Karbala

Karbala adalah kota suci Syiah di Irak, sekitar 140 km di selatan Baghdad. Di kota ini terdapat makam Husein bin Ali bin Abi Thalib (4 H/626 M–61 H/680 M) serta pengikutnya yang dibunuh pasukan Umayah di bawah pimpinan Ubaidullah bin Ziyad, cucu Abu Sufyan dan gubernur Persia pada masa Khalifah Yazid bin Mu‘awiyah atau Yazid I (61 H/680 M–64 H/683 M). Di tempat ini juga dimakamkan Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW.

Kota ini disebut juga Masyhad Husein (tempat mati syahid Husein) dan menjadi tempat bersejarah bagi kaum muslimin, terutama dari Irak, Iran, Afghanistan, dan Pakistan. Selain Masyhad Husein, di Irak terdapat Masyhad Ali (tempat mati syahid Ali ar-Rida, imam kedelapan Syiah), yang terletak di an-Najaf (± 50 km di sebelah tenggara Karbala).

Husein bin Ali bin Abi Thalib mati terbunuh di Karbala dalam pertempuran melawan Bani Umayah pada hari Asyura, tanggal 10 Muharam 61 (10 Oktober 680). Pada waktu itu, Husein sedang dalam perjalanan dari Madinah ke Kufah, Irak.

Perjalanan ini dilakukan atas permintaan golongan Syiah Irak yang ingin mengangkatnya sebagai khalifah. Penduduk Irak (Kufah) berjanji akan membela dan melindunginya. Namun, penduduk Kufah ini pula yang pertama kali membelot, sehingga pasukan Bani Umayah yang dipimpin oleh Ubaidullah bin Ziyad berhasil menaklukkan Husein.

Padahal maksud kedatangan Husein ke Kufah untuk melepaskan penduduk Kufah dari kekejaman Khalifah Yazid bin Mu‘awiyah. Dalam peristiwa naas itu, penduduk Kufah hanya menonton dan berpangku-tangan tanpa tindakan pembelaan.

Pembunuhan terhadap Husein dan keluarganya berlangsung tanpa belas kasihan. Seluruh keluarganya dibunuh, termasuk istrinya, Syahar Banu, putri Yazdajird III (raja terakhir Dinasti Sasaniyah, memerintah tahun 632–651). Hanya satu yang hidup, yaitu Ali bin Husein Zainal Abidin, putra Husein, yang ketika itu masih kanak-kanak.

Dalam peristiwa naas di padang Karbala ini, Syammar bin Ziljausan, salah seorang tentara Bani Umayah, memenggal kepala Husein. Kemudian Ubaidullah bin Ziyad mengirimkannya ke Damascus kepada Khalifah Yazid bin Mu‘awiyah. Atas perintah Yazid, kepala Husein dikuburkan dengan penuh penghormatan di Madinah di sisi ibunda dan saudaranya, Fatimah az-Zahra dan Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Adapun tubuhnya dikuburkan di Karbala (tepatnya di al-Hair).

Menurut pandangan Syiah, dalam peristiwa yang dikenal dengan “Tragedi Karbala” ini, Husein menjadi syahid dan Karbala menjadi tempat suci. Peristiwa 10 Muharram 61 ini dikenal dengan nama Asyura, yang berlanjut dengan lahirnya bulan Suro di Jawa. Darah Husein yang tertumpah di Karbala dianggap sebagai pengorbanan.

Di Indonesia hal ini diperingati dengan membuat bubur Hasan-Husein dari beras dengan kedelai dan bumbu palawija, terutama pala (keluwek). Di Sumatera Barat dan Bengkulu, hal itu diperingati dengan Perayaan Tabut.

Dari peristiwa tragis Karbala ini doktrin Syiah mengalami perkembangan dengan tumbuhnya kebiasaan berziarah ke makam Husein di kalangan pengikut Syiah. Unsur baru berikutnya adalah timbulnya keinginan dari orang Kufah untuk menuntut balas atas kematian Husein.

Perbuatan menuntut balas ini dianggap sebagai pernyataan bertobat, sehingga mereka menamakan diri sebagai kaum tawwabun (orang yang bertobat). Mati dalam membela kepentingan ahlulbait dianggap sebagai mati syahid.

Hal ini merupakan sebuah isu agama yang menyejajarkan kesetiaan kepada Ali RA dan anak keturunannya dengan loyalitas kepada Nabi SAW sendiri, di samping sebagai ikhtiar untuk membawa perdamaian dan keadilan dunia yang telah dicabikcabik oleh kezaliman penguasa Bani Umayah.

