Husein Bin Ali Bin Abi Thalib

(Madinah, 5 Syakban 4/Januari 626–Karbala, 10 Muharam­ 61/10 Oktober 680)

Imam ketiga sekte Syiah setelah Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali adalah Husein. Ia adalah cucu Nabi Muhammad SAW dari putrinya, Fatimah. Kehidupan Husein diwarnai kisah yang berkembang di seputar kemartirannya, yang dikenang dan diperingati oleh kelompok Syiah setiap tanggal 10 Muharam sebagai hari ratapan. Kematiannya telah membangkitkan gerakan kelompok Islam Syiah.

Ketika kakeknya, Rasulullah SAW, wafat (11 H/632 M), Husein masih kecil. Ia sangat mirip dengan kakeknya, sehingga Fatimah menggubah syair: Inna bunayya syibh an-Nabi, laisa syabIhan bi ‘Ali (Sesungguhnya anakku, Husein, mirip Nabi SAW, tidak mirip Ali).

Kecintaan Nabi Muhammad SAW kepada cucunya terlihat pada hadis, antara lain sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah: “Husein dari aku, dan aku dari Husein. Semoga Allah mencintai orang yang mencintainya. Husein adalah cucu yang paling kucintai. Hasan dan Husein memberi rasa harum kepadaku di dunia. Siapa yang ingin melihat laki-laki ahli surga lihatlah Husein.”

Suatu ketika Nabi SAW menggendong Husein di pundaknya dan berdoa: “Ya Allah, aku sangat mencintainya. Cintailah ia, ya Allah.”

Istri Husein adalah salah seorang putri Khosru Yazdajird III, raja terakhir Dinasti Sasaniyah di Persia (Iran) yang dibawa ke Madinah setelah Khalifah Umar bin Khattab menaklukkan Persia. Husein mempunyai putra, yaitu Ali al-Akbar, yang meninggal dalam tragedi Karbala bersama ayahnya; Ali al-Ausat, yaitu Ali bin Husein Zainal Abidin yang luput dari maut pada tragedi Karbala dan menjadi imam keempat serta menurunkan imam seterusnya bagi sekte Syiah; Ali al-Asgar dan Abdullah (terbunuh di Karbala); dan Ja‘far, wafat ketika bapaknya masih hidup. Husein juga mempunyai tiga putri, yaitu Zainab, Sakinah, dan Fatimah.

Sepeninggal ayahnya, sikap Husein terhadap Mu‘awiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak tegas. Di satu pihak ia mencela saudaranya, Hasan, yang menyerahkan kekuasaan politik di Madinah kepada Mu‘awiyah (dikenal dengan peristiwa ‘Am al-Jama‘ah [Tahun Persatuan]). Tetapi di lain pihak, ia sendiri tunduk pada perundingan dan mau menerima tunjangan dari Mu‘awiyah sebesar satu atau dua juta dirham. Ia sendiri sering ke Damascus untuk menerima tunjangan itu.

Sebelum Hasan wafat, pendukung keluarga Ali bin Abi Thalib mendesak Husein untuk mengadakan pemberontakan terhadap Mu‘awiyah. Ia menolak dan berkata, “Selama Mu‘awiyah masih hidup tak ada yang bisa diperbuat.” Husein memperhitungkan pembalasan yang akan diperolehnya kalau ia memberontak.

Mu‘awiyah sendiri tidak merasa terancam ketika diberitahu oleh gubernur Hijaz, Marwan bin Hakam, tentang desakan kaum Syiah terhadap Husein itu. Bahkan secara bijaksana Mu‘awiyah memberi arahan kepada Marwan agar berbaik-baik dengan Husein dan menghindari konflik terbuka dengannya.

Permusuhan antara Husein dan keluarga Bani Umayah itu mulai tampak ketika Mu‘awiyah mengangkat Yazid, putranya, sebagai putra mahkota. Husein dan tiga sahabat yang berpengaruh, Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdur Rahman bin Abu Bakar, dan Abdullah bin Zubair, menolak memberikan baiat atas pengangkatan Yazid tersebut.

Ketika Yazid naik takhta, baiat datang dari Afrika Utara, Mesir, Suriah, dan Palestina. Adapun penduduk wilayah Timur seperti Persia, Khurasan, dan Irak belum mengeluarkan pernyataan apakah membaiat atau menolak. Sementara penduduk Hijaz dan Mekah, karena pengaruh empat orang tadi, menolak memberikan baiat.

