Ji‘alah adalah janji seseorang atau lembaga untuk memberi imbalan tertentu kepada orang yang mampu melakukan suatu perbuatan dengan target tertentu, baik perbuatan itu dengan batasan jelas maupun tidak. Biasanya perbuatan itu sulit dilaksanakan. Ji‘alah hampir sama dengan sayembara.
Unsur ji‘alah ada tiga, yaitu: (1) al-‘Aqid atau al-ja‘il (penyelenggara sayembara) dan al-‘amil (peserta), (2) al-maj‘ul (pekerjaan), dan (3) al-ji‘l (hadiah).
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang boleh tidaknya melakukan transaksi ji‘alah. Ulama Mazhab Hanafi, antara lain Imam AbuYusuf (w. 182 H/798 M), Zufar bin Hudail (w. 158 H/775 M), dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (w. 189 H/804 M), tidak membolehkan transaksi ji‘alah, karena transaksi tersebut mengandung spekulasi atau bahkan garar (penipuan) dan terdapat ketidakjelasan batasan perbuatan yang harus dilakukan.
Ji‘alah tidak bisa disamakan dengan ijarah (jual jasa, upahan), karena dalam ijarah bat-asan pekerjaan dan pekerjanya serta jumlah upahnya yang sebanding dengan masa kerja dan volume kerjanya jelas.
Namun ulama Mazhab Maliki (seperti Ibnu Muslim al-Qurasyi [w. 197 H/813 M], Asbag bin Faraj [w. 213 H/829 M], Isa bin Dinar al-Andalusi [w. 212 H/828 M], dan Asad bin Furat at-Tunisi [w. 213 H/829 M]).
Ulama Mazhab Syafi‘i (antara lain Abu Saur Ibrahim bin Khalid Yamani al-Kalbi [w. 246 H/861 M], Hasan bin Ibrahim bin Muhammad as-Sahab az-Za’farani [w. 260 H/874 M], dan Yusuf bin Yahya al-Buwaiti [w. 231 H/846 M]).
Juga ulama Mazhab Hanbali (misalnya, Asram Abu Bakr bin Hani‘ [w. 265 H/879 M] dan Ibnu Rahawaih al-Marwazi [w. 238 H/853 M]) berpendapat bahwa ji‘alah itu boleh. Hal ini di-dasarkan pada firman Allah SWT tentang kisah NabiYusuf AS:
“Penyeru-penyeru itu berkata, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya’” (QS.12:72).
Kebolehan tersebut juga didasarkan pada hadis riwayat jama‘ah (mayoritas) ahli hadis, kecuali an-Nasa’i (w. 303 H/915 M), yang berkenaan dengan upah menyembuhkan seseorang dengan membaca surah al-Fatihah.
Serombongan sahabat Rasulullah SAW datang dari suatu kampung yang tidak berapa jauh. Belum sempat dipersilakan duduk, pemimpin mereka disengat serangga. Mereka berkata kepada sesamanya, “Adakah kalian punya jampi (untuk menyembuhkan luka sengatan ini)?” Mereka berkata, “Bagaimana kalau kita tentukan sayembara (dalam penyembuhan ini)?”
Lalu di antara mereka diadakan sayembara dengan janji hadiah tertentu bagi yang sanggup menyembuhkan. Lalu tampillah seseorang membacakan surah Umm Al-Qur’an (surah al-Fatihah) untuk menyembuhkan sakit tersebut sambil menempelkan ludahnya ke bagian yang disengat. Si sakit menjadi sehat.
Lalu mereka bermaksud memberi hadiah kepada yang mengobati tadi. Akan tetapi mereka berkata, “Hadiah ini baru akan kami terima setelah kami tanyakan dulu kepada Rasulullah.” Lalu mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW tertawa seraya bersabda, “Dari mana kalian tahu bahwa surah al-Fatihah bisa dijadikan jampi? Ambillah hadiah itu, beri aku sebagian.”
Ahli fikih kontemporer seperti Wahbah az-Zuhaili, guru besar hukum Islam pada Fakultas Syariah Universitas Damascus, membolehkan transaksi ji‘alah ini jika memang diperlukan. Ia juga menekankan bahwa dalam transaksi ini perlu ada kejelasan tentang batas pekerjaan dan hadiahnya sehingga tidak merugikan pihak lain. Oleh karena itu, diperlukan akad untuk menentukan hal yang berkenaan dengan pelaksanaannya.