Pada setiap tanggal 10 Muharam, penganut Syiah mengadakan api revolusi, seperti yang dilakukan dalam Revolusi Islam Iran. Mereka mempergunakan cara penebusan dosa orang tawwabun dan selalu mengingat peristiwa yang terjadi dalam “Tragedi Karbala” itu. Maka ada sebuah bait syair terkenal berbunyi, “Setiap hari adalah Asyura dan setiap tempat adalah Karbala.”

Orang Iran memperingati peristiwa tragis kematian Husein di Karbala itu dengan Rawzaeh-khans (narator profesional) yang menggambarkan kepedihan Imam Husein dan keluarga serta para pendukungnya. Narator ini mampu mendesak massa pendengarnya, mendesak jiwa dan struktur emosionalnya, menghidupkan kembali kegiatan psikis dan kehidupan tubuh yang baru sebagai umpan balik kematian sang Imam Mahdi dalam takziah yang khidmat.

Dalam perayaan ini diadakan prosesi yel-yel melewati jalan-jalan. Pengikutnya memukuli punggung mereka sendiri karena belasungkawa yang begitu mendalam terhadap penderitaan Imam Husein beserta seluruh pengikutnya.

Peziarah pertama yang datang ke makam Husein di Karbala adalah Sulaiman bin Surad (tabiin Madinah, pengikut Syiah) serta pengikutnya pada tahun 65 H (684–685 M). Menurut Ibnu Asir (ahli sejarah Islam Arab) dalam bukunya al-Kamil fi at-Tarikh li Ibn al-Asir, kedatangan para peziarah ke tempat ini meningkat sekali jumlahnya pada tahun 122 H (739–740 M) dan tahun 436 H (1044–1045 M).

Pada waktu itu upacara keagamaan di Karbala dilaksanakan secara resmi dengan dukungan dermawan Ummu Musa, ibu dari Khalifah al-Mahdi, penguasa Abbasiyah (159 H/775 M–169 H/785 M).

Khalifah al-Mutawakkil (penguasa Abbasiyah pada 232 H/847 M–247 H/861 M) menghancurkan kubah makam Husein pada tahun 236 H (850–851 M) dan memberikan hukuman berat bagi siapa saja yang berkunjung ke tempat itu. Hal itu terjadi karena alasan politik, yaitu kelompok Syiah pada masa al-Mutawakkil pernah memberontak terhadap pemerintahannya.

Namun sekitar tahun 367 H (977 M), di salah satu sudut makam Husein telah dibangun sebuah masyhad yang luas dengan kubah yang kokoh. Pada masa itu jumlah pengunjung yang berziarah ke tempat ini meningkat kembali. Dabba bin Muhammad al-Asadi, seorang pemimpin sejumlah suku di Ain Tamr, menghancurkan masyhad di Hair (Karbala) itu dan tempat keramat lainnya, tetapi pasukannya dapat dipukul mundur pada tahun 369 H (979–980 M).

Ain Tamr adalah sebuah kota kecil di Irak, sekitar 80 mil sebelah barat Karbala, yang pada tahun 12 H dijadikan benteng pertahanan militer tentara Khalid bin Walid ketika menyerang kota ini. Suku terkemuka di sana adalah Taglib, Namir, dan Asad, yang semuanya adalah bangsa Arab, ditambah dengan suku kecil yang beragama Kristen dan Yahudi.

Pada 369 H (979–980 M) itu juga penyangga Masyhad Husein (dan Masyhad ‘Ali) diperkuat oleh penguasa dinasti Bani Buwaihi, Adud ad-Daulah (memerintah 949–983). Masyhad itu juga diperbaiki oleh Hasan bin Buwaihi (penguasa Dinasti Buwaihi) dengan membangun kembali tembok sekelilingnya. Pada bulan Rabiulawal 407 (Agustus–September 1016), terjadi kebakaran besar yang merobohkan bangunan utama (kubah masyhad) dan merusak ruangan lainnya.

Sultan Malik Syah, penguasa Bani Seljuk, pada­ 479 H (1086–1087 M) datang ke Baghdad dan mengunjungi Masyhad Ali dan Masyhad Husein. Ilkhan Ghazan Mahmud (penguasa Dinasti Illikh Khan di Persia, 1295–1304) pada tahun­ 703 H (1303 M) mengunjungi Karbala, dan bersama ayahnya, Arghun (memerintah 1284–1291), membangun kanal untuk mengalirkan air dari Sungai Eufrat ke masyhad. Kanal yang dinamakan Nahr al-Husainiya ini masih berfungsi sampai sekarang.

