Tabut

(Ar.: tabut)

Pada mulanya tabut berarti peti kayu berlapiskan emas, tempat menyimpan kitab Taurat yang ditulis di atas batu. Al-Qur’an menyebutkan tabut dalam cerita Talut dan Jalut. Di sebagian pesisir barat Sumatera, tabut adalah upacara perarakan untuk memeriahkan hari Asyura, yakni peringatan wafatnya Husein, putra Ali bin Abi Thalib dan cucu Nabi SAW.

Disebutkan dalam Al-Qur’an, tanda bahwa Talut akan menjadi raja ialah kembalinya tabut ke tangan Bani Israil setelah tabut itu hilang diambil musuh pada masa Samuel (seorang tokoh agama) memimpin Israil. Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan.” (QS.2:248)

Setelah menerima Sepuluh Perintah Tuhan, Nabi Musa AS memerintahkan umatnya untuk membuat sebuah kotak besar yang disebut tabut (Ar.: tabut, Ibr.: tabot atau tabotat). Tabut itu menyimpan naskah batu berisi Sepuluh Perintah. Peti suci itu dinamakan Peti Perjanjian (Ar.: Tabut al-‘Ahd, Ing.: The Ark of the Covenant).

Untuk mendidik Bani Israil agar selalu ingat dan berpegang teguh kepada perintah itu, Nabi Musa AS mengajari dan memimpin mereka sembahyang menghadap tabut sebagai kiblat. Sembahyang dilakukan dalam kemah besar yang dalam bahasa Ibrani disebut tabernakel, dengan tabut diletakkan di tengahnya.

Karena Bani Israil merupakan masyarakat nomad atau badui, maka ke mana pun pergi, mereka selalu membawa tabernakel dengan tabutnya. Nabi Musa AS bersama kaumnya berusaha mencapai tanah yang dijanjikan atau tanah suci (al-Ard al-Muqaddasah), yaitu Kanaan tempat nenek moyang mereka, Ibrahim, Ishaq, dan Ya‘qub menetap.

Namun Musa tidak berhasil sampai karena keburu wafat, dan Bani Israil mengembara tidak menentu selama sekitar 4 abad, sampai datangnya masa Nabi Daud AS. Nabi yang sekaligus raja ini mula-mula memerintah dari Hebron, kota tempat Nabi Ibrahim AS dulu menetap dan kemudian dimakamkan.

Berpangkal dari Hebron itu, Daud memimpin rakyatnya, Bani Israil, dalam usaha menguasai seluruh Kanaan, bahkan seluruh Palestina, setelah berhasil mengalahkan tentara Jalut (QS.2:249–251). Bani Israil berhasil merebut Yerusalem atau al-Quds dari musuh mereka, bangsa Yakobit.

Kemudian Daud memilih Bukit Zion (Ar.: ash-sahyun) sebagai tempat mendirikan istana. Di samping itu, Daud juga memilih Bukit Moriah untuk mendirikan tabernakel dan meletakkan tabut.

Tempat tabut itu diletakkan disebut Kadesh (Ar.: Quds), yaitu tempat paling suci (The Holy of Holies). Sampai kini semua orang mengira, atau bahkan yakin, bahwa tempat paling suci, titik letak tabut itu, ialah Karang Suci atau Sakhrah.

Namun temuan arkeologi paling akhir menyatakan bahwa the Holy of Holies itu bukanlah Sakhrah yang di atasnya dibangun sebuah bangunan indah itu, melainkan di sebelah utaranya, berjarak sekitar 100 m, pada sebuah bangunan Islam berukuran kecil yang disebut Qubbah al-Alwah (Kubah Lempengan Batu [Sepuluh Perintah]), yang terkadang, mungkin karena salah eja, juga dinamakan Qubbah al-Arwah (Kubah Arwah).

Akan tetapi kalaupun terbukti bahwa titik tempat tabut itu memang di Qubbah al-Alwah, tidak berarti bahwa nilai keagamaan Sakhrah itu berkurang bagi kaum Yahudi, karena mereka percaya bahwa di situlah dahulu Ibrahim mencoba hendak melaksanakan perintah Tuhan, yaitu mengurbankan Ishaq.

Juga kalau benar orang Yahudi mempercayai bahwa titik ditempatkannya tabut itu ialah “batu fondasi bumi” atau, dalam bahasa Ibrani Shetiyyah, maka yang paling mungkin Kadesh atau the Holy of Holies itu ialah Sakhrah yang dipercayai kaum muslim sebagai tempat Nabi SAW menjejakkan kaki untuk melakukan Mikraj.

