Jiddah (disebut juga Qarnul Manazil) berperan penting sebagai pelabuhan pendaratan jemaah Islam yang hendak beribadah haji di Mekah dan Madinah. Kota ini adalah salah satu miqat makani (mulai berpakaian ihram) bagi jemaah haji dan umrah untuk memasuki ke Mekah. Jiddah juga merupakan salah satu kota perdagangan terbesar di Arab Saudi.
Jiddah terletak di pantai timur Laut Merah, 75 km dari kota suci Mekah. Secara geografis kota ini terletak kira-kira pada 21° LU dan 39° BT. Luas wilayahnya 1.200 km2. Penduduknya berjumlah sekitar 2 juta dengan rata-rata pertumbuhan 10% per tahun (1993), terdiri dari berbagai bangsa seperti Arab, Persia, India, Melayu, dan Negro.
Sebagai kota pelabuhan, Jiddah memegang peranan yang penting bagi perkembangan Arab Saudi dan memberi sumbangan yang cukup besar bagi setiap golongan yang menguasainya, terutama umat Islam. Kota ini penting bagi kekuasaan Islam sebelum pusat kekuasaan pindah ke Damsyiq (Damascus) dan Baghdad. Nasir Khasrow, seorang penulis Persia yang pada tahun 1050 mengunjungi kota ini, menuliskan pengamatannya sebagai berikut:
“Kota Jiddah adalah kota yang kuat, yang dikelilingi benteng yang kokoh dan penduduknya mencapai 5.000 jiwa. Di kota tersebut belum terdapat tumbuhan, sehingga semua kebutuhannya didatangkan dari luar.”
Ketika Vasco da Gama (1460–1524), penjelajah Portugis, menemukan Tanjung Pengharapan sekitar akhir abad ke-15, Jiddah berada di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk dari Me sir dengan Hussein al-Kurdi sebagai gubernur Jiddah, yang berjuang keras untuk menentang penjajahan Portugis.
Pada 1517 Jiddah jatuh ke tangan Turki, dan setelah Turki menyerah kepada Inggris, 1910–1925 kota ini merupakan bagian dari Kerajaan Hijaz. Pada masa selanjutnya kota ini direbut Abdul Aziz bin Sa‘ud dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan Arab Saudi.
Sesudah Perang Dunia II seluruh kota di modernisasi dan diperluas dengan kekayaan yang diperoleh Arab Saudi dari penghasilan minyak, sehingga Jiddah mendapat julukan ‘Arus al-Bahr al-Ahmar (Pengantin Laut Merah).
Wajahnya berubah dari gersang dan buruk menjadi indah dan menyenangkan. Pembangunan gedung dan jalan yang membelah kota melancarkan roda komunikasi, sehingga Jiddah kini merupakan sebuah kota modern metropolitan di pinggir Laut Merah.
Pertumbuhan Jiddah yang luar biasa tidak terlepas dari program pembangunan yang dibuat rajanya, yang dicapai dalam waktu yang sangat singkat. Seiring dengan hal itu, estetika tetap tidak diabaikan.
Jiddah sekarang boleh membanggakan diri akan beberapa bangunannya yang berarsitektur sangat indah. Misalnya, pahatan perunggu dan hiasan dinding pada bangunan memperlihatkan kesuksesan program pengindahan kota, sehingga Jiddah menjadi salah satu kota yang mengesankan dan menyenangkan.
Jiddah, dalam posisinya sebagai kota pelabuhan perniagaan, sangat berperan dalam menunjang perekonomian Arab Saudi. Jauh sebelumnya, Jiddah telah berperan sebagai kota pelabuhan perniagaan yang sangat membantu pengembangan Islam. Ketika Portugis memonopoli perdagangan, Jiddah telah menampakkan perannya sebagai pusat komersial di samping sebagai pelabuhan haji.
Kota ini merupakan pelabuhan transit bagi kapal dagang dari Mesir, India, dan Timur Jauh. Ketika Terusan Suez dibuka pada 1869, Jiddah sangat penting sebagai pelabuhan utama yang harus dilalui oleh kapal dagang dari berbagai negara.
Terutama pada abad modern, dari Jiddah diekspor hasil bumi Arab Saudi, seperti minyak, mutiara, kulit binatang, hasil kerajinan tangan, barang keagamaan, seni anyaman, tembikar, pakaian, dan ikan. Dengan demikian, Jiddah mampu membawa pemasukan besar bagi Arab Saudi, dan sekaligus menjadi tempat penyaluran sebagian kekayaan Arab Saudi ke berbagai negara Islam, baik dalam bentuk pinjaman, bantuan, maupun proyek kerjasama.
Setelah dibangun dan diperluas, Jiddah semula hanya bergantung pada penyelenggaraan haji dan penangkapan ikan telah memiliki industri baja, pengilangan minyak, pembuatan semen, dan industri kecil. Kini Jiddah merupakan salah satu kota terbesar di Arab Saudi, salah satu pelabuhan penting dan paling ramai di Timur Tengah, serta arena bisnis internasional.
Di samping itu, Jiddah juga merupakan kota diplomatik, sebab di kota inilah berkedudukan istana raja, Departemen Luar Negeri Arab Saudi, dan perkantoran badan perwakilan asing. Pintu masuk ke Arab Saudi ini sering dijadikan sebagai ajang pertemuan antarbangsa untuk membicarakan berbagai masalah yang dihadapi dunia Islam, bahkan di kota ini pula tempat kedudukan beberapa badan internasional seperti:
1) Organisasi Konferensi Islam, 2) Badan Solidaritas Islam, 3) Badan Dana Ilmu, Teknologi, dan Pembangunan, 4) Bank Pembangunan Islam, dan 5) Organisasi Penyiaran Negara Islam.
Akan tetapi, arti penting Jiddah dalam pengembangan Islam terutama ditentukan oleh kedudukannya sebagai pintu gerbang bagi jemaah haji yang datang ke kota Mekah, Madinah, dan Arafah. Keamanan dan keterbukaan kota ini sepanjang sejarah Islam sangat mempengaruhi kelancaran pelaksanaan rukun Islam yang kelima dan sangat menentukan bagi syarat istita‘ah (kesanggupan) seorang jemaah haji.
Khusus untuk pengangkutan jemaah haji, pemerintah Arab Saudi telah membangun lapangan udara yang megah, yakni pelabuhan udara King Abdul Aziz, yang terletak beberapa kilometer dari Jiddah; penggunaannya diresmikan mulai musim haji 1981. Selain itu, juga terdapat pelabuhan laut bagi kapal laut yang membawa jemaah haji.
Indonesia, melalui Keputusan Musyawarah Ulama tentang masalah haji 19 Maret 1975, menetapkan bahwa miqat makani bagi jemaah haji Indonesia yang menggunakan pesawat udara adalah Qarnul Manazil (Jiddah).
Daftar Pustaka
Duncan, George, ed. Jeddah Old and New. London: Stacey Published, 1980.
Hadi, Kastman. “Mengenal Saudi Arabia dengan Segala Rangkaiannya,” Majalah Haji, No. 65/1983.
al-Yassini, Ayman. Religion and State in the Kingdom of Saudi Arabia. London: Westview Press, 1985.
Syahrin Harahap