Ibnu Batutah yang pernah berkunjung ke kota ini pada 727 H (1326–1327 M) menjelaskan bahwa Karbala pada masa itu adalah sebuah perkampungan kecil yang terletak di tengah perkebunan kurma dan mendapat air dari Sungai Eufrat. Di tengah perkampungan terdapat makam keramat. Makam ini dihiasi lampu bertatahkan emas dan perak. Pintu makam ditutup dengan tirai kain sutra. Di samping makam terdapat sebuah madrasah yang luas dan asrama sufi (zawiyah atau khanqah).

Sultan Usmani Turki, Sulaiman I atau Sulaiman Pasha Agung (1520–1566), pernah berkunjung ke Karbala serta memperbaiki kanal Nahr al-Husainiya dan mengubah sejumlah bagian yang runtuh menjadi taman. Sultan Murad III (1574–1595) pada tahun 991 H (1583 M) meminta wali Baghdad, Ali Pasha bin Alwan, membangun sebuah tempat suci di makam Husein.

Segera setelah penaklukan Baghdad oleh Persia pada tahun 1623, Syah Abbas I (penguasa Safawi tahun 1588–1629) merebut kekuasaan atas masyhad ini. Nadirsyah Afsar (penguasa Safawi tahun 1736–1747) berkunjung ke Karbala pada tahun 1743 dan menyepuh kubah Masyhad Ali.

Kemudian Radiah Sultan Begum, putri Husain I (penguasa Dinasti Safawi tahun 1694–1722) mempekerjakan 20.000 orang untuk memperluas Masjid Husein. Akhir abad ke-18, Agha Muhammad Khan dari Dinasti Kajar mendatangkan tutup kubah dan menara berlapis emas untuk kuburan Husein.

Pada bulan April 1802, sebanyak 12.000 kaum Wahabi yang dipimpin Syekh Sa’ud memasuki Karbala, membantai 3.000 penduduk, dan merusak rumah penduduk serta bazar dengan tujuan utama merebut pelat baja dan benda yang terdapat di tempat suci yang lain.

Di samping itu makam Husein dianggap sebagai pusat perbuatan bid’ah bagi pemikiran teologis Wahabi. Karena itu, tempat itu tidak boleh dibiarkan, harus dirusak, dan kalau perlu diratakan dengan tanah. Menurut istilah fikih, cara itu disebut sadd adz-dzari‘ah (menghilangkan bahaya dari pusat timbulnya bahaya itu). Namun, setelah kejadian ini, segera mengalir sumbangan untuk keperluan perbaikan makam itu dari seluruh masyarakat Syiah.

Dewasa ini Karbala merupakan perkampungan yang paling luas dan terkaya di Irak. Kekayaan dan kemakmuran ini bukan saja karena kedatangan peziarah dengan jumlah besar ke makam Husein, tetapi juga karena kota ini merupakan tempat persinggahan pertama kafilah peziarah Persia yang akan ke an-Najaf dan Mekah, serta merupakan pelabuhan gurun yang penting bagi perdagangan.

Tambahan pula, Masyhad Husein di Karbala dan Masyhad Ali di an-Najaf merupakan tempat suci kaum Syiah yang dianggap perlu mereka ziarahi setelah mereka menunaikan ibadah haji ke Mekah. Sekurang-kurangnya dua masyhad ini merupakan pusat perhatian kaum Syiah untuk menumbuhkan dan menghidupkan kembali semangat Islam dalam upaya mengembangkan ide tentang Mahdi yang dinilai mampu menolong umat manusia menuju perdamaian dunia abadi dan keadilan masyarakat dan memimpin umat menuju kebahagiaan hakiki di akhirat kelak.

DAFTAR PUSTAKA

Algar, Hamid. Religion and State in Iran, 1785–1906. Los Angeles: University of California Press, 1969.
Frye, R.N, ed. The Cambridge History of Iran. Cambridge: Cambridge University Press, 1975.
Hughes, Thomas Patrick. Dictionary of Islam. New Delhi: Oriental Books Reprint Corporation, 1976.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986.
Ruthven, Malise. Islam in the World. Oxford: Oxford University Press, 1984.
Savory, R.M., ed. Introduction to Islamic Civilization. USA: Cambridge University Press, 1976.

Ahmad Qorib