Marwan bin Hakam, gubernur Hijaz, diperintahkan untuk menekan penduduk agar memberikan baiat. Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair tetap menolak dengan keras untuk memberikan baiat. Mereka beserta pengikutnya hijrah ke Mekah. Bahkan Abdullah bin Zubair memproklamasikan diri sebagai khalifah.

Sementara itu, datang utusan dari penduduk Kufah menawarkan agar Husein bin Ali datang ke sana untuk diangkat menjadi khalifah. Husein setuju dan mengirim utusan yang dipimpin Muslim bin Uqail bin Thalib, sepupunya. Di Kufah Muslim bin Uqail bin Thalib menerima baiat dari 30.000 orang yang mengikat janji akan membela dan mempertahankan Khalifah Husein.

Baiat itu mendorong Husein untuk datang sendiri ke Irak. Tokoh sesepuh Mekah, antara lain Abdullah bin Umar bin Khattab dan Abdullah bin Abbas, mencegah kepergian Husein. Mereka khawatir akan keselamatannya, mengingat pada masa Ali bin Abi Thalib penduduk Irak pernah tidak konsisten pada pendirian mereka. Akan tetapi, Husein tetap memutuskan untuk berangkat ke Irak.

Pada 61 H/680 M Husein beserta keluarganya berangkat menuju Irak diiringi rombongan besar. Situasi di Irak dan Mekah ini diketahui Yazid di Damascus. Khalifah Yazid kemudian memecat Nu‘man bin Basyir, gubernur Irak yang berkedudukan di Kufah, serta menggabungkan wilayah Irak di bawah kekuasaan gubernur Persia, Abdullah bin Ziyad, yang berkedudukan di Basrah, juga memerintahkannya untuk menangkap Husein bin Ali.

Pasukan Abdullah bin Ziyad datang lebih dulu ke Kufah dari pasukan Husein dan berhasil menangkap dan menghukum mati Muslim bin Uqail, utusan Husein. Husein bin Ali menerima laporan penyerangan Abdullah bin Ziyad atas Kufah dan hukuman mati Muslim bin Uqail. Ia bertekad untuk pergi ke Kufah, sekalipun sadar akan kemungkinan yang bisa terjadi. Ia berkata kepada para pengikutnya, “Situasi di Kufah sangat gawat, barangsiapa yang ingin kembali ke Mekah kembalilah.”

Para pengikutnya berkeras juga ingin mendampingi Husein betapapun gawatnya keadaan. Namun Husein meyakinkan mereka bahwa dengan rombongan kecil ia akan lebih mampu meyakinkan penduduk Irak tentang kedatangannya untuk maksud damai.

Sementara itu, di antara peserta rombongan banyak yang menasihatkan agar Husein kembali saja ke Mekah, dan jika situasinya tidak memungkinkan, langsung ke Yaman. Akan tetapi, Husein tetap memutuskan untuk pergi ke Irak.

Akhirnya, sebagian besar rombongan kembali ke Mekah. Yang tinggal lebih kurang 32 orang menunggang kuda dan 40 orang berjalan kaki. Semuanya berkeras ingin menemani Husein. Adapun keluarga Husein menunggangi beberapa ekor unta.

Di suatu dataran yang bernama Siraf, rombongan Husein bertemu dengan 2.000 orang yang diperintahkan untuk menghadang. Mereka dipimpin Hurr bin Yazid at-Tamimi, orang yang pernah memberikan baiat kepada Husein di hadapan Muslim bin Uqail. Pada pertemuan ini tidak terjadi kontak senjata, bahkan Hurr bin Yazid pada hari itu sempat menunaikan dua salat yang diimami Husein.

Husein berkata kepada Hurr bahwa ia datang untuk memenuhi undangan warga Irak dan mengajak Hurr untuk bergabung dengannya. Hurr menghadapi situasi dilematis, hati nuraninya ingin membela Husein tetapi besarnya pasukan Ibnu Ziyad di Irak membuatnya bingung. Sementara itu, datang perintah untuknya dari Gubernur Ibnu Ziyad agar ia mendesak rombongan Husein. Akhirnya rombongan Husein terdesak ke satu dataran kering dan gersang yang bernama Karbala. Ini terjadi pada 2 Muharam 61.