Menurut az-Zuhaili, ji‘alah pada prinsipnya sama dengan ijarah (kontrak upah-mengupah/jual jasa). Adapun perbedaannya terletak pada beberapa hal.
(1) Dalam ji‘alah, al-‘Aqid menghendaki ketuntasan perbuatan yang diharapkan, misalnya mengembalikan budak yang kabur, mengobati penyakit, atau menggali sumur sampai keluar air; sedangkan dalam ijarah majikan hanya mengharapkan batas tertentu suatu tahapan pekerjaan meskipun mungkin tidak tuntas.
(2) Dalam ji‘alah terkandung spekulasi, sedangkan dalam ijarah ada kejelasan.
(3) Dalam ji‘alah pemberian hadiah tidak lazim didahulukan, karena belum jelas siapa yang sanggup melakukan pekerjaan itu; sedangkan dalam ijarah upah bisa saja dibayar lebih dahulu.
(4) Dalam ji‘alah pemberian hadiah bisa saja batal karena tidak ada yang berhasil, meskipun sudah dilakukan upaya; sedangkan dalam ijarah tidak ada pembatalan upah.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, transaksi ji‘alah dibolehkan dengan syarat sebagai berikut.
(1) Al-‘Aqid harus balig, berakal, dan cakap; demikian juga al-‘Amil, ia harus balig, berakal, pintar, dan mampu melaksanakan pekerjaan yang disayembarakan.
(2) Jumlah dan jenis hadiah harus jelas dan diumumkan.
(3) Manfaat dari hasil pekerjaan yang disayembarakan harus jelas dan dapat diukur.
(4) Jenis pekerjaan jelas dan terukur. Tidak dibenarkan pekerjaan seperti mengusir jin dari badan seseorang atau menyembuhkan santet, karena sulit dideteksi apakah jin itu sudah keluar atau santet itu sudah hilang atau belum. Kalangan ulama Mazhab Maliki mensyaratkan pekerjaan dalam ji‘alah harus mudah meskipun jumlahnya banyak, misalnya mengumpulkan kambing yang berserakan di tanah lapang.
Selain itu, jenis pekerjaan tidak boleh yang diharamkan agama. Misalnya, dijanjikan hadiah sebesar Rp100.000,00 kepada siapa saja yang menemukan sepeda motor yang hilang; jika hadiah tersebut barang haram, akad batal. Apa saja yang diharamkan dalam transaksi ijarah, diharamkan pula dalam transaksi ji‘alah; begitu pula sebaliknya.
(5) Batas waktunya jelas. Misalnya, siapa saja yang mengembalikan barang yang hilang dalam waktu 2 hari akan mendapat hadiah Rp100.000,00 atau yang mendapatkannya dalam waktu 4 hari hadiahnya Rp75.000,00. Kalangan ulama Mazhab Maliki tidak mensyaratkan batas waktu, tetapi menurut ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali, batas waktu boleh ditentukan.
Menurut ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali, hadiah yang diberikan dalam transaksi ji‘alah boleh saja ditambah atau dikurangi. Misalnya, pekerjaan yang dilakukan al-‘Amil itu ternyata di luar dugaan semula, berat atau ringan. Jika pekerjaannya berat, hadiah dapat ditambah, dan jika pekerjaan itu ternyata ringan, hadiahnya dapat dikurangi. Menurut mereka, hal ini bisa terjadi karena ji‘alah tidak persis sama dengan ijarah yang memiliki akad yang jelas.
Apabila terjadi pertengkaran antara al-‘Aqid dan al-‘Amil, maka harus diselesaikan dengan cara mengambil sumpah pihak yang menyangkal. Jika belum dapat dipecahkan, ditentukan upah kerja rasional (ajr al-mitsl), yaitu kepatutan upah terhadap apa yang telah dilakukan al-‘Amil.
Daftar Pustaka
Ibnu Qudamah. al-Mugni. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah 1960.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Kuwait: Dar al-Bayan, t.t.
as-Subki, Ali bin Abdul Kafi. Takmilah Syarh al-Muhadzdzab. Cairo: Zakariya Ali Yusuf, t.t.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
Atjeng Achmad Kusaeri