkan­ kesempitan.

Pemikiran lain dari KH Mas Mansur adalah pendapatn­ ya tentang Islam tanpa mazhab. Menurutnya,­ Islam harus langsung dipahami dari sumbernya: Al-Qur’an dan sunah.

Penerimaan yang tidak kritis terhadap segala pendapat yang dihasilkan otoritas tertentu yang memiliki mazhab tidak dap­ at dibenarkan. Nilai guna dari mazhab tidak lebih merupakan salah satu alat belaka yang menjadi petunjuk jalan untuk menuju apa yang dimaksud Al-Qur’an dan sunah.

Mazhab tidak harus diterima sebagai kebenaran mutlak. Tiap-tiap qaul (pendapat) dalam mazhab harus diteliti untuk ditarjihkan,­ mana yang lebih kuat. Pemikiran ini diuraikan­ KH Mas Mansur dalam Kongres Muham­madiyah ke-16 di Pekalongan 1927 waktu ia mengusulkan Majlis Tarjih Muhammadiyah­.

 

DAFTAR PUSTAKA

BKP Yogyakarta. Melati Tunas Pemuda Muhammadiyah. Yogyakarta: PP. Mu­ hammadiyah, 1971.
HAMKA. Muhammadiyah di Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1975.
Subagijo I.N. K.H. Mas Mansur Pembaharu Islam di Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1982.

USEP DEDI ROSTANDI