Kadariyah

(Ar.: al-Qadariyyah)

Kadariyah adalah aliran teologi Islam yang tidak mengakui kadar Allah SWT. Menurut aliran ini, tiap hamba Allah SWT adalah pencipta segala perbuatannya, dan atas kehendaknya sendiri dapat berbuat atau tidak berbuat. Kadariyah meniadakan kadar Allah SWT, menetapkannya pada manusia, serta menjadikan segala perbuatan manusia tergantung pada kehendak manusia sendiri. Paham ini juga disebut Free Will atau Free Act. Kebalikannya adalah paham Jabariyah

Tokoh Kadariyah adalah Ma’bah al-Juhani (w. 80 H/700 M) dan Gailan ad-Dimasyqi. Menurut Ibnu Nabatah, seorang ahli sejarah yang mengarang kitab Syahr al-‘Uyun (Bulan bagi Mata-mata), orang yang mula-mula mengembangkan paham Kadariyah adalah seorang penduduk Irak.

Pada mulanya ia adalah seorang Nasrani, kemudian masuk Islam, dan akhirnya menjadi Nasrani lagi. Dari orang inilah Ma’bah al-Juhani dan Gailan ad-Dimasyqi mengambil paham Kadariyah. Ma’bah al-Juhani adalah seorang tabiin. Ia pernah belajar kepada Wasil bin Ata (imam Muktazilah) dan al-Hasan al-Basri (ahli hadis dan fikih pada periode tabiin) di Basrah.

Ma’bah al-Juhani dihukum mati karena membawa paham Kadariyah ini. Namun ajarannya tentang Kadariyah tetap berkembang dalam dunia Islam. Adapun Gailan ad-Damasyqi adalah putra seorang pegawai pada masa Khalifah Usman bin Affan. Ia dihukum mati oleh Khalifah Hisyam bin Abdul Malik karena menganut paham Kadariyah.

Berdasarkan sejarah, paham Kadariyah pada hakikatnya adalah sebagian dari paham Muktazilah, karena imamnya terdiri dari orang Muktazilah. Akan tetapi paham ini dibicarakan dalam suatu bagian tersendiri karena sepanjang sejarahnya persoalan Kadariyah ini merupakan suatu persoalan besar, yang pembahasannya terdapat dalam berbagai literatur ilmu kalam (tauhid).

Pengertian Kadariyah menurut paham Muktazilah adalah bahwa semua perbuatan manusia diciptakan oleh manusia sendiri, bukan oleh Allah SWT. Allah SWT tidak mempunyai hubungan dengan perbuatan manusia dan tidak mengetahui sebelumnya apa yang akan dilakukan manusia; Allah SWT baru mengetahuinya setelah manusia melakukan atau berbuat sesuatu.

Jadi, sekarang Allah SWT tidak bekerja lagi karena telah memberikan kodrat-Nya kepada manusia dan hanya melihat serta memperhatikan apa yang diperbuat manusia. Jika mengerjakan perbuatan atau amal yang baik, maka manusia akan diberi pahala sebagai imbalan karena telah memakai kodrat yang diberikan Allah SWT dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi apabila tidak menjalankan kodrat yang diberikan kepadanya dengan sebaik-baiknya, maka ia akan dihukum menurut yang semestinya.

Karena dilatarbelakangi pemahaman tentang adanya kebebasan manusia untuk berbuat dan bertindak, paham ini disebut Kadariyah, yang berarti “manusia memiliki kekuasaan untuk berbuat dan bertindak sesuai dengan kodrat yang diberikan Allah SWT kepadanya”.

Akan tetapi tidak semua golongan Kadariyah berpaham demikian. Ada sebagian golongan Kadariyah yang berpaham bahwa semua perbuatan manusia yang baik adalah ciptaan Allah SWT, sedangkan perbuatan manusia yang buruk dan maksiat adalah ciptaan manusia sendiri dan tidak berhubungan dengan Allah SWT. Kaum Kadariyah dalam memperkuat keyakinan dan pahamnya menggunakan dalil ‘aqli (akal) dan dalil naqli (Al-Qur’an dan hadis).

