Mansoer Daoed Datuk Palimokayo adalah seorang ulama besar, tokoh adat Minangkabau, dan diplomat Indonesia. Karena berjasa kepada bangsa dan negara sebelum dan sesudah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan penghargaan kepadanya sebagai seorang perintis kemerdekaan Republik Indonesia.
Mansoer Daoed Datuk Palimokayo mengawali pendidikannya dari sekolah desa, lalu melanjutkannya ke Vervolg school (Sekolah Sambungan) di kampungnya, Balingka, dan Gouvernement Hollandsch Inlandsche School (Sekolah Dasar Negeri) di Lubuksikaping.
Namun, ia tidak dapat menyelesai kan pelajarannya di sekolah tersebut karena harus pindah ke Padangpanjang. Di kota inilah ia menamatkan pelajarannya di Gouvernement Hollandsch Inlandsche School. Setelah itu, ia belajar agama Islam di Sumatra Thawalib pada sore hari dan belajar di Diniyah School yang diasuh Zainuddin Labay el-Yunusy (1890–1924) di pagi hari.
Dilihat dari segi tujuan, kedua sekolah tersebut cukup berbeda. Jika Sumatra Thawalib bertujuan untuk mencetak kader ulama, Diniyah School bertujuan untuk menciptakan muslim intelektual. Tetapi kedua tujuan ini terpadu menjadi satu pada diri Mansoer Daoed.
Pada 1923 ia menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kesem patan ini dipergunakannya untuk memperdalam ilmu agama Islam di Masjidilharam di bawah bimbingan Syekh Abdul Qadir al-Mandili, imam besar Masjidilharam yang berasal dari Mandailing (Tapanuli Selatan, Sumatera Utara).
Tetapi kesempatan untuk mendalami agama Islam di Mekah ini hanya berumur setahun akibat meletusnya perang antara Hijaz di bawah pimpinan Sultan Abdul Syarif Husain dan Nejd di bawah pimpinan Sultan Abdul Aziz bin Sa‘ud.
Maka pada 1924 Mansoer Daoed kembali ke Indonesia, lalu memasuki perguruan Islam Parabek, Bukittinggi, di bawah asuhan Syekh Ibrahim Musa (1882–1963). Tetapi di perguruan ini pun ia tidak lama belajar, karena pada tahun yang sama ia berangkat ke India untuk menuntut ilmu di Perguruan Islam Lucknow di bawah asuhan Abdul Kalam Azad (1888–1938), seorang ulama besar India.
Setelah itu ia memasuki Islamic College di bawah pimpinan dua orang bersaudara, Maulana Syaukat Ali dan Muhammad Ali, keduanya dikenal sebagai pemimpin besar Partai Khilafat India.
Dari India, Mansoer Daoed melanjutkan perjalanannya ke beberapa negara di Asia dan Eropa, antara lain Mesir, Suriah, Turki, Libanon, Irak, Yordania, Yunani, Italia, Rumania, Peran cis, Yugoslavia, dan Jerman. Dalam pengembaraannya ini ia sempat tinggal beberapa lama di Canton, Cina.
Pada 1930 ia kembali ke Indonesia. Ketika berlangsung Kongres I Sumatra Thawalib (22–27 Mei 1930) yang mengubah nama organisasi tersebut menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (PMI), Mansoer Daoed ditunjuk sebagai salah se orang anggota Pengurus Besar PMI.
Pada Kongres I PMI di Payakumbuh (5–9 Agustus 1930), ia terpilih sebagai sekretaris jenderal PMI. Pada Kongres II PMI di Padang (9–10 Maret 1931), yang memutuskan mengubah organisasi sosial ini menjadi partai politik yang dikenal dengan nama Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), ia pun ditunjuk sebagai sekretaris jenderal partai ini.
Permi, yang berada di bawah pimpinan tokoh Sumatra Thawalib dan para bekas mahasiswa dari Cairo (seperti Mochtar Luthfi dan Ilyas Yakub) ini, memperkenalkan ideologi “Islam dan kebangsaan”.
Pada 2 Desember 1932 Mansoer Daoed ditunjuk Permi sebagai ketua pelaksana Algemene Actie Protes Vergadering Permi, semacam tim perumus yang akan menyusun rancan gan protes terhadap kebijakan Belanda yang melakukan ordonansi sekolah partikelir, yang lebih dikenal dengan nama ordonansi “sekolah liar”.
Tetapi ia ditangkap ketika meng kampanyekan rencana protes yang telah disusun di Curup, Bengkulu, menyusul penangkapan pemimpin utama Permi, yakni H Jalaluddin Taib, H Ilyas Yakub, dan H Mochtar Luthfi. Ketiga tokoh ini kemudian dibuang ke Boven Digul.
Pada Juli 1933 Permi melakukan sidang Pengurus Besar. Dalam sidang ini diputuskan bahwa Mansoer Daoed Datuk Palimokayo dipercaya menduduki jabatan ketua umum Permi sekaligus menjadi pemimpin umum majalah Permi yang bernama Medan Rakjat.
Tetapi pemerintah Hindia Belanda melarang Permi melakukan pertemuan. Namun, larangan Belanda ini bagi Permi bukan halangan untuk bersidang. Aki batnya pada 10 Desember 1934 Datuk Palimokayo ditangkap pemerintah Hindia Belanda dan dipenjarakan di Bukittinggi.