Gubernur Abdullah bin Ziyad masih tetap menyangka bahwa rombongan kecil Husein itu merupakan rombongan pendahuluan, di belakangnya masih ada pasukan yang lebih besar. Oleh sebab itu, Ibnu Ziyad mengirim lagi pasukan berkekuatan 4.000 orang di bawah pimpinan Umar bin Sa‘ad.

Di pagi hari 10 Muharam, melihat pasukan Umar bin Sa‘ad demikian besar dan dalam keadaan siaga, Husein mengatur posisi para pengawalnya. Zuhayr bin Kayn berjaga-jaga di sebelah kanan perkemahan, sementara Habib bin Muzahir di sebelah kiri. Pada hari itu pasukan Husein sempat melaksanakan salat zuhur (menurut sebagian sumber, salat khauf).

Pada sore hari itulah terjadi pertempuran yang sangat tidak seimbang. Yang mula-mula terbunuh dalam peristiwa itu adalah Ali al-Akbar bin Husein, anak Muslim bin Uqail dan Abdullah bin Ja‘far, kemudian Kasim bin Hasan, keponakan Husein.

Syahid Husein sangat tragis, yakni ketika sepasukan kecil pimpinan Syammar bin Ziljausan menyerangnya. Saat itu Husein bangkit dari keletihannya dan bersiap untuk bertempur kembali. Ketika itu ia sadar bahwa usianya sudah melebihi 55 tahun dan dalam keadaan sakit.

Pada saat itu ada seorang anak muda dengan gagah berani berdiri melindungi Husein. Ia tidak menghiraukan lagi panggilan Zainab (anak perempuan Husein) agar kembali karena bahaya mengancam dirinya. Karena tebasan pedang pasukan Syamir, tangan anak itu putus. Sementara itu, Husein menghiburnya bahwa kelak ia akan bertemu dengan para neneknya di surga.

Suasana panas, dan letih membuat Husein lengah. Akhirnya, Ibnu Syariq dari pihak Syamir menebas lengannya, Sinnan bin Anis menusuk dadanya, Syammar bin Ziljausan memenggal lehernya, lalu memamerkan kepala Husein pada ujung tombaknya.

Dalam suasana mengenaskan itu, Zainab berkata kepada Umar bin Sa‘ad, “Hai Umar bin Sa‘ad! Bagaimana perasaanmu ketika Abu Abdillah (nama panggilah Husein) terbunuh di depan matamu?” Air mata Umar bin Sa‘ad berlinang mendengar ucapan Zainab itu.

Akhirnya, kepala Husein beserta wanita dan putra Husein di bawa ke kota Kufah untuk dipersembahkan kepada Gubernur Abdullah bin Ziyad, kemudian dikirim dengan suatu perutusan kepada Khalifah Yazid di Damascus.

Tatkala Khalifah Yazid menyaksikan kepala Husein di atas baki itu, air matanya berlinang dan berkata, “Aku tidak memerintahkan untuk membunuh Husein. Terkutuklah kau anak Marjanah (ibu Ibnu Ziyad). Seandainya aku berada di situ, pasti aku akan memberikan pengampunan kepadanya.”

Tubuh Husein bin Ali dimakamkan di Karbala (kini di Irak, menjadi kota suci kaum Syiah). Kepalanya, atas perintah Khalifah Yazid, dikuburkan dengan penuh penghormatan di Madinah di sisi makam ibunda dan saudaranya, Hasan bin Ali.

DAFTAR PUSTAKA

Haekal, Muhammad Husein. Hayah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma’arif, t.t.

Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan, 1974.

al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Zad al-Ma‘ad fI Huda Khair al-‘Ibad. Cairo: Dar al-Babi al-Halabi, 1324 H.

_____________________. sirath Ibn Hisyam. Gottingen: t.p., 1855.

al-Qadir, Ali Hasan Abd. Ahl Bayt al-Jami‘ah at-Ta‘limat al-Islamiyyah, atau Siapa, Mengapa Ahlul Bayt, terj. Bandung: Penerbit Bina Ilmu, 1991.
Rida, Muhammad Rasyid. al-hasan wa al-husain Sabta Rasul Allah SAW. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1407 H/1987 M.
at-Tabari, Abi Ja‘far Muhammad bin Jarir. Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk. Leiden: E.J. Brill, 1976.
Vaglieri, Veccia, L. “al-Husein Ibn Ali Ibn Abi Thalib,” The Encyclopaedia of Islam, B. Lewis, et.al. Leiden: E.J. Brill, 1977.

Atjeng Achmad Kusaeri