Mereka dalil mereka, jika perbuatan manusia diciptakan Allah SWT, mengapa manusia diberi pahala jika berbuat baik dan disiksa jika berbuat dosa, bukankah yang menciptakan perbuatan itu adalah Allah SWT sendiri? Jika demikian halnya, Allah SWT bersikap tidak adil terhadap manusia karena manusia itu sendiri adalah ciptaan-Nya.

Dalil akal ini diperkuat pula oleh kaum Kadariyah dengan dalil naqli, yang salah satu di antaranya: “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS.13:11). Dari ayat ini Kadariyah berkeyakinan bahwa Allah SWT tidak mempunyai andil dalam diri manusia dan penentuan sikap serta perbuatan manusia, karena Allah SWT telah melimpahkan semuanya itu sebagai kodrat manusia.

Hal ini dinyatakan Allah SWT: “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia minta ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS.4:110).

Dari ayat ini mereka memiliki keyakinan bahwa orang itulah yang berbuat dosa, bukan Allah SWT. Karena itu ia pula yang meminta ampunan kepada Allah SWT. Jika Allah SWT yang membuat dosa bagi hamba-Nya, maka berarti Allah SWT menganiaya hamba-Nya, dan ini adalah suatu yang mustahil karena Allah SWT tidak akan menganiaya hamba-Nya.

Dalil naqli di atas diperkuat dengan dalil naqli berikut, yaitu: “…Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir…” (QS.18:29). Ayat ini dijadikan dasar bagi kaum Kadariyah untuk menunjukkan kebebasan atau kemerdekaan seorang hamba dalam menetapkan pilihannya sebagai seorang beriman atau sebagai kafir.

Ini merupakan bukti yang jelas bahwa manusialah yang menentukan semua kehendak, kemauan, dan perbuatannya dalam kehidupan di dunia ini. Hal ini diperjelas dengan ayat berikut yang berarti: “Sesungguhnya kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir” (QS.76:3).

Dari ayat ini mereka menarik suatu kesimpulan bahwa manusialah yang menentukan dirinya sebagai seorang yang bersyukur atau kufur, yang semuanya itu tidak ada hubungannya dengan Allah SWT.

Dalil yang diungkapkan oleh kaum Kadariyah ini, baik yang bersifat ‘aqli maupun naqli, menunjukkan kebebasan manusia dalam menentukan sikap dan perbuatannya sesuai dengan kodrat yang dimilikinya. Paham ini sama dengan paham Muktazilah.

Ada perbedaan di antara keduanya, karena kaum Muktazilah menyatakan bahwa perbuatan baik manusia diciptakan Allah SWT, sedangkan perbuatan buruk diciptakan manusia sendiri. Menurut Kadariyah, perbuatan itu baik atau buruk tidak dijadikan Allah SWT, namun itu semua adalah perbuatan manusia sendiri.

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. al-Madzahib al-Islamiyyah. Cairo: Maktabah an-Namuzajiyah, t.t.
al-Baghdadi, Abu Mansur Abdul Qahir bin Tahir at-Tamimi. al-Farq Bain al-Firaq. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1977.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. ‘Aqidah al-Muslim. Kuwait: Dar al-Bayan, t.t.
Nasution, Harun. Muhammad Abduh dalam Teologi Muktazilah, Jakarta: UI Press, 1987.
________. Teologi Islam: Aliran‑Aliran Sejarah Perbandingan. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1972.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. al-Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Sabiq, Sayid. al-‘Aqidah al-Islamiyyah. Beirut: Darul al-Kitab al-Hadasyiyah, t.t.
asy-Syaikh, Abdurrahman bin Hasan Ali. Fath al-Majid, Syarh Kitab at-Tauhid. Cairo: Dar al-Ifta’ asy-Sya’adiyah, t.t.
Syaltut, Mahmud. Min Taujihat al-Islam. Cairo: Dar al-Qalam, 1966.
Wolfson, Harry Austyn. The Philosophy of the Kalam. Cambridge, Massachusetts and London, England: Harvard University Press, 1976.
Sudirman M