Tidak berapa lama kemudian ia dipindahkan ke penjara Suka Mulia di Medan. Ia baru dibebaskan dari penjara 1935. Kemu dian ia kembali ke Bukittinggi. Dari situ ia kemudian pergi ke Bengkulu, melakukan kegiatan dakwah pencarian dana pendidikan agama Islam untuk Sumatera bagian Selatan.
Pada 1942 ia kembali aktif dalam kegiatan organisasi. Bersama Syekh Sulaiman ar-Rasuli, ia membentuk sebuah badan koordinasi alim ulama yang bernama Majelis Islam Tinggi (MIT). Jabatan ketua badan koordinasi ini dipegang Syekh Sulaiman ar-Rasuli, sedangkan Datuk Palimokayo menjabat sekretaris.
Semula, Badan Koordinasi MIT ini hanya untuk daerah Minangkabau, namun kemudian berkembang hingga meliputi seluruh keresidenan di Sumatera.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, MIT se-Sumatera melaksanakan muktamar pertama. Dalam muktamar ini disepakati untuk membentuk satu MIT Sumatera, dengan ketuanya Syekh Muhammad Jamil Jambek dan sekretarisnya Mansoer Daoed Datuk Palimokayo.
Dalam perkembangan selanjutnya, MIT memfusikan diri ke dalam Masyumi, dan Datuk Palimokayo menjabat sebagai sekretarisnya. Masyumi ini pertama kali berkedudukan di Pematangsiantar, yang pada waktu itu menjadi ibukota Propinsi Sumatera.
Pada 1947 pe merintah pusat membagi Sumatera menjadi tiga propinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Partai Masyumi pun membentuk pimpinan Masyumi untuk setiap propinsi. Mansoer Doed Datuk Palimokayo, yang akrab dipanggil dengan Buya Datuk, ditunjuk memimpin Masyumi di Sumatera Tengah.
Pada 2–4 Mei 1953 para pemuka adat Minangkabau yang melaksanakan musyawarah adat di Bukittinggi memilih Buya Datuk menjadi ketua umum Badan Permusyawaratan Adat Minangkabau.
Kemudian alim ulama dan mubaligh se-Sumatera Tengah, dalam musyawarah mereka pada 20–21 Agustus 1953, sepakat membentuk Badan Permusyawaratan Alim Ulama dan Mubaligh Islam Sumatera Tengah dan menunjuk Buya Datuk Palimokayo sebagai ketua umumnya.
Ketika pemilihan umum pertama Indonesia berlangsung 1955, Buya Datuk terpilih menjadi salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakjat. Namun, jabatan ini tidak lama di pangkunya karena pada 20 September 1956 ia ditunjuk oleh pemerintah menjadi duta besar RI untuk Kerajaan Irak.
Selesai bertugas sebagai dubes RI di Irak, ia kembali aktif di Masyumi dengan menduduki jabatan ketua umum Masyumi wilayah Jakarta Raya sekaligus pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat. Setelah itu, ia ditunjuk sebagai koordinator Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia untuk daerah Sumat era Tengah yang meliputi daerah Sumatera Barat, Riau, dan Jambi, yang berkedudukan di Bukittinggi.
Sejak itu ia meng abdikan dirinya di bidang dakwah dan berbagai kegiatan pendidikan Islam di Sumatera Barat. Pada 3 Januari 1968, ketika Rumah Sakit Islam “Ibnu Sina” didirikan di Bukittinggi, ia ditunjuk pula sebagai ketua yayasan rumah sakit tersebut.
Dalam musyawarah alim ulama se-Sumatera Barat 16–27 Mei 1968 di Bukittinggi, Datuk Palimokayo terpilih sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat. Pada Musyawarah MUI Sumatera Barat II, ia kembali terpilih menjadi ketua umum.
Pada waktu pembentukan MUI Pusat di Jakarta pada 26 Juli–2 Agustus 1975, selain dikukuhkan sebagai ketua umum MUI Sumatera Barat, ia juga diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan MUI Pusat.
Dalam rapat kerja MUI Sumatera Barat 1980 Datuk Pal imokayo terpilih kembali menjadi ketua umum MUI Sumatera Barat. Kemudian pada 1984, ketika beberapa tokoh dan cendekiawan muslim di Padang membentuk Yayasan Dana Pembinaan dan Pengembangan Islam (Yadappi), ia dipercaya untuk memimpin yayasan yang bertujuan untuk membantu perguruan Islam di Sumatera Barat di bidang dana itu.
Tetapi tidak lama kemudian, setelah mengalami sakit beberapa hari, ia meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Dr. M. Jamil, Padang, dan dimakamkan di Pemakaman Tunggul Hitam Padang.
Dengan berbagai kegiatannya itu, khususnya sum bangannya kepada bangsa dan negara sebelum dan sesudah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan penghargaan kepada Datuk Palimokayo sebagai salah seorang Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Sosial No. Pol. 16/II/PK tanggal 20 Mei 1960, yang kemudian dikuatkan lagi dengan Surat Keputusan Menteri Sosial No. Pol. 103/63/PK tanggal 13 Juni 1963.
Daftar Pustaka