Dalam sejarah Islam di Indonesia kata tabut itu dipakai pula untuk menamai suatu upacara perarakan. Dalam upacara ini diarak tabut yang dibuat dari potongan bambu dalam bentuk persegi panjang, yang ukurannya lebih kurang 1 x 2 m dan di atasnya dirangkai lagi kepingan bambu.

Pada kepingan bambu tersebut dipasang aneka kembang warna-warni, sehingga membentuk suatu rangkaian bunga dalam ukuran besar. Pembuatan tabut ini dilakukan pada hari Asyura (10 Muharam) dalam rangka memeriahkan perayaan hari Asyura tersebut. Upacara pengarakan tabut merupakan puncak perayaan tersebut.

Upacara pengarakan tabut ini dilakukan dengan cara mengangkatnya secara beramai-ramai, para pemikul dan pengiringnya bersama-sama meneriakkan “hayya Husein, hayya Husein” (hidup Husein, hidup Husein) berkali-kali.

Kemudian tabut tersebut dibawa ke pinggir pantai dan terakhir dibuang ke laut lepas. Pengarakan tersebut biasanya dilakukan setelah terlaksananya acara lain berupa jamuan makan dengan aneka hidangan dan kue yang disuguhkan masyarakat setempat.

Upacara pengarakan tabut ini merupakan tradisi masyarakat di sebagian daerah di pantai barat Pulau Sumatera, antara lain di Pariaman (kota kecil di pantai barat Propinsi Sumatera Barat) dan di Bengkulu. Latar belakang tradisi ini berakar pada ajaran dan sejarah Islam.

Dalam ajaran Islam terdapat hadis dan asar yang menerangkan keutamaan hari Asyura, antara lain ialah asar yang dicatat oleh Imam al-Ghazali di dalam bukunya Mukasyafah al-Qulub al-Muqarrib min ‘Allam al-Guyub (Pembuka Hati yang Mendekatkan dari Alam Gaib).

Dalam buku ini diterangkan bahwa Allah SWT melimpahkan banyak sekali rahmat dan berkah-Nya kepada manusia pada hari itu. Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, “Barangsiapa yang melapangkan keluarga dan familinya pada hari Asyura, niscaya Allah melapangkannya sepanjang tahun itu.”

Di samping itu ada lagi peringatan peristiwa sejarah yang amat penting pada hari Asyura, yaitu musibah pembantaian Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW dari putrinya, Fatimah az-Zahra, bersama pengikut dan keluarganya di Padang Karbala oleh pasukan Yazid bin Mu‘awiyah dari Dinasti Umayah.

Peristiwa ini ternyata membawa dampak yang amat besar dalam sejarah perkembangan Islam. Di satu sisi hati umat Islam merasa tersayat oleh perbuatan biadab pasukan Yazid, dan di sisi lain rasa hormat terhadap Husein semakin membesar, terutama sekali dari kalangan keluarga Alawiyin dan simpatisan mereka.

Rasa haru dan hormat itu akhirnya menumbuhkan hasrat untuk menjadikan hari kematian Husein sebagai hari yang perlu diperingati, apalagi hari itu memang hari yang dimuliakan Allah SWT dan rasul-Nya.

Pada mulanya memperingati hari terbunuhnya Husein tersebut hanya berbentuk sederhana, berupa ziarah ke tempat peristiwa berdarah itu terjadi, tetapi lama-kelamaan membudaya menjadi suatu peringatan yang dilakukan secara besar-besaran.

Dari dua hal di atas timbullah inisiatif para pemuka Islam pada zaman lampau untuk merayakan hari Asyura tersebut. Upacara perarakan tabut yang diiringi dengan sorak “hayya Husein” sudah pasti mempunyai kaitan yang erat dengan peristiwa sejarah di atas.

Oleh karena itu, ada dugaan atau kemungkinan bahwa penganut Syiah pernah menjejakkan kaki di perairan barat Pulau Sumatera, meskipun kemungkinan ini belum diteliti dengan memadai.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur’an. Brentwood, Maryland: Amana Corporation, 1989.
Gazalba, Sidi. Mesjid: Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Antara, 1962.
Ghani, Hasyim A. Syi‘ah dan Ahlusunnah saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Mukasyafah al-Qulub al-Muqarrib min ‘Allam al-Guyub. Cairo: asy-Sya’b, t.t.
HAMKA. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Yunus, Mahmud. Sejarah Islam di Minangkabau. Jakarta: al-Hidayah, 1973.
Yunasril Ali