Malu adalah sikap menahan diri dari melakukan suatu atau meninggalkannya karena takut dicela atau dihina karena perbuatan tersebut. Kata “malu” banyak dibahas dalam kajian ilmu akhlak. Ibnu Maskawaih (w. 421 H/1030 M) mengatakan bahwa malu adalah sikap menahan diri karena takut melakukan perbuatan buruk, sehingga berusaha menjauhinya agar tidak dicela.
Dalam Al-Qur’an, kata al-haya’ diungkapkan dengan memberikan tambahan tiga huruf, yaitu alif, sin, dan ta’ yang dikombinasikan menjadi kata istahya dan ditemukan seban yak dua kali:
(1) dalam ayat yang berarti: “Sesungguhnya Allah tiada segan (la yastahyi) membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu…” (QS.2:26); pada ayat ini kata yastahyi bukan berarti “malu” dalam arti “melakukan perbuatan yang tercela”, melainkan diartikan “tidak segan melakukan perbuatan yang merupakan hak”; dan
(2) dalam ayat yang berarti: “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan agak kemalu-maluan…” (QS.28:25). Kata “agak kemalu-maluan” dalam ayat ini bukan berarti “malu mengerjakan yang baik”, tetapi karena alasan tata krama dan kesopanan.
Kata “malu” terdapat pula dalam hadis. Dalam hadis dari Ibnu Umar RA diceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada seorang yang sedang menasihati saudaranya karena pemalu: “Biarkanlah ia, karena sesungguhnya sifat malu itu sebagian dari iman” (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian dalam hadis yang berarti: “Malu itu tidak akan menimbulkan sesuatu kecuali kebaikan semata-mata” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis lain, dinyatakan bahwa iman itu lebih dari 60 atau 70 cabang; yang paling utama adalah mengucapkan kalimat La ilaha illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah) dan yang serendah-rendahnya adalah menyingkirkan gangguan dari tengah jalan dan perasaan malu (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis dari Abu Sa‘id al-Khudri RA diceritakan bahwa Rasulullah SAW adalah seorang pemalu, lebih dari seorang gadis pingitan, dan apabila terjadi sesuatu yang tidak disuka inya, akan terlihat tanda yang terdapat pada raut wajahnya (HR. Bukhari dan Muslim).
Secara keseluruhan kata “malu” dalam hadis di atas, menurut al-Ghazali, mengacu pada pengertian “malu me lakukan perbuatan atau ucapan yang dapat menimbulkan celaan atau penghinaan bagi yang melakukannya”, karena kata “malu” tersebut dihubungkan dengan keimanan kepada Allah SWT.
Menurut al-Jurjani (ahli bahasa Arab, tasawuf, dan mantik), malu terbagi atas dua bagian:
(1) malu yang bersifat pribadi, yaitu sifat malu yang dilekatkan Allah SWT kepada setiap orang, seperti perasaan malu membuka aurat; dan
(2) malu yang bersifat imani, seperti keseganan seseorang yang beriman melakukan perbuatan dosa karena takut kepada Allah SWT. Malu yang bersifat pribadi sesuai dengan ayat yang berarti:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memeli hara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandang annya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pe layan laki-laki yang tidak punya keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” (QS.24:30–31).
Ayat ini merupakan pedoman pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menurut HAMKA, mencerminkan sikap akhlak yang terpuji yang menjadi salah satu kunci keselamatan masyarakat.
Menurut Hasbi ash-Shiddieqy (ahli fikih), malu yang bersifat imani adalah malu kepada Allah SWT, dirinya sendiri, atau orang lain.
Ketiga macam malu ini, terutama kepada Allah SWT, merupakan sendi keutamaan dan pokok dasar budi pekerti yang mulia, sebab dengan adanya rasa malu kepada Allah SWT orang tidak akan berani durhaka kepada-Nya dengan melanggar larangan atau mengabaikan perintah-Nya, baik terlihat orang maupun tidak. Malu seperti inilah yang dimaksudkan Nabi SAW dalam hadis yang berarti: “Malu se rupa itu seluruhnya akan membawa kepada kebaikan” (HR. Bukhari dan Muslim) dan “Malulah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar malu” (HR. at-Tirmizi).
Sifat malu, menurut Hasbi ash-Shiddieqy, merupakan daya pencegah dalam diri seseorang untuk tidak mengulang perbuatan salah yang sama. Tetapi, karena berbagai sebab, rasa malu itu dapat luntur sedikit demi sedikit.
Jika seseorang sudah tidak punya rasa malu lagi, tidak akan dapat diharapkan lagi timbul kebaikan dari orang tersebut. Hal ini seperti dika takan Nabi SAW dalam hadis yang berarti: “Apabila engkau sudah tidak punya lagi rasa malu, maka perbuatlah apa saja yang engkau kehendaki” (HR. Bukhari).
Daftar Pustaka